Bab 14 - Kesepakatan

6 1 0
                                    

Jovano mengernyit dan memicingkan mata. Dia memasang wajah lucu ingin membuat Tiara tersenyum dan melupakan kegusarannya. Biasanya berhasil, Tiara akan ngakak bahkan bisa sampai keluar air mata. Tapi kali ini tidak. Wajah gadis itu cemberut dengan tatapan kesal.

"Apaan, sih? Ga usah mau bikin aku senyum!" sentak Tiara. Matanya sedikit melotot.

"Yaah, kamu ... Ra, orang cinta itu kan ga bisa milih. Klik, gitu aja di hati. Ga bisa diminta, ga bisa dicegah. Mau gimana? Yang aku bisa lakukan memperjuangkannya," ujar Jovano. Nada suaranya dia buat agak memelas, untuk meredakan emosi Tiara.

"Perjuangan!? Ini bukan zaman perang. Aku pokoknya ga mau lihat kamu stress justru karena jatuh cinta. Kamu sendirian, Jo. Ga ada yang akan bantu, ga ada yang ngingatin, apalagi hibur kamu, kalau kamu ditindas sama tuh cewek." Makin meluap lagi emosi Tiara.

"Hee ... hee ...." Jovano kembali terkekeh. "Kayak emak-emak aja kamu. Ngelarang anaknya pacaran."

"Sialan. Kamu ga paham banget sih, aku kuatir sama kamu, Jo!" Tiara benar-benar jengkel pada Jovano. Kesal, dia tonjok lengan Jovano.

'Auuhh!" Ngilu juga rasanya. Jovano mengusap-usap lengannya.

Jovano menormalkan wajah dan tatapannya. Dia tidak mau mengganggu Tiara lagi. Dia tahu, Tiara serius dengan yang dia ucapkan.

"Aku berterima kasih sekali, Ra. Kamu sangat setia kawan. Sejak aku jadi anak asuh orang tua kamu, kamu buat aku kayak sodara. Kayak adik cewek yang aku ga pernah punya." Jovano memandang Tiara, tanpa tersenyum.

Deg. Detak jantung Tiara mulai melaju. Ini bukan kali pertama Jovano mengungkapkan kalau Tiara seperti adik buat Jovano. Tiara tidak suka Jovano mengucapkannya.

"Adik dari nenek moyangmu!?" sahut Tiara.

"Sorry. Itu yang aku rasa. Kalau ga ada orang tua kamu, juga kamu, mungkin aku jadi anak jalanan. Tapi lihat sekarang, rumah ini, aku bebas menempatinya. Tanpa bayar. Mobil, dikasih gitu aja buat pakai. Makanya biar udah ada duit, aku ga mikir beli roda empat yang lain.

"Aku bisa disebut sarjana, juga karena kebaikan hati orang tua kamu, Ra. Gimana aku nggak merasa jadi kayak anak mereka?" Jovano panjang lebar menuturkan kisahnya yang Tiara juga sangat tahu.

"Oke, kamu kakak aku. Kalau gitu sebagai adik, salah nggak kan, aku ngingatin kakak aku agar jangan bertindak bodoh?" tukas Tiara.

"Hmmm ..." Jovano menghela nafasnya. Dia tidak bisa juga menyalahkan Tiara jika punya pikiran buruk tentang Ervina. Karena itu yang Tiara lihat.

"Beri aku waktu ya, aku akan perjuangkan cintaku. Jika ternyata tidak berhasil, aku mundur." Jovano bernegosiasi.

Tiara menatap Jovano. "Waktu? Mau berapa lama?"

"Hmm ... dua bulan?" Jovano mengira-ira kemungkinan dia bisa memenangkan hati Ervina.

Tiara melirik. "Oke. Dua bulan. Aku akan catat itu. Bye!"

Setelah mengatakan itu Tiara keluar rumah dengan kesal. Jovano memandang Tiara yang lenyap di balik pintu rumah.

"Dua bulan? Apa aku bisa?" bisik Jovano, sambil membayangkan wajah jutek Ervina.

*****


"Oke, ini aku udah bangun dan mau bersiap, De. Tapi aku ga akan ngajar dulu. Asisten saja di kelas. Kalau ga sepakat aku ga mau, batal." Ervina menggeser posisi sedikit ke tepi ranjang. Dia memegang ponsel yang dia tempelkan di telinga kanan.

"Iya, buat permulaan aku deal. Yang penting kamu mau datang dan ke sekolah. Makasih banyak, ya?" Sayup-sayup suara Dea mengalun di telinga Ervina.

"Hmmm ...." Ervina hanya melempar gumaman lirih.

