Wajah Ervina memerah. Aneh, bisa-bisanya si ibu menyebut Jovano pacarnya? Jovano hanya senyum-senyum dan tidak mengelak perkataan itu.
"Ah, nggak, Bu. Cuma teman," ujar Ervina cepat meluruskan.
"Oh ... kirain. Kalau beneran cocok, kok, Mbak!" sahut si ibu.
"Kami permisi, terima kasih." Segera Ervina menyudahi pertemuan itu dan ingin segera berlalu dari sana.
"Iya, Mbak. Terima kasih kembali," balas si ibu.
Mereka berjalan lagi. Berdua, menuju ke rumah Ervina.
"Gimana? Jadi?" Tidak tahan juga, Ervina ingin tahu hasil pembicaraan dan bertanya.
"Hm, aku suka rumahnya. Sayang, duitku, kurang dikit. Aku harus kerja keras dalam satu dua minggu ini, baru bisa nutup buat kontrak setahun." Jovano menjawab apa adanya.
Ervina menoleh dan melihat pria penuh misteri di sampingnya. "Gitu? Kalau sampai keduluan orang?"
"Ya, bukan rejeki. Mau gimana? Mesti hunting lagi." Jovano menjawab santai.
"Rumah yang sekarang emang ga bisa dikontrak lagi?" Pertanyaan Ervina berlanjut.
"Rumah itu punya orang tua Tiara. Mereka baik, aku diijinkan tinggal selama ini, sejak aku selesai kuliah," jawab Jovano.
Ervina cukup terkejut mendengar itu. Jovano tinggal di sebuah rumah, punya orang tua Tiara? Lalu keluarga Jovano?
"Rumah tadi kecil. Apa muat dengan orang tua kamu, saudara kamu ..." Ervina memperkirakan.
"Aku seorang diri saja. Jadi aman," ujar Jovano.
"Orang tua kamu?" Makin penasaran juga Ervina.
"Udah di surga. Mungkin ketemu sama Gama di sana." Jovano tersenyum kecil di ujung bibirnya.
"Ohh ..." Mulut Ervina membulat, tidak menduga akan mendapat jawaban itu. Dadanya berdesir saat Jovano menyebut nama Gama.
"Udah garisnya kata orang. Tapi aku baik-baik saja. Aman." Senyum Jovano lebih lebar.
Mereka tiba di rumah. Mereka naik ke teras. Jovano berhenti dan tidak masuk.
"Kamu mau minum?" tanya Ervina. Dia mendekat memandang Jovano.
"Tante Wilma lagi pergi, kan? Om ada nggak?" tanya Jovano balik, memastikan situasi di rumah.
"Ayah lagi olahraga sama teman-temannya. "Main bulutangkis. Bentar lagi paling udah sampai rumah," jawab Ervina.
"Aku di teras saja. Ga enak masuk." Jovano duduk di kursi yang hanya berjarak lima langkah darinya.
Ervina memandang Jovano lagi. Ini badut, pelukis, pemain band ... ah, Ervina tidak tahu apa sebutan yang tepat buat Jovano. Pria segala? Jovano ternyata sangat sopan. Dia tidak mau masuk jika orang tua Ervina tidak di rumah.
"Terserah. Jadi mau minum, ga?" tanya Ervina ulang.
"Boleh. Kamu punya minuman kesukaan?" Jovano memandang Ervina. Ada senyum kecil di ujung bibirnya.
"Iyalah. Mau?" Muncul ide di kepala Ervina. Dia ingin mencoba sikap Jovano kalau minum sesuatu yang kurang biasa disuguhkan saat bertamu.
"Boleh." Jovano tersenyum lebih lebar.
Ervina masuk ke dalam rumah. Jovano memandang ke teman di depan rumah itu. Beberapa jenis bunga ada di sana. Beberapa mulai mekar mempercantik taman itu.
"Masih kurang duitku. Gimana ya, bisa dapat paling lama dua minggu? Kalau bisa lebih cepat." Jovano berpikir.
Sebuah mobil masuk ke halaman rumah itu. Mobil berwarna hitam dengan logo yang menunjukkan kelas mobil bermerk. Mahal pasti. Seorang pria usia lebih lima puluh tahun turun dari kendaraan itu. Matanya memandang pada Jovano, jelas ada pertanyaan tentang pemuda yang ada di teras rumah. Jovano tersenyum pada pria itu.
Saat pria itu sampai di teras, Jovano berdiri menyambutnya. "Selamat siang, Om." Jovano menduga pria itu adalah ayah Ervina.
"Siang. Siapa, ya?" Yup! Pertanyaan itu. Jovano yakin pria ini ayah Ervina. Gaya pemilik rumah yang bertanya.
"Saya Jovano, Om. Saya teman Ervina." Jovano mengulurkan tangan.
