Deburan ombak menerpa keras dan penuh semangat menuju bibir pantai. Seperti tak lelah mengejar tepian daratan, sekalipun dia akan ditarik lagi ke tengah lautan. Setiap detik menuju menit, lalu berlari meraih putaran hitungan jam. Hingga hari berganti dari terang kepada gelap, kemudian bergerak lagi menuju terang. Ombak masih akan melakukan yang sama, bergulung menuju pantai.
Ervina berdiri di depan sebuah cottage yang mungil dan cantik. Dia menatap satu sisi pinggir pantai yang ditata begitu manis, menjadi ruang terbuka untuk acara pernikahan Sintya dan kekasih hatinya, Brian. Berat, sangat berat bagi Ervina bisa berada di situasi itu. Gambaran pernikahannya sendiri yang batal dilangsungkan terus membayangi.
"Gama ... seharusnya kita pernah berdiri di depan altar bersama. Mengikat janji kita." Tangan Ervina menghapus air mata yang hampir tumpah. Dia tidak mau merusak make up di wajahnya. Wajah ayu itu tidak sepadan dengan tatapan sendu yang muncul dari kedua matanya.
"Bangun, Ervina. Bangun. Kamu datang ke sini buat Sintya. Oke?" Ervina membusungkan dada dan membuat dirinya kembali sadar.
"Vina! Ayo, Sayang!" Wilma memanggil Ervina dari cottage sebelah. Di sana, tempat sang pengantin berdandan dan bersiap. Tampaknya acara akan segera dilangsungkan.
Ervina berjalan turun dari teras. Memang, akhirnya Ervina membuat kesepakatan dengan Sintya. Dia bersedia hadir, tapi tidak ingin berperan menjadi apapun. Ervina hanya akan datang saja, menyaksikan Sintya dan Brian disatukan dalam tali cinta suci sepanjang hayat. Sintya menerima permintaan Ervina dengan lega. Setidaknya Ervina mau berjuang bisa hadir di acara istimewa itu.
Pernikahan berlangsung dengan manis. Di pinggir pantai yang indah, dengan angin berhembus dan suara ombak bergantian bergemuruh, sungguh indah dan tak terlupakan. Acara digelar sederhana, tapi syahdu. Haru dan bahagia bercampur jadi satu di sana. Sepanjang acara, Ervina lebih banyak tertunduk dan membawa dirinya jauh ke area lain dari dunia, tidak memperhatikan apa yang terjadi di depannya. Dia takut tidak mampu menahan diri dan menangis.
Begitu usai upacara pernikahan, semua bersorak girang dan memberi selamat pada kedua mempelai. Sintya dan Brian terlihat begitu bahagia. Ervina pun ikut bahagia, tentu saja, untuk sepupu yang paling manis buatnya. Sayangnya, satu sisi hati Ervina meronta. Luka dan perih kembali menganga. Harusnya Ervina datang di pernikahan Sintya dengan Gama di sisinya. Pria tampan kesayangan Ervina itu menggandeng tangan Ervina dengan mesra.
"Ah, maafkan aku, Sin ... aku ga sanggup lebih lama di sini," batin Ervina berontak. Dia memilih pergi menjauh dari kebahagiaan yang sedang menyebar di pantai cantik itu. Semua bergembira dan tertawa riang. Sebaliknya, Ervina memilih jalan lain, mencari tempat sepi untuk menenangkan dirinya.
Dengan tubuh terasa berat, Ervina berjalan di atas pasir. Dia mengarahkan pandangannya ke sisi paling ujung. Ada bebatuan besar berjajar kokoh di sana. Tempat yang paling pas untuk besembunyi. Ervina pun memaksakan kakinya ke sana, menjah dari semua keramaian dan kegembiraan.
"Oke! Siapa mau hadiah?!" Terdengar teriakan keras seorang pria tak jauh dari tempat Ervina menyusuri pantai.
Mata Ervina refleks menoleh. Di sisi kanannya, di halaman belakang sebuah resto cantik, tampak sekumpulan anak sedang berseru-seru girang. Seorang badut berdiri di tengah anak-anak yang melompat-lompat meminta hadiah.
Ervina menggeleng. Entah apa yang anak-anak itu rayakan. Yang pasti, semua kebahagiaan itu bukan milik Ervina. Ervina kembali mengarahkan langkah kakinya. Sementara perlahan hari mulai senja.
Ervina sampai di deretan batu-batu besar itu, Ervina memilih naik ke satu batu yang tidak terlalu tinggi. Dia duduk di atasnya sambil memandang laut yang luas terhampar. Warna biru laut sudah menghitam karena senja makin turun. Debur ombak pun kian kuat menghantam pinggir pantai dan bebatuan yang tetap kokoh di tempatnya.
