"Aku lagi naksir cewek dan menurut Tiara aku salah pilih. Jadi dia sengaja pasang wajah jutek," jawab Jovano. Tangannya kembali memainkan gitarnya perlahan.
"Kamu juga, ada dia ngapain cari cewek lagi? Kurang apa si Tiara sama kamu? Tinggal kamu rebut hati papanya aja, Jo, lalu segera resmikan. Perusahaan akan menjadi masa depan kamu. Ga usah repot cari duit lompat sana lompat sini," kata Arman.
"Aku bukan orang kantoran, Bang. Stress aku suruh duduk di depan komputer terus. Aku menikmati hidupku sekarang. Aku ga kekurangan meskipun belum kaya, hee ..." Jovano terkekeh.
"Terus Tiara?" Arman melirik pada gadis itu. Dia tampak tersenyum lebar bicara dengan temannya.
"Aku cuma anggap dia adik. Ga lebih. Kurang ajar banget juga aku kalau masih ngejar dia, berharap perusahaan papanya, setelah separuh hidupku dibantu keluarga Tiara. Rakus amat rasanya," tukas Jovano.
Arman tersenyum, nyengir. "Kamu ini terlalu baik. Orang lain justru lihat itu kesempatan. Disayang mertua, kerjaan aman, dapat posisi tinggi, dan anaknya cinta mati. Itu kayak rejeki nomplok tanpa diminta. Kamu malah mikir jalur yang menyulitkan diri sendiri."
"Ga tahu, Bang. Gitu yang aku pikir. Kalau bisa aku malah pingin cari rumah sendiri, ga lagi tinggal di rumah keluarga Tiara. Masalahnya, belum cukup DP aku buat beli rumah, meskipun cicilan," ujar Jovano.
"Aku juga ga tahu mau ngomong apa, hee ..." Arman mengangkat bahunya sambil menggeleng-geleng.
"Oke, kita lanjut para hadirin! Yang akan request lagi, yuk, boleh langsung aja!" Biduan mulai lagi, melanjutkan hiburan untuk para tamu.
Pembicaraan Jovano dan Arman berakhir. Musik segera kembali mengalun merdu di seluruh café itu.
Hingga jam sepuluh malam, tamu tinggal satu-satu. Jovano dan band mengakhiri aksi mereka malam itu. Tiara tampak masih duduk di tempatnya, sendirian. Teman-temannya tak terlihat lagi.
"Jo, dia nungguin kamu, tuh." Arman memberitahu Jovano.
Jovano menoleh ke meja Tiara. Dia menutup tas gitar lalu melangkah mendekati Tiara dan duduk di depan gadis itu.
"Kok belum pulang?" tanya Jovano.
"Aku pingin ngomong serius sama kamu, Jo." Tiara melepaskan sedotan yang dia pegang, dia tatap mata hitam legam milik Jovano.
"Well, mungkin kita cari tempat lain. Cafe udah mau tutup," kata Jovano.
"Oke, aku tunggu di tempat parkir. Nanti kamu ikut aku, kita cari tempat." Tiara berdiri. Dia meraih tasnya, menyampirkan di bahu, kemudian meninggalkan ruangan itu.
Jovano balik ke panggung dan melanjutkan membereskan peralatan.
"Kenapa dia?" Arman makin penasaran.
"Mau bicara. Doakan aku, Bang. Aku ga mau menyakiti Tiara. Dia terlalu baik." Jovano menaikkan ransel ke punggung, dan melanjutkan langkahnya.
Di tempat parkir, Tiara menunggu. Dia berdiri bersandar pada pintu mobil. Begitu Jovano berjalan mendekat, Tiara masuk ke dalam mobil. Jovano pun menuju mobilnya yang terparkir berjarak kira-kira lima meter dari mobil Tiara. Tidak berapa lama dua kendaraan mereka beriringan meninggalkan halaman café itu.
Tiara mengendarai mobil merahnya melintasi jalanan yang sepi. Yang dia tuju, taman kota, yang dia tahu pasti sudah sepi dan menjadi tempat tepat untuk dia bicara dengan Jovano. Jovano tidak pernah mau Tiara masuk ke rumah dia tinggal jika sudah selarut itu. Dan tidak mungkin juga Tiara membawa Jovano pulang.
Duduk di taman, bersebelahan. Tiara tidak segera bicara. Dia seolah-olah sedang berpikir keras. Jovano hanya memandanginya, menunggu.
"Kenapa kayak gini, Jo?" tanya Tiara.
Jovano tidak menjawab. Dia jadi berpikir, apa yang sedang ingin Tiara katakan.
"Kenapa seperti sebuah kesalahan kalau aku cinta sama kamu?" Tiara menoleh, menggeser posisi, sedikit miring agar lebih jelas memandang Jovano.
Jovano merasa detak jantungnya melaju tiba-tiba. Bukan detak yang dia rasa pada seorang wanita karena jatuh cinta. Tetapi karena dia tidak menduga, Tiara bicara soal hatinya dengan sangat serius. Tidak biasanya Tiara begini. Sejak remaja, candaan Tiara mengenai dia cinta Jovano sudah terlalu biasa Jovano dengar. Tapi malam itu sangat berbeda.
"Jo, aku cinta sama kamu. Ini beneran. Bukan candaan dan gurauan. Kenapa juga kamu ga percaya?" Tiara meraih tangan Jovano. Dia genggam erat dengan mata memandang dalam pada Jovano.
Jovano tidak bergerak, tapi tidak dia lepaskan juga pegangan tangan Tiara.
"Ra, aku ga bisa. Semuanya ga mungkin di antara kita. Ada banyak alasan kenapa kita ga mungkin sama-sama." Jovano juga menanggapi serius yang Tiara katakan.
"Aku coba, ga sekali, berulang kali, menyingkirkan perasaanku. Ga bisa, Jo. Aku memang cinta sama kamu. Aku marah, sangat marah, juga gelisah, karena hatimu untuk orang lain." Tiara mengusap-usap punggung tangan Jovano.
"Aku ga bisa melarang hatimu cinta sama aku. Tapi di depan mata kita, kita sama-sama tahu, kita ga bisa, ga akan bisa menjalani menjalani hubungan." Jovano melepaskan tangan Tiara.
"Kenapa kamu ga kasih kesempatan? Jika kita coba, mungkin rasa sayang kamu ke aku bisa berubah." Tiara mendesak. "Aku cantik, kan, Jo? Aku juga cerdas. Aku pengertian dan dukung kamu apapun itu. Aku bisa bantu kamu apa aja. Apa itu ga cukup?"
Jovano menelan ludahnya. Dia menarik nafas dalam dan menata kalimat yang akan dia tuangkan.
"Pertama, aku pernah jadi pembantu keluargamu. Kedua, aku berhutang terlalu banyak sama keluargamu. Ketiga, sampai sekarang, aku masih mendapat bantuan demi aku bisa hidup dari keluargamu. Keempat, kamu butuh pria sepadan untuk mendampingimu. Kelima, aku sayang kamu, tapi ga cinta, Ra ...."
"Shit!" Tiara menyentak kesal. "Bertahun-tahun kita sama-sama, saling mengerti, apa tidak mungkin jadi alasan kita bisa menjalani hubungan lebih jauh? Soal Papa, aku yakin, asal aku bahagia, akhirnya dia akan luluh dan mau menerima kamu."
Jovano tidak mengira Tiara mulai nekat.
"Jo, aku ga bisa kamu sama orang lain. Kalau mau jujur, saat kamu sama Devi, aku ga benar-benar rela. Devi temanku, dia baik. Karena itu aku memaksa diri menerima hubungan kalian. Tapi setelah tahu Devi hanya main-main sama kamu, aku sangat marah. Dalam hati seandainya aku saja yang sama kamu ..." Tiara memandang Jovano dengan wajah sayu dan sendu.
"Tiara, kita sudah sepakat, bukan? Dua bulan waktuku mengejar Ervina. Ini belum satu minggu. Kalaupun aku tidak berhasil, aku juga ga mungkin membuka hati sama kamu. Kamu sangat tahu kenapa," tegas Jovano.
"Jo ..." Tiara kembali meraih tangan Jovano, cepat dia mendekat dan mengecup pipi Jovano.
Jovano tersentak. Dia menggeser posisinya. "Ra ...."
"Aku mau kasih apapun buat kamu. Kalaupun kamu minta diriku utuh malam ini, aku ga akan nolak." Tiara tidak mau mundur. Dia meraih lagi lengan Jovano.
Dada Jovano kembali melaju cepat. Bukan karena rasa jatuh cinta, tapi karena semakin tidak mengira Tiara memaksanya untuk menerima cinta yang Tiara miliki.
Mata Jovano melebar. Apakah Tiara tidak main-main dengan ucapannya? Detak jantung Jovano ... semakin cepat ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomanceKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...