Wajah pria itu seketika lebih cerah, senyumnya pun melebar. "Oh, oke. Vina mana?"
"Sedang ambil minum," jawab Jovano.
Dari dalam rumah Ervina muncul dengan cangkir di tangannya.
"Ah, ini dia! Sayang, kamu ga bilang Ayah punya teman cakep gini?" ujar Handika.
"Ngapain bilang?" Jawaban Ervina terdengar tidak ramah.
"Haa ... haa ... Ya, baiklah. Ayah masuk dulu, mau mandi. Kalian lanjutkan saja." Handika masuk ke dalam.
Jovano menoleh pada Ervina. Dia memperhatikan cangkir yang Ervina bawa.
"Ini minuman kesukaan kamu?" Jovano bertanya.
"Hm-mm." Ervina menyodorkan cangkir di tangannya.
Jovano menerima cangkir itu dan memperhatikan isinya. Dari aromanya, Jovano tahu, apa yang Ervina suguhkan. Warna minuman di cangkir itu kuning kecoklatan.
"Kenapa? Itu sehat buat tubuh," kata Ervina.
"Ya, aku tahu. Jamu memang sehat buat tubuh." Jovano masih memperhatikan cangkir yang sudah pindah di tangannya. Jovano tidak begitu suka jamu. Apalagi yang kuat dan kental. Biasanya dia mau beras kencur atau sinom saja.
"Selamat menikmati." Ervina tersenyum. Dia merasa menang bisa mengerjai Jovano.
Jovano mundur dan kembali duduk. Dia menarik nafas dalam bersiap meneguk jamu di cangkir. Ervina terus memperhatikannya. Jovano mendekatkan cangkir ke mulutnya. Dia menahan nafas agar tidak tercium aroma kuat dari jamu itu. Lalu dia hembuskan nafas dan segera meneguk beberapa kali. Rasa getir langsung menyerang mulutnya.
"Gimana? Enak, kan?" Ervina tersenyum lebar lagi. Dia senang melihat ekspresi Jovano nyengir menahan rasa aneh di mulutnya.
"Hm, enak ga enak. Yang penting sehat," ujar Jovano. Lagi dia meneguk minuman itu beberapa kali.
Ervina mengangkat kedua alisnya. Wajah nyengir Jovano muncul lagi. Itu cowok nekat juga. Sampai setengah gelas dia minum. Padahal Ervina sendiri kalau minum jamu juga ga mau yang sekental itu.
"Uhh ... lumayan." Jovano meletakkan cangkir di meja. Ervina tertawa. Lidah Jovano berubah kuning karena bekas kunyit dari jamu menempel.
Jovano ikut tertawa. Dia berhasil membuat Ervina tertawa. Ini kemajuan sangat baik. Siapa yang mengira, satu hari dia bisa bertemu, gadis cantik seperti Ervina, yang mudah berubah-ubah mood-nya. Tapi Jovano sangat menikmati semua yang dia lewati dengan Ervina.
"Sorry, aku gangguin kamu." Ervina mengaku. "Minuman kesukaanku teh dingin."
"Oh?" Jovano melongo. Kaget juga mendengarnya.
"Jangan marah. Badut itu harus sabar. Kan yang dihadapi anak-anak," ujar Ervina.
"Nggak. Kaget aja," sahut Jovano, bibirnya kembali melempar senyum.
"Nice." Ervina mengangguk-angguk.
"Vina, kamu sudah baik-baik, kan?" Jovano beralih topik.
Ervina memandang Jovano. Dia paham apa maksud pertanyaan itu. Ervina tidak langsung memberikan jawaban. Dia menyusuri hatinya.
"I guess." Ervina menjawab sambil mengangkat kedua bahunya.
"Glad to hear that." Jovano tersenyum. Hati Jovano berdetak mulai kencang. Sebab dia merasa ada dorongan untuk mengungkapkan pergulatan di dalam dirinya pada Ervina.
"Boleh aku jujur?" Jovano hati-hati mengucapkan kata-kata itu.
"Bukannya orang memang harus jujur?" tandas Ervina. Dia menyadarkan punggung di sandaran kursi dan melipat kedua tangan di dada.
"Bertemu kamu buat aku, sebuah kejutan luar biasa di hidupku." Jovano memulai. Dia berharap kalimat itu sebagai pembukaan yang baik.
"Hmm?" Ervina mengerutkan keningnya. Hatinya berkelana. Dia mulai mencoba memahami ke mana arah bicara Jovano.
"Kamu datang tiba-tiba, dengan situasi ga kepikir. Di pantai, kamu sedang dalam bahaya, hampir terbawa arus gelombang. Aku ..."
"Kenapa kamu menolongku saat itu?" Ervina menyela dan mengajukan pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomanceKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...