Bab 9 - Jangan Pernah Datang Lagi!

6 1 0
                                    


Wilma terkejut dengan sikap Ervina yang tiba-tiba sekasar itu. Dia berdiri memandang putrinya yang sedang marah.

"Vina, bukan itu maksud Ibu. Ibu hanya ..."

"Oke. Biar semua orang tahu, betapa malangnya aku, nasib sial menimpaku sampai harus kehilangan Gama. Biar semua orang memandang aku dengan rasa iba. Terima kasih, Bu!" Amarah Ervina meledak.

"Bukan begitu, Vina. Maafkan Ibu. Ibu sebenarnya ..."

"Kamu badut konyol, jangan sok ingin tahu hidup orang!" Ervina tidak memperhatikan kata-kata Wilma. Dia ganti menatap gusar pada Jovano. "Jangan karena kamu yang nolongin aku, kamu merasa punya hak tahu semua hal tentang aku! Lebih baik kamu pergi dan jangan pernah datang lagi!"

Wilma tidak menduga Ervina bisa memarah ini padanya karena bicara dengan Jovano. Wilma menoleh pada Jovano dengan rasa tidak nyaman. Pemuda itu tetap tenang, tidak ada ekspresi yang berubah darinya.

"Oke, aku akan pergi." Jovano tersenyum kecil. Dia menoleh pada Wilma. "Terima kasih banyak buat makan siangnya, Tante. Aku pamit."

"Jovano, tolong maafkan Tante, maafkan Vina," kata Wilma dengan perasaan campur aduk.

"Tidak masalah." Jovano kembali tersenyum.

"Bisa nggak, ga usah pakai basa-basi. Silakan tinggalkan rumah ini!" Ervina sangat tidak sabar melihat Jovano masih saja berdiri di depannya dan tidak segera beranjak.

Jovano mengarahkan pandangan keada Ervina. Kesal juga mendapat perlakuan seperti ini. Tapi apa daya, tidak mungkin Jovano mendebat Ervina.

"Bye ..." Satu kata itu yang Jovano ucapkan. Lalu dia mengangkat tasnya dan berjalan keluar rumah itu.

Sampai di depan pintu Jovano menoleh ke belakang, ternyata Ervina mengikuti seolah-olah memastikan Jovano akan segera pergi. Beberapa langkah di belakang Ervina, Wilma berdiri melihat Jovano dengan rasa bersalah.

Jovano menganguk pada Wilma lalu meneruskan langkahnya. Dia masuk ke mobil dan segera membwa kendaraannya menjauh dari rumah besar itu. Entah bagaimana Jovano menggambarkan perasaannya, yang pasti iba masih tersisa di hati buat Ervina.

"Moga kamu baik-baik, Vina. Hidup memang selalu punya kejutan. Dan sering kejutannya tidak menyenangkan." Jovano bicara sendiri.

Jalanan cukup padat, Jovano terus meluncur menuju ke tempat tinggalnya. Sebuha rumah sederhana, yang hanya punya halaman kecil. Bangunan tidak begitu luas, hanya punya dua kamar. Jovano memarkir mobilnya dan masuk ke dalam rumah.

Dia letakkan tasnya di pojok kamar, lalu melempar tubuhnya ke atas ranjang. Mata Jovano melihat langit-langit kamar yang putih. Wajah ayu Ervina kembali terpampang. Sedih, galau, dan marah, campur menjadi satu dari tatapan Ervina.

"Perjalanan hidup. Aku dapat kesempatan bertemu Vina, tak terduga." Jovano berkata lirih. Dia terbawa pada senja itu, saat dia baru selesai melayani anak-anak di acara ulang tahun salah satu pengusaha lumayan besar di kota ini.

**

Langit merah dan sangat cantik di senja itu.

Jovano mendekati sisi pantai karena ingin menyaksikan sunset. Dia tidak mau menyia-nyiakan proses alam yang abadi keindahannya kala mentari perlahan menenggelamkan diri di ufuk barat, menghilang di balik luasnya lautan.

Tak sengaja mata Jovano melihat ke deretan bebatuan besar dan tampak sesosok wanita dengan gaun putih berdiri di atas sebuah batu. Ombak mulai meninggi dan menerjang.

Dengan cepat Jovano berjalan ke arah bebatuan itu. Dia mau memastikan siapa yang ada di sana. Aneh saja, seorang wanita sendirian di suasana remang hampir gelap. Sedangkan ombak menggila dan wanita itu tidak ada niatan segera balik ke tepi pantai.

"Hei! Mbak, turun, Mbak!" Jovano berteriak sekuatnya. Sayang, ombak berdebur begitu kuat. Suara Jovano tak terdengar.

