Bab 21 - Cintaku Sudah Mati

5 1 0
                                    

"Spontan saja. Aku melihat seseorang sedang terjebak dan mulai tergulung ombak. Selamatkan dia, cepat. Itu suara yang muncul di hati. Lalu aku melompat begitu saja ke dalam air." Jovano menjawab.

Pikiran Ervina kembali terbawa pada senja itu. Dia merasa Gama ada di sana, memanggilnya. Lalu saat Ervina mencoba mendekat, Gama lenyap dan ombak menerjang. Ervina yakin dia mati sore itu. Tetapi, saat dia membuka mata ...

"Badut ..." Lirih Ervina bergumam.

"Sejak aku menolong kamu, aku penasaran, Vina. Siapa kamu? Ada apa dengan hidupmu? Aku tidak bisa menghilangkan kamu dari pikiranku. Dan berharap bisa kembali bertemu," kata Jovano.

Ervina menatap Jovano. Wajah tampan dengan mata sedikit lebar dan tegas. Badut yang tampan. Ervina tidak bisa membantah, ada keunikan di wajah Jovano yang tidak mudah ditemukan pada orang lain.

"Tuhan mendengar yang kuminta. Kita bertemu lagi, di sekolah. Dan lagi, lagi ... sampai hari ini." Jovano meneruskan. "Semakin kenal kamu, aku ga ingin jauh. Aku mau lebih dekat."

Benar. Apa yang Ervina pikirkan benar. Jovano menyukai dirinya. Ervina tidak terkejut. Sebelum akhirnya Ervina memutuskan bersama Gama, cukup banyak yang mencoba mendekati. Jovano orang yang kesekian dari daftar para pria yang tertarik dengannya.

"Apa yang kamu harapkan kalau kita dekat?" Ervina lebih baik tahu, tidak perlu Jovano berbasa-basi.

Jovano cukup kaget ditanya begitu. Nada suara Ervina datar, sedikit dingin.

"Aku cinta kamu, itu yang aku rasa. Tentu saja aku berharap, kamu akan menerima aku." Jovano pun tidak perlu lagi berbasa-basi.

"Hee ... hee ..." Ervina terkekeh. Dia kembali melipat kedua tangan di dada dan menggeleng-geleng. "Boleh saja. Jatuh cinta itu ga perlu bayar, kan? Ga bisa dipaksa dan ga bisa dilarang."

Lagi-lagi Jovano terkejut. Ervina tertawa dengan pengakuan yang Jovano ucapkan? Apa menurutnya perasaan Jovano itu lucu?

"Kamu benar. Aku ga pernah minta jatuh cinta padamu. Tapi aku ga bisa menahan hatiku. Makin ke sini makin ingat kamu terus. Kalau boleh tiap hari aku mau ketemu sama kamu." Jovano katakan saja semua. Dia berharap Ervina mau memberi waktu dan kesempatan untuk mereka.

"Kamu yakin? Ga salah?" ujar Ervina.

Jovano menggeleng. "Nggak. Aku yakin."

"Baiklah. Cuma kamu harus tahu satu hal, tanam erat-erat di pikiran kamu. Cintaku sudah mati. Mati bersama kepergian Gama. Usulku, pergilah, cari orang lain yang siap mendapat cinta kamu." Ervina benar-benar tidak menjaga perasaan Jovano. Dia ucapkan saja yang muncul di kepalanya.

Jovano terdiam. Jelas, sangat jelas Jovano ditolak.

"Terima kasih buat peringatannya. Tapi aku tidak akan bisa mencari cinta lain kalau cintaku buat kamu. Aku hanya akan menipu diri sendiri dan menipu gadis itu. Itu jauh lebih salah." Jovano tidak mau menyerah.

"Lalu, kamu memaksa aku menerima kamu? Bukankah itu sama saja?" ujar Ervina.

"Aku tidak akan memaksa kamu menerimaku. Aku hanya minta jangan tutup pintumu. Ijinkan aku melihat dirimu. Lebih dekat. Mungkin, akhirnya kamu rela dan dengan suka hati membiarkan aku masuk," kata Jovano.

Ervina ganti yang terdiam. Satu sisi yang Jovano katakan ada benarnya. Jika memang Jovano akan tingal di gang sebelah, maka mereka akan sering bertemu.

Ervina berdiri dan memandang Jovano. "Terserah. Cukup untuk hari ini. Aku mau masuk."

Ervina berjalan dengan cepat masuk ke rumah. Dia tinggalkan begitu saja Jovano di teras.

"Vina?" ucap Jovano. "Hm, makin antic saja cewek satu ini. Tapi aku cinta sama kamu."

