Mata Ervina dan Jovano bertemu. Debaran di hati masing-masing semakin kuat. Tidak ada yang bicara, hanya saling memandang.
"Pak, Bu, Mbak Vina, saya pamit. Pos udah kosong dari tadi. Mesti balik jaga." Sekuriti mohon diri. Dia menoleh pada Handika dan Wilma, lalu beralih melihat pada Ervina.
"Baik, Pak. Terima kasih." Ervina tersadar dan segera menjawab.
"Kita harus cepat, Mas." Wilma menggandeng suaminya mengajak bergegas berangkat.
"Pak Rahmat, terima kasih banyak. Kami harus pergi." Handika melambai pada sekuriti yang masih belum beranjak.
"Sama-sama, Pak." Sekuriti membalas lambaian Handika. Lalu dia berjalan beberapa meter di belakang Handika dan Wilma.
Tinggal Ervina dan Jovano, berdua saja.
"Ayo, nanti terlalu malam kita pergi," ucap Jovano.
"Iya, oke," ujar Ervina sambil mengangguk.
Keduanya pun meninggalkan rumah. Rumah besar itu kembali gelap dan sepi. Hanya lampu teras dan ruang tengah yang menyala. Mobil Jovano melaju di jalanan yang sudah mulai lengang. Ervina terlihat masih tegang. Pikirannya beradu dan bergelut, semua kenangan dari Gama berkejaran lagi di sana.
Setiap sekian menit dia menoleh pada Jovano. Gama benar. Jovano punya banyak sisi baik, kelebihan, dan hal-hal istimewa yang bahkan lebih dari yang Gama miliki. Apakah Gama tahu itu? Sehingga setiap kali dia muncul dalam bayangan Ervina, seolah-olah membuka pintu lebih lebar agar Ervina mendekat ke hati Jovano.
"Kamu dari mana tadi? Sama Om dan Tante?" Jovano memecah kesunyian di antara mereka.
"Ada acara keluarga. Biasa, jadwal rutin kumpul bareng," jawab Ervina.
"Oh, I see ..." Jovano menoleh sekilas, lalu melihat lagi jalanan di depannya.
"Jo, makasih banyak buat semuanya." Suara itu, manis terdengar.
Jovano menoleh lagi. Tatapan Ervina berbeda. Belum pernah Jovano dilihat dengan cara seperti ini oleh Ervina. Judes dan galak yang sering Jovano dapatkan dari Ervina.
Tin!! Terdengar klakson kencang dan mengejutkan.
"Jo!"
"Oh, my God!"
Jovano dan Ervina berteriak bareng. Jovano sedikit hilang fokus dan hampir bersentuhan dengan mobil dari arah depan.
"Vina, maaf ..." Jovano segera kembali pada setir. Dia menata nafasnya. "Hhuuffhhh ...."
"Ga usah lihat aku kalau bicara. Dengerin saja." Ervina berkata, lembut, tidak ada nada ketus di sana. Sementara tangannya mendekap dada karena terkejut luar biasa.
"Oke." Jovano menyahut.
Kembali hening. Hingga sampai di rumah sakit, mereka berjalan menuju ruangan Pak Madi, tidak juga ada yang membuka mulut. Tepat di depan kamar, keduanya berhenti di depan pintu, melihat ke dalam. Tampak Handika, Wilma, dan Bu Asti berdiri di sekitar ranjang tempat Pak madi berdiri. Mereka tampak serius bicara.
"Ah, Mbak Vina, Mas Jovan. Mari masuk, silakan." Bu Asti yang lebih dulu menyadari keberadaan mereka berdua.
Jovano dan Ervina masuk dan mendekat. Pak Madi terlihat lemah. Tetapi dia baik-baik saja. Ada senyum di wajahnya.
"Mas Jovano, terima kasih banyak telah menolong saya. Saya ndak akan lupa jasa Mas Jovano, menyelamatkan saya. Telat dikit, bisa jadi janda istri saya, Mas." Pak Madi mengulurkan tangan pada Jovano.
Jovano tersenyum lebar, tangannya menyambut tangan Pak Madi. "Bapak bisa saja. Cuma kebetulan , Pak."
"Ga ada yang kebetulan di dunia ini, Jovano. Itu yang aku yakini. Tuhan mengatur segala sesuatu tepat, untuk suatu tujuan. Kadang kita merasa seperti ada kesalahan, keterlambatan, ketidakadilan, dan banyak hal lain yang tidak sesuai dengan pikiran kita. Tapi Tuhan mengarahkannya untuk suatu maksud yang mulia, demi kebaikan kita." Wilma menyahut.
Jovano terkejut dan tidak mengira dengan apa yang Wilma ucapkan.
