"Kenapa bunga kamu berwarna warni begini?" tanya Ervina. Penasaran saja dengan pekerjaan anak lelaki berambut keriting itu.
"Biar tambah keren, Miss. Kayak bunga Om Badut." Anak itu menjawab tanpa menoleh, terus saja tangannya menorehkan warna ungu di atas gambarnya.
"Om Badut?" Ervina mengerutkan kening mendengar itu.
"Iya. Om Badut yang di ulang tahun Angel. Aku diberi bunga warna-warni. Bagus. Aku simpan di rumah. Ini mau buat kayak punya Om Badut." Anak itu tetap santai, menaruh crayon warna ungu, mengambil warna yang lain.
Ervina termenung. Bunga warna-warni dari badut. Dan badut itu Badut Jojo. Jovano. Pria yang menyelamatkan Ervina dari ombak, yang dua kali muncul lagi tiba-tiba. Badut itu juga memberi Ervina bunga warna-warni, bunga berwarna pink. Bunga-bunga itu Ervina taruh di gelas tinggi di dalam kamarnya.
"Kenapa kamu terus saja membayangiku, Badut?" bisik hati Ervina. Di benak Ervina terbayang tingkah Jovano yang lucu saat berada di tengah anak-anak.
"Siapa yang sudah selesai?!" Teriakan itu membuyarkan lamunan Ervina. Segera dia melihat ke sekelilingnya. Anak-anak sibuk menunjukkan hasil karyanya. Ervina menyisihkan bayangan Badut Jojo dan kembali membantu para murid itu.
Jam terus melaju hingga jam setengah sebelas siang waktu belajar hari itu selesai. Ervina dan Dea mengantar anak-anak menuju gerbang, menunggu orang tua menjemput mereka. Tinggal dua anak lagi yang masih menunggu, Ervina meninggalkan gerbang sekolah. Dia menuju ke kantor kepala sekolah.
"Hai, Miss Vina! Senangnya bisa melihatmu kembali di sekolah!" Sambut Ibu Kepala Sekolah dengan senyum cerah. "Bagaimana hari ini?"
"Menyenangkan. Selalu ada yang tak terduga bersama anak-anak." Ervina duduk di sofa kecil di ruang kepala sekolah. Wanita berusia lebih tiga puluh tahun itu duduk tepat di depan Ervina.
"Baguslah. Kita tunggu saja kejutan lain dari mereka." Ibu Kepala Sekolah kembali tersenyum.
Seperti yang Ervina niatkan, dia menyampaikan hanya ingin menjadi asisten saja di kelas. Dia belum siap jika harus menangani pelajaran dan menyiapkan materi. Dia akan bantu apa saja untuk keperluan kelas, tapi belum untuk mengajar penuh.
"Tidak masalah. Dea selama ini juga dibantu oleh guru yang lain sesekali. Enjoy saja." Kesepakatan terjadi.
"Terima kasih banyak, Miss Hilda. Jujur saja, rasa tidak enak aku datang di tengah semester, tidak mengambil andil banyak, masih minta keringanan juga," kata Ervina. "Agar adil dengan yang lain, hasil kerjaku disesuaikan saja, sebagai asisten."
"Mana bisa begitu? Miss Vina secara ...."
"Miss Hilda, aku mohon." Ervina menyela.
Ibu Kepala Sekolah menatap Ervina. Dia tampak berpikir. "Baiklah. Semester ini ya, Miss Vina. Semester depan akan tambah jumlah kelas, dan aku mohon, Miss Vina bisa penuh mengajar."
Ervina gantian yang berpikir. Apakah bisa dia lakukan? Memang tiga bulan lagi seperti jauh. Namun, waktu cepat sekali berlalu.
"Kamu salah satu guru terbaik di sini, Vina. Aku bisa mengandalkan kamu. Aku yakin." Hilda lebh serius bicara.
"Baiklah, semester depan." Ervina mengangguk.
"Thank you." Hilda tersenyum lebar. Ada kelegaan di aura wajahnya.
Selesai, Ervina meninggalkan ruang kepala sekolh, kembali ke kelas. Dia membantu Dea menyiapkan beberapa keperluan untuk kegiatan esok hari. Hingga jam menunjukkan pukul satu siang.
"Udah selesai semua. Bisa cabut." Dea tersenyum lebar.
"Ya, aku pingin cepat sampai rumah." Ervina berdiri dan merapikan kursi yang dia pakai."Jalan bentar, dong. Aku mau merayakan hari ini," ajak Dea.
"Nggak, malas," sahut Ervina cepat. Dengan cepat juga Ervina meraih tasnya lalu berjalan ke arah luar kelas.
