Permen dengan bungkus putih itu membuat hati Ervina berdesir. Quote yang tertera di sana seakan-akan menohok Ervina.
'Cintamu pergi? Bagaimana jika di depanmu adalah cinta yang terbaik untukmu?'
Ervina kembali mengulang membaca dalam hati. Jovano yang duduk di depannya sedang menunggu. Ervina tidak mengatakan apa-apa. Jovano ingin sekali tahu apa yang Ervina dapat dari bungkus permen itu.
"Apa katanya?" tanya Jovano.
"Ga penting," jawab Ervina. Dia menyimpan permen itu di saku kecil tasnya bagian depan.
Jovano mengangkat kedua alisnya. Sikap Ervina masih sama, dingin dan cuek.
Makanan yang mereka pesan datang. Pelayan menghidangkannya di meja. Segera Ervina memulai makan, tanpa basa-basi, tanpa melihat Jovano. Sekali lagi Jovano terpana. Kali ini karena Ervina ternyata makan dengan lahap. Benar, guru TK itu kelaparan. Jovano pun menyikat juga hidangan yang ada di hadapannya.
Tidak sampai dua puluh menit, Ervina selesai. Dia meletakkan sendok dan garpu, meneguk minuman hingga bersih, dan mengusap bibirnya dengan tisu.
"Udah, aku mau pulang." Ervina berdiri.
Jovano masih mengunyah makanan yang penuh di mulutnya. "Hei? Vin ... aku belum selesai." Jovano bicara dengan mulut penuh.
"Makan gitu aja lama." Ervina tidak menunda langkahnya. Dia terus berjalan ke arah pintu.
Jovano terpaksa menelan makananannya cepat-cepat. Segera dia teguk beberapa kali minumannya dan setengah berlari mengejar Ervina.
"Ini cewek beneran, deh, bikin senewen. Ga bisa diduga banget," gumam Jovano, sedikit menggerutu.
Di halaman resto, Ervina berdiri bersandar pada pintu mobil menunggu. Jovano membuka pintu mobil dan mempersilakan Ervina masuk. Lalu segera dia berjalan memutar, masuk dan duduk di bangku sopir.
Perjalanan berlanjut. Ervina, seperti sebelumnya, hanya diam, melihat jalanan, dan tidak menghiraukan Jovano. Jovano pun tidak ingin bicara apapun. Dia sesekali melirik Ervina, tapi lebih banyak memperhatikan jalanan yang mulai longgar.
Rumah besar di perumahan cukup elit itu tampak di depan mata. Dengan lampu taman yang remang-remang, makin terlihat megah. Jovano hampir masuk ke halaman, Ervina menahannya.
"Sampai sini aja. Kamu ga usah mampir. Orang tuaku ga ada." Ervina membuka sabuk pengaman, meraih tasnya, lalu turun dari mobil.
"Oke, no problemo." Jovano menjawab ceria. Dia memperhatikan Ervina berjalan menuju gerbang. Anggun dan cantik. Terlihat lembut dan bersahaja. Siapa yang mengira jika melihat Ervina dari depan, dia ketus dan super cuek.
"Vina!" panggil Jovano.
Ervina berbalik.
Jovano tersenyum. Gadis itu masih merespon. Tidak sejutek yang tampak rupanya.
"Selamat malam. Sampai jumpa lagi." Jovano tersenyum dan memberikan lambaian kecil.
Ervina tidak membalas, hanya menatap pada Jovano yang segera melajukan lagi roda empat kecil miliknya. Ervina meneruskan langkah masuk ke dalam rumah. Bu Asti menunggunya di depan pintu.
"Pulang sendiri, Mbak? Sama siapa?" tanya Bu Asti.
"Orang ga jelas," jawab Ervina sekenanya.
"Lha?" Bu Asti kaget dengan jawaban Ervina. Dia menguntit Ervina yang terus masuk menuju kamarnya. "Kok bisa bareng orang ga jelas, Mbak? Ibu sama Bapak di mana?"
"Masih di sana, acara belum selesai. Aku bosan, Bu. Jadi pulang duluan." Ervina membuka pintu kamar.
"Oh??" Bu Asti paham tapi ga paham juga. "Terus ketemu orang ga jelas itu di mana?" tanya Bu Asti lagi.
"Udah, ah, Bu Asti kepo. Aku mau tidur." Ervina masuk ke kamar dan menutup pintu.
"Aduh, Mbak Vina ini. Sejak Mas Gama ga ada, kok cembetut terus. Mbok ya manis dikit, Mbak, kayak dulu." Bu Asti menggeleng-geleng sambil menjauh dari kamar Ervina.
Ervina mendekati meja rias, meletakkan tasnya. Dia duduk di kursi dan memandang wajahnya di cermin besar.
"Vina! Selamat malam. Sampai jumpa lagi!" Ucapan terakhir Jovano terngiang tiba-tiba. Senyum pria badut itu begitu saja terbayang.
"Papaku bilang, kalau bawa anak gadis orang, ga boleh pulang dengan perut kosong." Kalimat lain yang Jovano katakan muncul juga di telinga Ervina.
"Hmmm ...." Ervina mengembuskan nafas berat. "Jangan muncul lagi di depanku, Badut."
Ervina memejamkan mata. Dia membayangkan Gama di depannya. Senyum lebar dengan mata berbinar. Tampan. Ervina sangat rindu. Memikirkan Gama, air mata tak bisa dia tahan, kembali menitik.
"Gama ...." Lirih, Ervina menyebut nama itu.
Dia membuka mata dan melihat ke meja di depannya. Pigura ukuran setengan A4 terpajang di sana. Dua gambar dirinya dengan Gama masih di sana, di tempatnya sama seperti saat Ervina meletakkannya pertama kali.
Foto sebelah kiri, Ervina dan Gama di salah satu tempat wisata. Senyum mereka lebar dan ceria. Kebahagiaan seakan tak akan pernah pergi. Sebalah kanan, foto Ervina dan Gama bergandengan, saling menatap, Foto saat mereka bertunangan.
"Aku sangat rindu. Kamu lagi apa, Gam?" bisik Ervina.
*****
Jovano masuk ke dalam rumah dan segera masuk ke kamar mandi. Hari sudah hampir jam sembilan malam, Jovano bahkan belum sempat membersihkan dirinya. Lumayan dingin, tapi menyegarkan mengucurkan air dan membiarkan semua bagian tubuhnya ditumpahi air.
"Apa katanya?" Jovano ingat pertanyaan yang dia ajukan, saat ingin tahu tulisan di permen yang Ervina dapat.
"Ga penting." Jawaban datar, sedikit ketus itu sangat lekat di ingatan Jovano.
"Itu penting, Vina. Kamu saja ga mau aku tahu," ujar Jovano.
Jovano menyandarkan tubuh di dinding, masih dengan air mengalir. Entah kenapa, Jovano merasa dia dan Ervina seperti dibawa kepada pertemuan demi pertemuan tak terduga. Jovano makin muenyadari rasa hatinya. Ervina leih sering tampil tak diundang di pikirannya. Wajah ketus dan tatapan jutek gadis itu, Jovano suka.
"Apakah dia memang seperti ini? Maksudku, sebelum dia mengalami kehilangan tunangannya, apakah memang dia cewek yang judes? Aku mau membuktikannya," ucap Jovano.
Jovano ingat lagi saat bertemu Ervina di sekolah. Di antara murid-muridnya dia manis sekali. Bahkan murid-murid begitu sayang pada Ervina.
"Ga mungkin dia akan dirindukan muridnya kalau galak. Jadi makin penasaran aku, melihat Vina dengan kondisi normal seperti apa," ujar Jovano.
Hampir setengah jam di kamar mandi, akhirnya Jovano selesai dan segera naik ke atas kasur. Terlentang sambil memandang langit-langit kamar, kembali wajah cantik Ervina membayang.
"Aku suka sama dia." Perlahan hati Jovano berbisik. Setelah kalimat itu berkumandang, Jovano mengerutkan kening.
"Sungguh?" Bibirnya berkata, bukan hanya di hati. "Aku suka Ervina? Aku suka guru TK tapi jutek itu?"
Senyum Jovano tersungging bagus. "Hee ... hee ... Aku suka kamu, Vina."
Jovano memegang dadanya. Senyum makin mengembang di bibirnya. Ada rasa hangat menggulung dia hati Jovano ketika dia sadar, dia memang suka pada Ervina.
"Kalau begitu, aku mesti cari strategi bagaimana melunakkan hati Vina." Jovano berbalik dan tengkurap, setengah bangun. Dia meraih ponsel di atas meja dan mulai mencari nomor kontak.
"Tiara Sohib Antik. Aku harus tanya pendapat kamu." Jovano kembali tersenyum.
Jovano mengetik pesan untuk Tiara. Sebelum dia kirim dia membaca lagi teks yang ada di sana.
-Tiara, udah pulang, kan? Aku mau kasih kabar gembira. Aku jatuh cinta, sama Ervina. Butuh tips dair kamu, nih.
Jovano membaca pesan itu lagi, senyum sendiri, lalu tangannya meng-klik send.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomantizmKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...