Jovano semakin cepat berjalan. Setengah berlari dia menghampiri. Di saat itu wanita bergaun putih itu berusaha menuruni batu, terjangan ombak datang dan wanita itu mulai tenggelam. Jovano seperti tidak berpikir, dia melompat saja ke dalam air dan secepatnya meraih wanita itu agar tidak makin jauh terbawa gelombang le laut.

**

"Hhuuffhh ...." Jovano mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Sedikit saja terlambat, pasti bukan hanya Vina yang mati di laut, aku juga."

Jovano kembali menatap langit-langit kamarnya. Kali ini yang muncul Ervina yang tersenyum lebar dan gembira di tengah anak-anak.

"Guru TK. Ervina seorang guru TK. Beda sekali dia waktu di tengah anak-anak. Dia bisa segembira itu. Sama aku napa jutek banget? Heran." Jovano mengembuskan nafasnya. Terakhir yang muncul wajah garang Ervina, marah tingkat dewa saat tahu ibunya bercerita pada Jovano tentang kisah cinta Ervina yang kandas.

Tok tok tok tok!!

Tok tok tok tok!!

"Jojo!!"

Mendengar ketukan keras dan bertubi-tubi di pintu membuat Jovano melompat bangun. Di kaget luar biasa.

"Astaga!! Tiara, kelakuan memang!" Dengan cepat Jovano membuka pintu rumah lebar-lebar.

Tiara masuk tanpa permisi. Langsung dia menuju ke ruang tengah yang tersambung dengan meja makan dan dapur.

"Kamu ke mana aja? Dari tadi aku telpon ga bisa. Itu HP udah ga berguna apa?" Tiara meletakkan bungkusan yang dia bawa ke atas meja. Dia berpaling dan memandang Jovano dengan kesal.

"Yaaahh, pasti HP mati. Aku beneran ga mikir cek. Ini juga belum lama sampai rumah. Ada apa, sih? Kayak ada situasi darurat negara aja." Jovano mendekat ke sisi meja. Tangannya membuka bungkusan yang Tiara letakkan di sana.

"Kamu tadi main di TK itu, kan? Kenapa sampai jam segini baru pulang? Ada masalah?" Tiara duduk sambil tangannya mengambil bungkusan yang sudah terbuka di meja. Martabak, kesukaan Jovano.

Jovano ikut duduk dan mengambil juga sepotong. "Kamu memang sohib aku paling baik. Biar sewot juga tetap perhatian sama aku."

Jovano menggigit martabak dan mulai mengunyahnya.

"Lha jelas, orang aku cinta sama kamu. Kamu aja ga nyadar," sahut Tiara dengan entengnya.

"Hmm ... Jangan asbun," ujar Jovano sambil melotot.

"Kamu belok mana dulu? Dipanggil wali kota?" tukas Tiara masih kesal.

Jovano hanya melirik, meneruskan mengunyah makanan di mulutnya.

"Orang ditanya itu dijawab, Jo. Aku dihubungi berapa kali sama Pak Bos. Dia nanya lukisannya, kapan kelar." Tiara pun mengigit ujung martabak.

"Aduh, iya. Gara-gara Vina, pulang kayak nge-blank aku." Jovano menepok keningnya.

"Siapa? Vina? Vina ...." Tiara mengingat-ingat. "Hei, itu cewek yang kamu tolongin di pantai?"

"Yup. Aku ketemu di sekolah. Dia guru TK di sana. Lalu aku antar dia pulang." Jovano menjawab santai sambil menikmati martabak yang masih sisa setengah.

"What? Bisa gitu amat? Gimana dia? Udah baik?" tanya Tiara yang tidak mengira dengan kabar dari Jovano.

Jovano mengambil tisu di meja, mengusap ujung bibirnya. Lalu dia mengangguk dan menggigt lagi potongan terakhir.

"Udah. Baik ga baik. Ibunya yang baik banget. Vina ngusir aku, hee ... hee ...." Jovano terkekeh.

"Apa? Kamu diusir? Itu cewek ga jelas amat, sih? Dari awal kamu bawa dia ke kamar hari itu, aku udah ngira, kok. Kalau dia cewek normal, ga akan aneh-aneh di laut pasang. Bener, nggak?" kata Tiara.

Jovano meringis. Ada benernya juga yang Tiara katakan. Tapi tidak sepenuhnya benar, setelah Jovano tahu dan memahami situasi Ervina.

"Semua itu ada alasannya, Ra. Ga bisa kita nge-judge sepihak. Kita ga kenal Vina juga," kata Jovano. Dia tidak mau Tiara berpikiran buruk.

"Kamu juga aneh. Udah nyelametin dia dari maut di laut, ngaterin pulang, eh diusir. Masih aja kamu bisa bilang kayak gitu." Tiara menggeleng. "Mana lukisan, pingin lihat!"

Berlabuh di Pantai HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang