Bab 1 - Ini Tidak Mungkin!

48 6 4
                                    


"Gama! Gama! Ini ga mungkin! Ga mungkinnn!!!"

Dengan tangan gemetar, Ervina memandang layar ponselnya. Kabar yang dia dengar sangat mengejutkan. Seperti petir di siang bolong! Disusul dengan badai dan angin ribut! Tidak bisa dipercaya berita yang dia terima tentang kekasihnya, Gamaliel.

Dada Ervina berdegup kencang, sedangkan tubuhnya oleng, dia terjatuh dan pingsan. Ibu datang tergopoh-gopoh demi mendengar teriakan Ervina. Secepat kilat Ibu memeluk Ervina dan menahan agar mereka berdua tidak terjerembab ke lantai.

Ibu berteriak memanggil pembantu rumah agar segera menolong membawa Ervina masuk ke dalam kamar. Ibu memberi minyak di sekitar hidung, leher, dan tangan Ervina, berusaha membuat putrinya siuman.

"Ada apa sebenarnya, Vin? Kenapa kamu sekeras itu berteriak dengan panik lalu pingsan tiba-tiba?" Ibu mengusap kening Ervina. Wajahnya yang imut tampak gelisah sekalipun dia belum benar-beanr sadar.

"Vina, Ervina ...," panggil Ibu dengan rasa cemas memenuhi dadanya.

Ervina membuka mata. Dia memandang ke atas, langit-langit kamarnya putih dan bersih yang tampak. Lalu dia mengarahkan pandangan ke sisi kanan. Ibu sedang menatapnya dengan wajah resah.

"Sayang, Vina ... ada apa, Nak?" tanya Ibu. Suaranya lembut, tapi ada cemas menyusup dari pertanyaannya.

"Ibu ...." Ervina segera duduk, lalu memeluk ibunya sambil menangis. Dia tidak mampu mengucapkan kata apapun. Hanya tangisan yang tak bisa dia tahan menunjukkan betapa sedih hatinya.

"Sayang, kalau kamu tidak bicara, Ibu bisa bantu apa?" ujar Ibu. Dia usap rambut hitam kecoklatan Ervina yang halus dan tebal.

Ervina melepas pelukannya. "Gama ... Dia ... kecelakaan saat pendakian ... dia, dia tidak selamat. Huaahhhh!!" Tangis Ervina meledak lagi.

"Ya Tuhan ...." Ibu sangat terkejut. Tangan dan kakinya terasa lemas. Tubuhnya seperti melayang. "Ini benar? Ini benar-benar Gama? Gamaliel calon suami kamu?"

Ervina hanya mengangguk di tengah tangisnya, sambil tangannya makin erat memeluk Ibu.

"Ya Tuhan ... Ya Tuhan ...." Dua kata itu yang berulang-ulang Ibu ucapkan. Tidak tahu harus menghibur putrinya seperti apa. Dia biarkan Ervina terus menangis menumpahkan segala rasa yang campur aduk di dadanya. Rasa yang juga Ibu rasa, campur aduk dan penuh tanya. Kenapa? Mengapa Gama?

*****

Pemakaman akhirnya dilangsungkan. Ervina tidak selangkah pun beranjak dari sisi Gama. Sejak jasad kekasih hatinya masuk di rumah duka, hingga kemudian dibawa ke tempat peristirahatan terakhir, Ervina selalu ada di sisi peti mati Gama. Ervina seperti mayat hidup. Tidak bicara, seolah tidak bergerak. Semua yang ada di sekelilingnya seolah-olah tidak ada. Hampa dan kosong.

Ervina hampir tidak mengisi tubuhnya dengan air atau makanan sesuap pun. Ibu berulang kali memaksa Ervina mau menelan sedikit saja air atau sepotong kue. Ervina hanya menggeleng, mengusap pipinya yang basah, lalu menunduk dalam-dalam.

"Ervina, yang kuat, yang tabah, ya ...." Satu per satu teman, sahabat, keluarga, dan handai taulan yang ikut datang ke pemakaman menyalami Ervina, beberapa memeluknya, menunjukkan simpati mereka yang dalam. Kemudian mereka meninggalkan tempat itu.

Ervina masih bersimpuh di depan pusara Gama yang baru beberapa menit lalu dipasang. Orang tua dan dua kakak Gama hanya bisa menangis sedih melihat Ervina. Tentu saja mereka sangat kehilangan Gama. Melihat Ervina yang seperti ikut sekarat menunggu detik-detik akhir, perih makin menghujam hati mereka.