"Vina! Sayangku! Lihat ini!"
Suara ceria itu mendarat di telinga Ervina. Ervina menoleh ke sisi kanannya, sedikit ke tepian pantai. Senyum lebar dengan lambaian tangan menyambut Ervina.
"Gama!?" Ervina menatap kuat pada pria tampan yang berdiri memandang ke arahnya.
"Aku menemukan kerang yang cantik. Kamu pasti suka!" Gama mengangkat tangan dan mengacungkan kerang yang dia temukan di pinggir pantai.
Ervina tersenyum. Dia bangun dan berdiri di atas batu yang dia duduki.
"Kamu mau simpan? Ini akan jadi kenangan kita, Sayang!" Seruan itu terdengar lagi. Senyum Gama masih terlempar manis buat Ervina.
"Ya, aku mau! Aku akan simpan di meja di kamar, Gam. Aku mau taruh dekat bunga pinus yang kamu bawa dari gunung!" balas Ervina.
"Nice! Lengkap jadinya. Dari gunung hingga pantai, hati kita terus bersama! Love you, Sweetie!" Gama kembali melambai.
"Aku turun, ya? Tunggu bentar!" Ervina mulai melangkah. Dia mencoba turun dari batu besar tempat dia duduk. Tapi ombak ternyata makin besar dan menerjang batu itu hingga Ervina seketika basah kuyup.
Air dingin dan hentakan ombak membuat Ervina gelagapan. Dia usap wajahnya yang basah, lalu berusaha kembali tegak, mengambil ancang-ancang untuk turun dari batu. Dia arahkan pandangan lagi pada Gama yang ada di seberang, di pinggir pantai.
"Gama!" panggil Ervina.
Gama tidak ada di sana.
"Gama!" Lebih keras Ervina memanggil.
Tidak ada sahutan. Sedangkan hari semakin gelap. Sinar mentari hampir sirna berganti gelap malam mendekat.
Lagi, ombak menerjang dengan lebih kuat. Tubuh Ervina oleng. Dia jatuh terduduk di batu. Rasa takut mulai membayang. Kesadaran menghampiri Ervina. Dengan cepat Ervina mencoba bangun dan berdiri. Dia melihat ke sekeliling. Tidak tampak siapapun.
Harus cepat. Ervina harus cepat turun dan sampai di pinggir pantai, atau ombak besar akan menyeret dia ke lautan luas. Ervina merasa tubuhnya gemetar karena takut, juga menggigil karena dingin menerpa.
"Aku harus bagaimana?" bisiknya perlahan dengan kebingungan. Dia tidak tahu sedalam apa jika turun dari batu itu. Tapi dia harus segera bergerak.
Nekat, Ervina menjangkau sisi batu, sedikit melorot, berusaha mencapai pasir di bawah batu. Baru dua langkah ke bawah, terpaan ombak menerjang. Ervina terhempas. Ombak menggulungnya. Ervina merasakan air mengelilingi dan menenggelamkannya.
Tidak! Dia harus melawan. Dia harus keluar dari air! Ervina memaksa menggerakkan tangan dan kakinya berusaha naik ke permukaan. Tapi apa daya, air lebih banyak, deburan ombak lebih kuat. Ervina tak bisa lagi bergerak. Semua yang dia lakukan hanya membuatnya makin tergulung dan tak berdaya.
"Tidak ... tidak ... Gama ...." Kata-kata itu muncul di dalam hatinya. Dia pasrah jika memang ini caranya dia bisa kembali bertemu dengan kekasihnya yang telah pindah ke sisi lain dari dunia ini.
"Mbak ... Mbak ... Bangun, Mbak ...."
Sayup-sayup Ervina mendengar suara bicara di dekatnya.
"Mbak ... ayo, buka mata. Mbak ...." Sesuatu menekan di dadanya. Hidungnya dipencet, lalu kembali dadanya ditekan-tekan.
Ervina membuka mata. Tiba-tiba rasa tersedak menerjang dan dengan kuat Ervina menyemburkan air dari dalam perut dan dadanya. Seketika dia terbatuk-batuk.
"Ah ... syukurlah, akhirnya kamu sadar juga." Suara pria bicara dekat sekali di sisinya.
Ervina menoleh ke sisi kanannya. Dan yang tampak di depannya ... badut?
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlabuh di Pantai Hatimu
RomansaKehilangan kekasih untuk selamanya, Gamaliel, karena kecelakaan saat pendakian, membuat Ervina hancur. Dia merasa dunia runtuh dan hidup tidak berpihak padanya. Ervina memilih berhibernasi menjauh dari semua kesibukan yang dia jalani. Dia merasa sem...