"Jadi, aku mewakili keluarga ini, aku mengucapkan terima kasih buat semuanya yang kamu sudah lakukan buat kami. Ervina, kamu yang menyelamatkannya dari gelombang maut di pantai. Dan Pak Madi, juga seisi rumah kami kamu pun yang Tuhan kirim menolong. Terima kasih, Jovano." Handika menepuk-nepuk bahu Jovano.
Jovano tersenyum tipis, tidak tahu harus menimpali apa perkataan orang tua Ervina.
*****
Jovano memandang rumah kecil di depannya. Dia pindahan hari itu. Sudah tiga kali dia bolak-balik antara rumah tempat dia tinggal dan rumah kontrakan. Lelah juga, tapi Jovano sangat senang. Tinggal sekali lagi maka semua akan selesai.
Barang yang Jovano bawa tidak begitu banyak. Pakaian, peralatan-peralatan untuk bekerja, buku-buku, dan beberapa barang pribadi lain. Hampir semua perabot dan barang rumah tangga yang dia pakai selama ini juga milik keluarga Tiara. Jovano hanya membawa barang miliknya sendiri.
Tok! Tok! Tok!
Jovano memutar badannya. Ervina berdiri di pintu dengan tentengan di tangannya.
"Hai!" Jovano tersenyum lebar.
"Belum makan siang, kan?" Ervina mengangkat sedikit tentengannya.
"Belum. Sekalian mau ambil barang sekali lagi, baru makan. Nanggung." Jovano menjawab. Keringat memenuhi kening, hidung, dan lehernya.
Ervina maju beberapa langkah mendekat. Dia letakkan tentengan di meja, lalu mengeluarkan tisu dari tas slempang yang dia sampirkan di bahu. Dia sodorkan tisu di depan Jovano.
"Thanks." Jovano tersenyum. Dia mengusap keringatnya dengan tisu.
"Makan saja dulu, Jo. Nanti aku bantu. Berdua lebih baik, kan, daripada kerja sendiri." Ervina tersenyum. Manis. Senyum yang biasanya dia tunjukkan untuk orang lain, bukan Jovano.
"Kamu mau bantu?" Jovano terkejut dengan kata-kata Ervina.
"Ga boleh? Aku lagi ga ada kerjaan. Daripada nganggur. Kalau kamu ga ..."
"Boleh, tentu saja. Dengan senang hati," ucap Jovano cepat.
Ervina kembali menyunggingkan senyum. Ah, senyum itu, diiringi tatapan mata yang meneduhkan. Jovano merasa dadanya berdetak dengan cepat. Sikap manis Ervina, apakah ini pertanda baik?
"Kamu suka ayam bakar?" Ervina membuka kotak makanan yang dia bawa. Dua porsi untuk mereka.
"Tentu saja. Apa saja aku mau." Jovano kembali menjawab cepat. Ervina tak bosan-bosan melempar senyum lagi, bahkan sampai gigi putihnya terlihat.
"Tunggu, aku ambil minum, ya?" Jovano bergegas berbalik, membuka tasnya. Dia masih menyimpan satu botol teh di sana.
Dia mengeluarkan juga dua cangkir dari salah satu kardus. Dia bersihkan dengan tisu, lalu dia tuangkan isi botol ke dalam dua cangkir itu.
"Oke, semua siap. Markimak ... mari kita makan ...." Jovano duduk di kursi dan mengambil sendok plastik dari kotak makan.
Ervina duduk di depan Jovano. Tawa renyah terdengar dari bibirnya. Jovano senang sekali. Hatinya makin girang, Ervina, si jutek berubah semanis ini!
Makan bersama Ervina. Dia yang membawakannya. Kenapa Jovano merasa ini kesempatan baik dia mengutarakan lagi isi hatinya dan menunggu jawaban yang menggembirakan dari bu guru cantik itu?
"Nikmatnya ... makasih banyak, Vin. Benar-benar ya, kalau makan gratisan itu, ga ada tandingnya, hee ... hee ...." Jovano tergelak. Makannya sudah ludes. Minumannya juga kosong di cangkir.
"Baguslah. Udah kenyang, siap lanjut, dong. Setelah ini kita ngapain?" tanya Ervina. Tangannya membereskan kotak makanan mereka.
"Ke rumah, ambil barang-barang terakhir. Mumpung belum sore. Lebih cepat lebih baik. Dan kamu benar, berdua akan lebih baik. Jadi, mau bantu?" Jovano berdiri.
"Yup. Come on," sahut Ervina.
Dengan hati bergelimang kegirangan, di kepala Jovano terasa ada bintang, burung, dan bunga-bunga berkeliaran, Jovano mengajak Ervina bersamanya. Berdua, mereka ke rumah tempat Jovano tinggal selama ini. Kesempatan emas makin lebar di depan mata!
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomanceKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...