Dea menguntit Ervina. "Hei, beli online saja, deh. Kita rayain di rumah kamu." Dea punya usul lagi.
"Hm, baiklah. Kalau di rumah boleh." Ervina tidak menolak.
"Asyik!! Mau seru-seruan sama Miss Vina!" Dea makin girang.
Setengah jam berikutnya mereka sudah sampai di rumah Ervina dengan makanan yang mereka pesan di depan mata.
"Hm, lama ga makan geprek. Makan bareng gini bikin kangen tahu," ucap Dea sambil mulai menikmati makanannya.
Ervina tersenyum. Tangannya juga sibuk memotong daging lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Dea mulai berkumandang. Sambil makan, mulutnya tidak berhenti bicara. Ervina mendengarkan saja. Sesekali dia akan menimpali yang Dea katakan.
"Bulan depan sebelum akhir semester kita akan field trip. Rencananya bawa anak-anak ke museum. Itu kan dekat Hari Pahlawan. Ga sabar aku," kata Dea.
"Hmm, Hari Pahlawan." Ervina mengulangi. Ada perasaan menggelitik di dadanya tiba-tiba.
Hari Pahlawan adalah hari jadinya dengan Gama. Ah, suasana hati Ervina setetika tidak enak. Ervina memandang Dea. Mulut temannya itu sudah berlanjut dengan kicauan yang lain. Namun, Ervina tidak lagi menyimak dengan sepenuhnya.
Setelah Dea pulang, Ervina termenung di dalam kamar. Dia duduk di depan meja rias, memandang wajahnya. Sendu, lesu, dan tidak bersemangat. Ternyata tidak mudah menyingkirkan kenyataan Gama sudah tidak bersama dengannya lagi. Apapun bisa menjadi pemicu Ervina kembali galau karena kehilangan Gama.
"Gama ... seandainya kitab isa bertemu, saat ini, apa yang kamu akan katakan sama aku?" ucap Ervina.
Tangan Ervina terulur ke arah pigura di meja. Ketika dia mengangkat pigura itu, punggung telapak tangan Ervina menyenggol gelas di sebelahnya dan terguling. Dengan cepat Ervina meletakkan pigura dan mengangkat gelas. Bunga-bunga pemberian Jovano bergeletakan di sekitar gelas itu.
Ervina mengambil satu bunga mawar warna-warni. Jovano muncul dalam benak Ervina. Wajah tampan dengan dagu lancip itu, senyumnya lebar dan punya khas yang beda.
"Jojo ..." Pelan, bibir Ervina mengucapkan nama itu.
"Tidak masalah, dengan senang hati!" Kata-kata yang paling sering Jovano ucapkan.
Ervina ingat malam saat Jovano mengantar dia pulang dari acara ulang tahun teman ayahnya. Mereka mendapat minuman kejutan cinta dan juga permen. Ervina menoleh ke sebelah kanan. Dia mengambil tasnya dan membuka saku depan. Permen itu masih ada di sana.
"Cintamu pergi? Bagaimana jika di depanmu adalah cinta yang terbaik untukmu?"
Ervina membaca bersuara, dengan suara lirih. Ada rasa yang menggulung di dada Ervina.
"Ga. Ga ada lagi cinta yang terbaik. Cinta terbaik di hidupku telah pergi jauh, bersama Gama." Ervina berkata lebih kuat.
Cepat-cepat tangan Ervina merapikan gelas dan bunga-bunga berwarna-warni dari Jovano. Sesudah itu Ervina pergi ke kamar mandi. Dia memilih menyegarkan badan. Tidak sampai setengah jam kemudian, Ervina keluar kamar, ingin menemui Wilma. Jam empat lewat, biasanya Wilma akan mulai memasak untuk malam malam.
Ervina tidak melihat ibunya di ruang belakang. Rumah tampak sepi dan senyap. Apa Wilma keluar rumah? Aneh. Kalau pergi pasti akan memberitahu. Apalagi sejak Ervina terpuruk dalam luka, Wilma hampir tidak pernah meninggalkan Ervina tanpa mengatakan akan ke mana.
"Bu Asti dan Pak Madi juga ga keliatan. Pada ke mana sih, orang rumah?" tukas Ervina.
Dia berbalik dan melangkah ke arah depan rumah. Mungkin juga ibunya ada di taman depan sedang menyirami tanaman. Alangkah terkejutnya Ervina, saat langlah kakinya tiba di teras. Jovano sedang duduk bersama Wilma, berdua!
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
Roman d'amourKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...