Jovano berdiri, meneguk jamu di cangkir yang tersisa setengah. Lalu dia turun dari teras dan meninggalkan rumah itu. Dalam perjalanan pulang, Jovano mendapat telpon dari seorang ibu yang meminta dia mengisi acara ulang tahun anaknya. Jovano segera mengiyakan. Satu kesempatan terbuka, dia mendapat uang tambahan untuk melengkapi membayar kontrakan.

"Ah, lumayan. Rejeki anak baik," ujar Jovano dengan senyum lebar.

*****

"Aku tidak akan memaksa kamu menerimaku. Aku hanya minta jangan tutup pintumu. Ijinkan aku melihat dirimu. Lebih dekat. Mungkin, akhirnya kamu rela dan dengan suka hati membiarkan aku masuk."

Kata-kata itu terngiang lagi di telinga Ervina. Kata-kata yang Jovano ucapkan.

"Bodoh. Kamu mau mengejarku. Sampai kapan?" Ervina menggeleng-geleng.

Tangan Ervina meraih album foto di meja kamar. Ada empat album foto mini penuh memori Ervina dan Gama. Tidak pernah Ervina bosan melihatnya. Semua punya momen yang membuat rindu dan cinta Ervina pada Gama tidak mungkin pudar.

"Aku sangat rindu sama kamu. Sayangnya, Tuhan ga mau aku kiut kamu, Gama." Sambil memandangi foto Gama yang tersenyum ceria, Ervina bicara sendiri.

"Aku mungkin harus memenuhi keinginan kamu, menjadi guru TK. Dan tidak akan berhenti menjadi guru. Ya, aku akan lakukan itu." Ervina tersenyum kecil. Dia mengeluarkan foto itu dari album, mendekapnya di dada, dan membaringkan tubuh di atas ranjang.

Dengan foto Gama di tangannya, perlahan Ervina mulai tertidur. Dia sangat berharap bisa bertemu Gama, meski hanya bisa lewat mimpi. Setidaknya itu akan mengisi kekosongan hatinya, menyapu rindu yang melanda di dada.

"Hei! Aku bisa, lihat!" Gama tertawa senang. Dia mencoba bermain gitar, memainkan lagu Naik-naik Ke Puncak Gunung. Berhasil, meskipun tidak lancar. DIa terlihat sangat senang.

"Hmm, sombong, bisa main gitar!" Ervina yang duduk di depannya mencibir.

"Haa ... haa ..." Tawa Gama kembali lepas. "Jangan diejek! Kalau beneran aku jadi pemain gitar, aku bisa jadi pacar idaman. Ya, kan, Sayang? Bukannya kamu pingin punya pacar bisa main gitar, ngiringi kamu nyanyi?"

"Iya, maunya ... Apa daya, kamu nyanyi saja kadang nada belok. Main gitar juga, itu kunci sama suara kadang ga nyambung," goda Ervina.

"Biarin. Asal kamu cinta. Hee ... hee ..." Gama menyentuh lembut dagu Ervina.

"Ngerayu. Ga ngefek," cibir Ervina.

"Sayang, kalau sampai aku ga ada, kamu cari pacar lagi, yang bisa main musik aja. Pasti lebih happy. Kasihan kamu nungguin aku belajar tiga kunci gitar aja Sampai udah mau lumutan, hee ... hee ..." Lagi, Gama mengganggu Ervina.

"Gama!" Ervina terbangun. Dia dengan cepat duduk. Foto yang dia pegang saat tidur, terlepas, dan tergeletak di sebelah kirinya.

Ervina mengambil foto itu dan memandang wajah tampan Gama.

"Kamu ngomong apa, sih? Kenapa momen itu yang muncul dalam mimpiku? Kamu mau aku ..." Ervina menelan ludahnya.

Jovano pintar bermain gitar. Dia bahkan pemain band di café. Jovano datang dan menyatakan cinta pada Ervina. Tiba-tiba Gama muncul dalam mimpi, mengingatkan kejadian di sore itu ...

"Nggak, Gama. Ga bisa. Aku hanya cinta sama kamu." Ervina menggeleng-geleng keras. Ervina tidak bisa membayangkan jika di sampingnya akan ada pria lain. Di mata Ervina, Gama is the perfect one. Gama bukan pria sempurna, Ervina sangat tahu itu. Namun, bagaimana Gama menuangkan cinta, memperlakukan Ervina begitu istimewa yang membuat Ervina yakin, tidak ada cinta lagi seperti cinta yang dia miliki dengan Gama. Gama tidak akan tergantikan.

Berlabuh di Pantai HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang