Bab 3 - Sebuah Pernikahan?

19 4 2
                                    


Dua hari Ervina harus tinggal di rumah sakit. Dokter bicara secara khusus dengan Wilma dan Handika, ayah Ervina. Yang paling membutuhkan pengobatan adalah jiwa Ervina dan bukan fisiknya. Ervina harus berani menerima kenyataan yang terjadi dan mulai melihat ke depan. Dunia belum berakhir dengan kepergian Gama. Masa depan masih bisa gemilang jika Ervina mau bangkit kembali.

Wilma dan Handika sepakat dengan yang dokter katakan. Mereka lebih intens menemani Ervina dan berbicara dengan putri mereka. Sebab tidak ada acara lain kecuali Ervina mau membuka diri dan keluar dari keterpurukannya.

"Sayang, apa yang kamu rasakan? Boleh Ibu tahu?" Dengan lembut Wilma mengajak Ervina bicara sambil mereka makan bersama di kamar Ervina.

"Sakit sekali, Bu. Kenapa Tuhan ga adil sama aku? Aku dan Gama baik-baik selama ini. Kenapa harus dihukum seperti ini? Kami punya banyak impian dan rencana bersama. Tuhan lenyapkan begitu saja. Kenapa ga sekalian aku mati juga?" Ervina mengungkapkan kepedihan terdalamnya.

Wilma menghela nafas dalam. Dia bisa memahami yang Ervina rasa, sebab itu pun yang menjadi pertanyaan di hatinya. Tapi dia harus bisa memberi jawaban agar Ervina tidak terikat dengan kecewa yang semakin dalam.

"Jalan Tuhan kadang kala memang tidak kita pahami. Tapi bukan berarti yang Dia ijinkan terjadi  ini sebuah hukuman." Wilma menguatkan dirinya sendiri. Dan berharap yang dia ucapkan bisa memberi penghiburan bagi Ervina.

"Kita tidak pernah tahu di masa depan. Seandainya kamu benar-benar menikah dengan Gama, lalu terjadi sesuatu dan dia harus pergi ... lalu kamu ..." Wilma menggantung kata-katanya. Tatapan tajam Ervina menghujam ke arahnya.

"Sayang, kita hanya bisa berencana untuk hari esok yang kita tidak bisa lihat. Sedangkan Tuhan, Dia melihat dengan jelas apa yang akan kita hadapi nanti. Jika ini terjadi, pasti ada sesuatu yang baik. Dia mau menjaga kamu lebih dari yang Ibu dan Ayah bisa lakukan." Lebih lembut Wilma mencoba menerangkan agar putrinya tidak memasang posisi berseberangan dengannya lagi.

Ervina terdiam. Tetapi butiran bening mengalir, tak bisa dia tahan, membasahi kedua pipinya.

"Karena Tuhan terlalu sayang sama kamu, bisa jadi Dia harus ijinkan ini terjadi. Sekarang kita belum paham, tetapi di waktu yang akan datang, baru kita akan tahu. Percayalah." Wilma memegang bahu Ervina.

Ervina menunduk, memejamkan mata. Semua yang Ibu katakan benar adanya. Namun, kenyataan begitu berat harus dia telan.

"Sayang, ayo, kita mulai lagi semuanya. Ibu dan Ayah akan terus di sisi kamu. Oke?" Wilma menariki ujung bibrnya, sedikit tersenyum. Dia berharap melihat kelegaan dari aura Ervina.

Ervina tidak mengubah ekspresinya, tetapi dia mengangguk. Dan itu cukup bagi Wilma.

*****

Tiga bulan berlalu. Ervina sudah mulai bisa menerima kenyataan, tidak ada lagi Gama di dalam hidupnya. Tetapi, dia masih belum mau meninggalkan rumah. Dunianya hanya kediaman keluarga semata. Paling jauh dia akan berjalan hingga di taman depan rumah. Ervina masih belum siap bertemu orang lain dan harus menjawab kenyataan pahit yang dia alami.

Sore itu, Ervina bersama Wilma sedang menyiram tanaman. Hari cukup cerah di bulan Juni. Ervina tampak menikmati kegiatannya, sesekali tersenyum, meskipun belum bisa lepas seperti layaknya Ervina sebelum kejadian naas Gama.

Tin!! Tin!!

Bunyi klakson mobil keras memekakkan telinga. Suara itu memaksa Ervina dan Wilma menoleh, melihat pada mobil putih yang masuk ke halaman rumah mereka. Wilma meletakkan gunting di tangannya lalu berjalan ke arah teras rumah. Dia menyambut tamu tak diduga yang datang.