"Sampai nanti. Jangan telat ya, Bestie. Love you ...." Dea mengakhiri pembicaraan itu.

Ervina menurunkan ponsel tapi masih dalam genggamannya. Dea baru saja mendesak agar Ervina kembali ke sekolah. Alasan yang sama. Anak-anak terus saja menanyakan Miss Vina.

"Well, kamu harus buktikan kamu baik-baik saja. Gama tidak akan suka kamu terus mengurung diri." Ervina bicara pada dirinya sendiri.

"Gama, aku akan balik ke sekolah. Kuharap kamu senang," lanjut Ervina. Senyum tipis terurai di bibirnya, seolah-olah Gama ada di depannya.

Segera Ervina bersiap, sebelum setengah tujuh dia sudah rapi dan masuk ke ruang makan. Ayah dan ibunya baru akan memulai sarapan. Melihat Ervina muncul mereka terperangah.

"Pagi, Ayah, Ibu." Ervina menyapa sambil tersenyum manis.

"Hai, Sayang? Kamu akan ke sekolah?" tanya Wilma dengan mata melebar cerah.

Ervina tersenyum tipis, duduk di sisi Handika. "Iya. Dea bikin pusing, bolak-balik chat dan telpon minta aku masuk. Emang itu sekolah milik dia. Kan semua ada prosedurnya."

Handika dan Wilma tersenyum lebar saling memandang. Lega, Ervina akhirnya mau memulai lagi hidupnya. Mereka sudah kangen Ervina yang ceria dan selaluribut cerita keseruan bersama murid-muridnya.

"Kamu mesti temui kepala sekolah, to? Pastikan kamu hadir di tengah semester begini apa tidak masalah buat yang lain juga?" Handika mengingatkan putrinya. Tangannya meraih botol selai yang tak jauh dari jangkauannya.

"Iya, Ayah. Dea udah memastikan kepsek oke aja, kapanpun aku masuk," jawab Ervina. Dia mengambil soptong roti dan keju meletakkan di piringnya.

"Ibu antar, ya?" Wilma memandang Ervina.

"Nggak usah, Bu. Aku pakai motor aja. Ga apa-apa. Aku udah normal, Ibu ga usah kuatir." Ervina menoleh pada Wilma, berkata tegas meyakinkan.

"Beneran? Sebenarnya Ibu juga ada keperluan keluar, sekalian gitu," desak Wilma.

"Ga apa-apa. Percaya, deh. Aku baik-baik." Ervina kembali meyakinkan.

Tidak sampai satu jam berikutnya, Ervina sudah berjalan menyusuri lorong sekolah menuju ke kelasnya.

"Miss Vina! Miss Vina!" Suara-suara ceria menyambutnya. Kaki-kaki kecil berlari ke arahnya dan berebut memeluk dengan gembira.

Dea benar. Mereka ingin Ervina kembali ke sekolah. Hati Ervina berdegup. Rasa hangat mengalir di dadanya. Dia berharap keputusannya ini benar. Hidup memang terus berjalan, dia harus menjalaninya, bukan menghindari kenyataan.

Di dalam kelas, murid-murid masih merubung Ervina dan bergantian bercerita tentang apa saja yang mereka ingat. Ervina tertawa lepas mendengar celotehan lucu murid-muridnya.

Dea yang dari tadi hanya memperhatikan sejak Ervina datang merasa sangat lega. Yang dia lihat pasti permulaan yang baik untuk teman sekerjanya itu.

Teettt!!! Bel berbunyi nyaring. Bocah-bocah itu berlarian menuju ke bangku masing-masing. Dea melangkah ke depan kelas, Ervina sebaliknya, mundur dan duduk di kursi paling belakang.

"Selamat pagi semua!" Dea memulai. "Siapa yang senang Miss Vina sekolah lagi?"

"Aku! Aku! Aku!" Teriakan gembiara bersahutan di seluruh kelas.

"Nah, kita akan buat kelas yang seru biar Miss Vin aga bolos lagi, ya?" Dea berkata sambil melihat ke arah Ervina yang senyum-senyum.

Kelas mulai. Anak-anak belajar berhitung dan menulis angka. Lalu sebagai aplikasi untuk pemberian materi anak-anak berkreasi mewarnai bunga dan dihitung berapa kelopak juga daun yang ada di bunga mereka.

Ervina sibuk mendampingi dan memastikan anak-anak itu mengerti instruksi guru mereka. Dari satu murid ke murid lain, Ervina memperhatikan. Satu anak menarik perhatiannya. Sebab anak itu mewarnai tiga kelompok bunganya dengan warna yang berbeda. Padahal contoh di papan depan, bunga mestinya diberi warna merah.

Berlabuh di Pantai HatimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang