Pantai. Selalu sama. Deburan ombak menyapa tanpa henti. Langit luas di atasnya terhampar tanpa batas, dengan awan hadir silih berganti. Bentuknya berubah-ubah membuat langit tak bosan dipandang.
Tiupan angin yang keras dibarengi deburan ombak, membuat suasana sangat khas dan tidak akan mudah dilupakan. Tebaran pasir yang panjang dengan banyak kerang beraneka ragam dan bentuk, yang terserak di mana saja, yang selalu ada yang mengumpulkan dan membawanya pulang.
Semua akan selalu mengesankan dan menyisakan kenangan manis.
"Gama! Kemari!"
Ervina memanggil dengan lantang. Suaranya menggelegar berusaha mengalahkan suara ombak dan angin. Dia berdiri di tepi pantai tidak jauh dari pohon-pohon besar di sekitarnya. Wajahnya terarah ke pantai dengan tangan terkepal di kedua sisi badannya.
"Udahan?! Aku belum selesai!" Sahutan terdengar. Suaranya kecil tetapi cukup keras masuk ke telinga Ervina.
"Ya! Sekarang!" Kembali sekuat mungkin Ervina bicara.
"Dikit lagi, ya?" Jawaban tertangkap lagi di telinga Ervina.
"Mama hitung sampai tiga kalau tidak ke sini ..." Ancaman digaungkan. Tatapan Ervina makin tegas. Dia serius dengan perintahnya.
"Iya, Ma!" Kembali jawaban cepat terdengar.
Bocah laki-laki usia kira-kira enam tahun itu berlari mendekat ke arah Ervina. Dia hanya memakai celana pendek, tanpa mengenakan baju.
"Yaaahh, Mama. Nanggung, Ma. Lagi seru!" ujarnya saat tepat berhadapan dengan Ervina.
"Ini sudah sore. Ombak makin kuat. Lihat itu." Tangan Ervina meunjuk ke laut.
"Hmm ... padahal belum puas aku main." Bocah tampan dengan lesung pipi kecil di sisi kiri itu mengangkat kedua bahunya tampak kesal. "Tapi itu, lihat, Ma, Om sama Tante itu belum selesai mandinya."
Si wajah tampan menunjuk beberapa orang dewasa yang juga masih di pantai. Tadi dia ikut bersama mereka.
"Papa udah nunggu. Sosis dan udang sudah menunggu juga. Kamu ga lapar?" Ervina menggandeng bocah itu.
"Ah, asyik!!" Senyum lebar menghiasi bibirnya.
Mereka bergegas menuju ke tenda yang tidak begitu jauh dari pantai. Dua tenda berdiri menghadap arah pantai. Satu sedikit lebih besar dari yang lain.
"Hai! Sini, Gama! Papa sudah lapar, kamu ga balik-balik." Jovano melambai pada anak laki-laki itu.
Bergegas Gama mendekat dan meminta jatahnya. Jovano memberikan piring denga isi lengkap. Lalu Gama segera duduk dan tanpa menunggu aba-aba, dia mulai menikmati makanan di piringnya. Ervina dan Jovano tersenyum. Melihat putra mereka tumbuh dengan kuat dan pintar, rasanya waktu cepat sekali berlalu.
Jovano dan Ervina ikut mengambil makanan lalu duduk berdampingan berseberangan dengan Gama kecil.
"Gama akan selalu ada di antara kita. Aku tidak akan lupa yang kamu katakan. Waktu itu aku tidak begitu paham. Kukira, kamu masih berat move on dan sulit mencintai aku sepenuhnya. Ternyata ...
"Gama kecil yang kamu maksud. Aku senang, ada Gama di antara kita," kata Jovano sambil menyenggol lengan Ervina.
"Hee ... hee ... Makasih, Jo, kamu ijinkan aku memberi nama anak kita Gamaliel. Dan aku juga bangga karena nama belakangnya adalah Perkasa. Nama kamu, Jo," ujar Ervina.
"Kalau ingat saat kamu mengandung, aku sangat cemas. Bedrest dan hampir ga bisa bangun. Takut sekali kalau sampai kamu atau anak kita tidak akan selamat. Tapi Tuhan baik. Seperti yang kamu suka bilang, terlalu baik.
"Lihat anak kita, Ervano Gamaliel Perkasa. Tampan, pintar, penuh percaya diri, dan ga bikin repot yang momong. Bikin kangen yang iya." Jovano memandang Gama kecil yang masih sibuk dengan udah dan sosisnya.
"Makasih, kamu sabar banget waktu aku mengandung. Mana aku maunya macam-macam. Kalau suamiku bukan kamu, tapi yang lain, mungkin udah ribut mulu di rumah." Ervina tersenyum mengingat masa-masa kehamilannya.
"Kalau kamu tahu, aku ingin sekali kabur. Begini salah, begitu salah. Ga cocok dikit nangis, kalau nggak nangis, kamu ngambek. Duh, diuji ekstra sabar sama mamanya Gama aku," Jovano menyibakkan helaian rambut di kening Ervina. Beberapa tertiup angin dan menutupi wajahnya yang cantik.
"Maaf ... ga ingin kayak gitu juga, kali. Tapi ga bisa nahan. Abis gimana?" Manja Ervina memegang lengan Jovano.
Hari semakin senja. Mereka duduk bersama dan menikmati waktu. Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Siapa yang bisa menahan waktu berjalan? Siapa yang bisa meminta dia menghentikan langkah sesaat?
Tidak akan mungkin. Yang pasti hidup akan terus melaju, menuju ke pelabuhan yang tepat yang akan membawa kebahagiaan dalam kehidupan.
"Mama! Aku mau lagi!" Suara itu membuat Ervina menoleh.
Piring Gama sudah kosong. Dia berdiri dan mengacungkan piringnya minta diisi lagi. Mata Ervina terbelalak. Di belakang Gama kecil, sekian meter sesosok pria gagah tersenyum memandang ke arah Ervina.
"Gama?" ucap Ervina lirih.
"Ma, yang banyak, ya?" Gama kecil sudah tepat di depan Ervina dengan piring siap diisi.
Ervina masih terbengong-bengong. Apakah dia berhalusinasi? Atau memang Gam akan selalu ada ....
*****
Semua boleh berlalu ...
Kenangan pun mungkin akan terlupakan
Tetapi cinta ... dia akan selalu ada ...
Di tempat yang tepat, waktu yang tepat,
pada pribadi yang tepat ...
Dia akan berlabuh dan melimpahi dengan kebahagiaan ...
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomansaKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...