"Hai, Sintya! Wah, kejutan ini kamu datang ke sini! Kapan pulang ke Malang?" Wilma tersenyum lebar pada wanita muda yang kira-kira sepantaran Ervina. Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri Wilma.

"Sorry, Tan. Aku baru bisa ke sini. Beberapa hari sih, sampai. Langsung urus ini itu, jadi baru longgar sore ini." Sintya wanita bertubuh langsing dan cukup tinggi. Manis dengan dagu lancip. Dia memeluk Wilma dengan erat.

Lalu dia menoleh pada Ervina yang masih dengan santai menggulung selang air.

"Hoy! Sepupu! Kamu ga kangen aku?" tanya Sintya. Dia mendekati Ervina.

Ervina tersenyum tipis. "Ga. Biasa aja."

"Isshh, sungguh terlalu." Sintya cemberut.

Bibir Ervina makin lebar tersenyum, meskipun gigi rapinya tak juga tampak. Dia menyimpan selang air lalu berjalan masuk ke dalam rumah diikuti Sintya dan Wilma.

"Aku minta minum, dong. Masih nyimpan teh melati?" pinta Sintya.

"Ada." Pendek Ervina menjawab. Mereka menuju ke ruang makan. Ervina membuka kulkas dan mengambil dua botol teh melati. Kegemaran mereka sama, teh melati dingin.

"Makasih, Sepupu kesayangan." Sintya menerima botol dari tangan Ervina. Segera mereka duduk bersebelahan dan menikmati minuman dingin itu.

"Aku mandi dulu. Kalian ngobrollah. Setelah itu aku siapkan makan malam." Wilma berkata pada kedua gadis itu, lalu dia menuju ke kamarnya.

"Vin, datang ya, aku pingin kamu jadi pendampingku." Sintya meletakkan botol di meja, dan memandang Ervina.

"Pendamping apa?" tanya Ervina.

"Vin? Aku mau married. Makanya aku pulang ini, urus semuanya. Kamu sih, kenapa HP ga pernah aktif?" Sintya kaget Ervina tidak paham yang dia bicarakan.

"Married? Kapan?" Mengucapkan kalimat itu hati Ervina berdebar. Debaran yang tidak nyaman. Pernikahan. Hati Ervina menciut. Pernikahannya dan Gama gagal. Sudah berlalu dua bulan lamanya, tinggal tanggal kenangan belaka.

"Tante Wilma dan Om Handi ga bilang sama kamu?" tanya Sintya.

Ervina menggeleng. Rasa perih menyelimuti hatinya. Wajah cerah Ervina lenyap. Sintya memperhatikan itu.

"Vina ...," ucap Sintya. "Maaf, kukira kamu sudah tahu kalau aku mau nikah."

Senyum kecut muncul di bibir Ervina. Dia tidak tahu lagi apa yang dia rasakan mendengar kabar itu.

"Vina ... Bisakah kamu hadir buatku?" Sintya meraih tangan Ervina dan memandangnya dengan tatapan memohon.

Ervina mengembuskan nafas berat. Dia tidak menjawab apa-apa.

"Vina ... kamu buat aku seperti kakakku sendiri. Kalau kamu ga datang, ga lengkap rasanya. Kita juga udah pernah janji kalau ...." Sintya tidak melanjutkan ucapannya. Wajah Ervina memerah, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Sintya hanya memandang Ervina dan tidak berani melanjutkan kata-katanya lagi. Beberapa menit mereka hanya saling memandang. Butiran bening perlahan turun di ujung mata Ervina.

"Vin, maafkan aku. Memang rencana pernikahanku agak mendadak. Calon suamiku akan pindah tugas ke Lombok. Dia ga mau ke sana sendirian, mau aku ikut. Papa dan Mama ga akan lepaskan aku kalau kami ga nikah lebih dulu. Jadi ..."

"It is okay, it is okay, Sin." Dengan suara parau Ervina menyahut. "Hidup terus berjalan. Kamu harus mengejar impianmu."

Sintya menatap Ervina. "Kamu akan datang?" tanya Sintya lagi. Dia sangat berharap kebahagiaannya akan lengkap. Sepupu yang paling dia sayang, bisa ikut jadi saksi pada hari istimewa sekali seumur hidupnya.

Ervina tidak menjawab, Ini sungguh permintaan yang sangat berat. Menghadiri sebuah pernikahan?

Berlabuh di Pantai HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang