Tak bisa Jovano elakkan. Hasratnya sebagai pria terganggu. Tiara cantik, lumayan seksi meskipun tidak sangat bagus body-nya. Jovano menatap Tiara dalam-dalam.
"Jo ... apa kamu ga merasa ... aku sepenuh hati ... aku cinta sama kamu ..." Tangan Tiara makin erat memeluk lengan Jovano. Wajahnya mendekat, dia membalas tatapan Jovano juga dengan hasrat.
"Ara ..." Lirih Jovano menyebut nama sahabat kecilnya. Cinta Tiara sedalam itu, selebar itu, dan sekuat itu untuknya.
"Please, Jo ... Aku hanya ingin sama kamu, sama kamu aja ..." Suara Tiara lebih lembut menusuk ke ulu hati Jovano.
Jovano mulai terhanyut. Dia membiarkan Tiara makin mendekat. Tidak sampai tiga puluh senti jarak mereka. Debaran di jantung makin melanda. Tiara makin mendekat, perlahan dia pejamkan mata. Jovano tidak bergerak dan ...
Tin tin!!
Suara kalkson yang keras dari jalan di sebelah taman membuyarkan suasana romantis yang menegangkan itu. Jovano dengan cepat melepaskan Tiara dan berdiri.
"Ya Tuhan ... apa yang kulakukan?" batin Jovano. Dia mundur beberapa meter, memandang Tiara sambil memegang kedua pipinya. Hampir saja. Hampir dia memberikan ciuman pada Tiara.
"Jo ..." Tiara berdiri. Wajahnya masih tampak tegang.
"Ini salah, Ra. Ini salah. Aku ga mau menyakiti kamu. Ga mau. Lebih baik kita pulang." Jovano mendapatkan kembali kesadarannya.
"Jojo ..." ulang Tiara. Jantungnya sudah melaju begitu rupa. Dia hampir berhasil mengikat Jovano.
"Kamu adikku, buatku, kamu adaikku. Aku ga mau kamu terluka karena aku. Aku ga mau jadi orang yang ga tahu diri setelah semua yang kamu dan keluarga kamu lakukan padaku. Maaf,Ra, jangan paksa lagi. Ini salah." Jovano menatap Tiara dengan wajah memohon.
"Tapi, Jo ..."
"Pulang, kita pulang, sekarang." Jovano mendesak. Nada suaranya lebih tegas.
Tiara memutar badan dan berjalan dengan sangat kesal. Dia terus melangkah tanpa menoleh lagi pada Jovano. Jovano mengacak-acak rambutnya yang agak panjang dan berjalan mengikuti langkah Tiara. Tiara sama sekali tidak menengok Jovano. Dia langsung masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu.
Jovano duduk di belakang kemudi, termenung. Masih tak bisa percaya, nyaris dia melakukan kebodohan. Jika benar itu terjadi, dia tidak tahu bagaimana menghadapi orang tua Tiara. Mungkin rencana untuk mencari rumah dan kendaraan sendiri harus segera dia realisasikan. Dengan terlepas utuh dan penuh dari bayang-bayang keluarga Tiara hatinya akan lebih bebas.
"Ya, lebih cepat lebih baik. Mobil akan aku kembalikan. Motor saja cukup buatku. Tidak masalah hanya roda dua. Daripada sok pakai roda empat tapi barang pinjaman terus," bisik Jovano.
Perlahan dia menjalankan kendaraannya. Hari semakin larut, Jovano ingin segera tiba di rumah. Istirahat, dengan kondisi itu adalah paling tepat dia lakukan.
*****
Minggu pagi. Tidak ada job yang Jovano harus selesaikan. Pesanan lukisan baru datang kemarin dan belum ada niatan dia memulai. Jovano berencana akan mencari rumah untuk dia kontrak. Kecil saja, yang sesuai dengan koceknya.
Sudah tiga hari sejak kejadian di taman malam itu bersama Tiara. Tiara tidak menghubungi Jovano. Jovano pun memilih diam dan tidak memulai komunikasi. Lebih baik dia membiarkan Tiara berpikir.
Jovano duduk di ruang tengah, di depan laptop dan mulai browsing. Beberapa situs memberi tawaran. Ada yang sesuai modelnya, tapi harga lumayan berat. Ada yang harga oke, model rumah dan posisinya kurang strategis. Hampir setengah jam, tidak ada hasil.
Jovano termenung lagi. Masih enggan melanjutkan perburuannya. Dia merasa lapar. Hari sudah lewat jam setengah sembilan, pantas saja kampung tengah minta diisi. Jovano berdiri, melangkah ke dapur. Simpel saja, mie instant. Tapi dia renovasi, revisi, modifikasi, apalah namanya. Jovano menambahkan telur, sayur, cabe, bawang, juag sosis ke dalam panci tempatnya masak. Kemudian dia bawa panci balik ke tempatnya semula dan mulai menikmati sarapan.
Ting! Notif masuk. Nama Tante Wilma muncul. Dengan segera Jovano meletakkan sendok garpu dan membuka pesan itu.
- Jovano, ke rumah. Bunganya, lo
Itu saja yang tertulis.
"Lha, kenapa bunganya? Mati?" Jovano bicara seolah menjawab Wilma.
- Pagi, Tan. Iya, aku ke sana. Aku lihat kenapa.
Jovano tidak mau buang waktu, dengan segera dia menghabiskan mie di mangkuk. Segala modifikasi yang tampak bagus di mangkuk tidak lagi terasa. Cepat habiskan dan segera meluncur ke rumah Wilma.
Tidak sampai satu jam, Jovano sudah mendarat di rumah keluarga Wilma. Turun dari mobil, Jovano langsung menuju ke teras. Matanya jelalatan mencari di mana bunga yang dia berikan pada Wilma. Tidak tampak lagi di sana.
Dari dalam rumah, Wilma muncul. "Hai! Udah nyampe?" Wajah Wilma ceria.
"Bunganya di mana, Tan?" tanya Jovano.
"Di dalam. Ayo!" ajak Wilma.
Jovano jadi bingung. Wilma tersnyum ramah, bukan tegang atau sedih. Jadi, sebenarnya bunga yang dia berikan itu kenapa? Wilma mengajak Jovano ke bagian belakang rumah. Ada teras lagi di sana, dengan taman kecil dan sebuah gazebo di tengahnya. Manis sekali.
Wilma terus berjalan dan naik ke gazebo. Ternyata bunga yang Jovano berikan Wilma letakkan di sana. Memang jadi pemanis. Dan bunga itu ...
"Muncul bunganya. Lihat ..." Wilma menunjuk satu pot di sana.
Jovano mencermati. Tanaman yang dia berikan, mulai menghasilkan bunga. Kecil, masih belum mekar lebar, cantik sekali.
"Aku kira kira mati, Tan." Jovano merasa lega.
"Nggaklah. Pingin kamu tahu, bunganya muncul." Wilma tertawa.
"Aku udah buru-buru makan, kukira ..." Jovano menggaruk kepala bagian kanan, meskipun tidak gatal.
"Sorry ... Kamu ga ada kerjaan?" tanya Wilma.
"Nggak. Lagi santai hari ini, Tan. Mau cari kontrakan aja, sih," jawab Jovano.
"Oh?" Wilma menaikkan kedua alisnya.
"Ibu! Ada telpon!" Ervina nongol. Dia memegang ponsel di tangan, milik Wilma.
"Oke, thank you!" Wilma turun dari gazebo mendekati Ervina dan menerima ponselnya.
Wilma masuk ke dalam rumah, bicara dengan si penelpon. Ervina masih berdiri di tempatnya dan memandang pada Jovano.
"Hai ...," sapa Jovano. Debaran merambah hatinya. Dia suka dan menikmati rasa itu menggelitik di dada.
"Hai ...," balas Ervina. Tanpa senyum.
"Ga nyangka, ada taman di belakang. Keren banget." Jovano duduk di gazebo. Matanya beredar-edar, memandang sekeliling.
Ervina mendekat, berdiri, berjarak sekitar dua meter dari Jovano. "Ini tempat kesukaan Gama. Dia biasanya akan lama di sini, membaca dan bekerja."
Jovano menatap Ervina. Ada sesuatu yang seperti memalu di dada Jovano begitu Ervina bicara soal Gama. Sampai kapan Ervina akan terus memikirkan mantannya yang sudah tidak ada lagi? Sekuat itu ternyata Gama akan bercokol.
"Gama?" ucap Jovano lirih.
"Gama betah di sini. Sambil mendengarkan musik. Sesekali bercanda." Ervina maju beberapa langkah. Dia berjalan berputar, seakan-akan mencari Gama duduk di sebelah mana.
"Aku Jojo, bukan Gama." Refleks kata-kata itu terlontar dari bibir Jovano.
Secepat kilat Ervina berbalik dan melihat ke arah Jovano. Matanya menatap tajam.
"Sorry, Vin. Aku ga ada maksud ...."
"Aku tahu. Gama memang ga di sini. Aku ga lupa." Ucapan itu terdengar sedikit ketus, tapi juga ada nada sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomanceKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...