Begitu pun kedua orang tua Ervina dan kakak laki-lakinya. Hati mereka serasa remuk. Ervina dan Gama, pasangan manis dan selalu ceria, kini harus terpisah dua dunia. Kebahagiaan terus mengiringi sejak mereka menjadi kekasih. Hingga setengah tahun lalu, Ervina dan Gama menetapkan hari pernikahan. Namun, nasib berkata lain. Sang Khalik, Sang Pemberi Hidup, punya rencana berbeda. Gama diambil tiba-tiba dengan cara yang tak pernah terpikirkan.

"Vina, kami mau pulang. Ayo, Sayang. Hari hampir hujan," Ibu Gama mengusap lembut bahu Ervina.

Ervina tidak menjawab. Matanya memandang lurus pada pusara di depannya, membaca nama lengkap nan indah milik pria yang paling isimewa di hatinya, Gamaliel Darrel Aloysius.

"Vina, kita pulang, ya?" Ibu Ervina akhirnya ikut bicara.

"Aku mau sama Gama. Dia sudah janji ga akan ninggalin aku." Lirih Ervina berkata sambil tangannya mengelus pusara dengan nama gagah sang kekasih.

Dua ibu yang sama-sama merasa kehilangan, kembali berurai air mata mendengar yang Ervina katakan.

"Gama bilang, kami akan sama-sama sampai tua. Kalau dia pergi, dia harus ajak aku. Aku ga bisa tanpa dia. Dia harus tepati janjinya. Kalau aku ga temani, dia akan sendirian," ucap Ervina dengan mata masih lurus ke depan. Apapun yang dia dengar dari kedua ibu yang sayang padanya itu tidak masuk ke dalam benaknya.

"Ya Tuhan ...." Tangis Ibu Ervina makin jadi. Sekuat mungkin berusaha agar bisa menghentikan tangisnya, harus kuat demi Ervina.

Ayah Ervina yang sedari tadi hanya diam, memandangi putri bungsunya degan hati perih, menarik nafas dalam. Lalu dia ikut bersimpuh di sisi Ervina, dan dia mengelus bahu Ervina dengan lembut. "Sayang, Gama sudah bersama Tuhan. Dia ada di tempat yang jauh lebih baik dan dia tidak sendiri."

"Uhhuuukkkk ...." Ervina menunduk dalam-dalam. Dia mendekap kedua tangannya sambil membungkuk hingga hampir mencium tanah makam yang masih basah.

Deari air mata masih belum berkurang. Kepedihan rasanya makin menusuk ke dalam jantung. Ayah meraih bahu Ervina dan memeluknya erat-erat. Tak bisa dia cegah, meskipun dia seorang ayah, laki-laki yang tegar, air matanya pun menitik juga.

"Sayang, kita pulang. Oke?" Ayah menguatkan hati, dia sedikit memaksa Ervina agar mau meninggalkan pemakanan. Dia membantu putrinya berdiri dan memapahnya berjalan menuju ke luar area, ke tempat parkir.

Saat mereka masuk ke dalam mobil, hujan turun dengan derasnya. Air mata Ervina kembali tumpah. Dia menangis dalam pelukan sang ibu. Cuaca hari itu seakan tahu, hati Ervina porak poranda karena harus melepas calon pendamping hidup untuk selama-lamanya. Tak ayal, derai air mata Ibu pun meluap. Entah bagaimana dia bisa membuat Ervina akan kembali tersenyum.

*****

"Jangan! Kamu jangan pergi! Aku butuh kamu, Gama! Gama, kembali!!"

Tubuh tinggi dan gagah itu berjalan menjauh. Ervina berusaha mengejar, tetapi ada yang menahan dia dan tak bisa bergerak.

"Huuhhh!! Huuhhhh!!" Seketika Ervina membuka mata. Nafasnya memburu naik dan turun. Keringat memenuhi keing dan lehernya. Secepat kilat Ervina duduk dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Nafasnya masih belum teratur, melaju cepat seperti habis berlari kencang.

"Aku mimpi buruk lagi," ucap Ervina lirih.

Hampir setiap malam, Ervina bermimpi buruk tentang Gama. Kembali kejadian naas itu memenuhi kepala Ervina. Kepergian Gama rasanya masih tidak dapat dipercaya. Pendakian yang memang tidak sepenuhnya Ervina setuju Gama pergi, akhirnya benar-benar merenggut nyawa pria tampan kesayangan Ervina.

Ervina tidak akan lupa saat Gama mengatakan akan pergi mendaki dengan tim pecinta alam kampus, Ervina seketika menolak. Bukan karena Gama tidak pernah mendaki, tetapi karena mereka harus melakukan persiapan untuk pernikahan dan ada jadwal di hari saat Gama harus mendaki.

**

"Ga boleh! Kita udah ada jadwal, Gama," tolak Ervina tegas.

"Sayang, sekali ini saja. Ya?" Gama merayu dengan tatapan mata penuh pesonanya.

Ervina menatap dalam-dalam bola mata Gama.

Berlabuh di Pantai HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang