Suara misteri

23 23 5
                                    


Kini setengah bulan sudah, tiba-tiba Sukma ingat Hakim yang sudah lama tak menghubungi, ia mulai mengharap kedatangannya.
Sukma ingin membuatkan makanan kesukaannya.

Saat ini sudah enam tahun lebih usia pernikahan mereka, sekalipun selama sekitar dua tahun lebih pula seperti ada tembok yang menghalangi, namun mereka tetap sebagai suami istri.

Malam itu seperti rasa Sukma tersambung dengannya, sehingga Hakim datang menemui dan menyampaikan rasa bersalah, Sukma menyambutnya

"Sudahlah! bukankah manusia tempatnya kesalahan, seperti itu juga dirimu, semoga kita mendapat jalan keluar dan semoga pemahamanmu, akan mampu menggiringmu pada keputusan yang benar."

"Aamin," jawab jawab Hakim.

Pada kenyataanya hati Sukma mengeluh, ia berpura-pura kuat dan sabar, di depan suami, juga kepada diri.

"Apa hikmah dalam kisahku ini Tuhan, apakah benar takdir pernikahanku ada ditangan suamiku. Kuatkan aku! teguhkan kembali niatku, apakah begini yang disebut ikatan suci?"

Sukma ingat Fariha, ia merasa perlu kembali meminta pendapatnya. Begitulah Sukma saat tak berdamai dengan rasanya, sungguh beruntunglah ia karena mengenal sahabat, seperti Fariha.

Fariha membuat Sukma mengerti, bahwa ternyata, diam yang pernah ia lakukan, merupakan bagian dari meditasi atau diam yang pernah dilakui, hanya saja saat itu Sukma belum memahami secara teori dan sebab itu jugalah Sukma dipertemukan dengan Tuan Ruh, sosok idola yang dibanggakan bagi setiap para pencari Cinta.

"Buat Fariha sahabatku, aku ucapkan ribuan terimakasih," Sukma mulai rutin melakukan pelatihan dalam menyadari setiap gerak, memang pikirannya saat ini butuh rileks, sehingga kebingungannya juga akan dapat teratasi dan akan lebih mudah terkendali.

Dalam latihan, seringkali Sukma berbicara dengan diri tanpa artikulasi.

"Kemana dirimu akan berlabuh?" tanya Sukma sipengamat.

"Pada cinta yang tak berwajah," jawab Sukma yang diamati.

"Bagaimana kita melakukan perjalanan menuju kepada-Nya?"

"Berjalanlah terus melewati jalan derita."

"Dimana kau akan mencari jalan itu?"

"Mencarinya pada rasa yang sedang menyertai"

"Duhai rasa, berdamailah dan biarkan aku memafkan diriku, sadarkan aku bahwa, derita dan bahagia tidak lain memang hanya sebatas keseimbangan saja, yang merupakan rahmat Cinta,"

Sukma mepejam mata dengan mulut terbungkam, Sukma yang mengamati dengan Sukma yang diamati saling berkomunikasi. Sebab inilah yang menjadikan Sukma mampu bertahan melanjutkan pernikahannya.

Saat ini Sukma telah siap menerima keputusan yang akan Hakim tentukan untuknya, apa pun itu.

"Sukma, aku merasa masalahmu dapat diatasi, seandainya kau mau mencoba berlatih menapaktilasi diri," saran Fariha.

"Bagaimana caranya?"

"Coba saja kau lakukan itu, tetaplah dengan cara mentelusuri rasamu selalu, jika tidak, kau tidak akan mampu memaafkan dirimu sendiri, jika memaafkan diri saja tidak mampu, bagaimana mungkin kau akan mampu memaafkan orang lain. Korek dan bongkar rasa di relung hatimu, maka kau akan merasa lega dan juga merdeka nantinya. Aku merasa ada derita lamamu yang tersimpan, yang belum kau selesaikan," jelas Fariha.

"Benarkah, derita apa?"

"Kau tidak menyadarinya, karena itu ada di alam bawah sadarmu, koreklah selalu rasamu sendiri, dalam diamnya lisan dan juga diamnya pikiran. Seperti ada jarak waktu yang telah merenggut masa kecil dan masa janinmu, yang terkirim sampai waktumu saat kini," mendengar itu Sukma menangis.

Sukma mulai menuju kampung halaman. Ia bertekad untuk mencoba menjalankan saran Fariha, menapaktilasi diri yang sudah lama tak tersadari. Sukma yang saat itu merasa bingung kembali bertanya pada sahabatnya itu.

"Dengan menapaktilasi rasa di dalam diri, mungkinkah menjadikan seseorang akan tersadari? apakah itu tidak menjadikan rasaku akan semakin kecewa nantinya? apa yang terjadi dengan janinku dulu, apa yang terjadi dengan ibu saat itu?" Sukma merasa penasaran, sehingga seperti memborong beberapa pertanyaan.

"Benar, sepertinya ada tekanan rasa pada ibumu yang terkirim disaat mengandung dirimu dan aku tidak tahu apa itu, maka cobalah kau berlatih mentelusuri rasa yang tersimpan ibumu sayang."

Kedatangan Sukma di kampung halaman untuk mengunjungi ibunya dalam rangka pentelusuran diri dengan melewati rasanya, dengan harapan ia mampu menemukan cinta yang hilang darinya.

"Tahukah kau mengapa aku inginkan cinta?" Sukma bertanya kepada dirinya sendiri.

"Karena cinta adalah dirimu, aku telah kehilangan kesejatian diriku sendiri."

"Aku yang dikandung, kemudian dilahirkan, bahkan diusia anak-anak, seperti ada rasa-rasa ibu yang turut terbawa. Tapi kenapa, apa yang terjadi dengan kedua orang tuaku di masa lalu?"

Malam hari, Sukma berbincang dengan ibu sampai larut malam. Kedatangannya membuat ibu, tiba-tiba seperti tak berdaya, sepanjang harinya beliau hanya tidur, badannya seperti tak bertenaga. Mereka merebah bersama, sesekali ibu bicara, kemudian bercerita, Sukma mendengarkan kisah yang disampaikan tentang masa lalu ibunya, yakni pada saat awal pernikahan ibu dengan ayah. Tiba-tiba seperti pikiran Sukma menerebos masuk di alam Rahimnya.

"Lihatlah! apa yang dirasakan ibumu saat itu, kau rasakan saja rasanya,"seola-olah pikiran memaksa Sukma masuk begitu saja. Sukma mencoba masuk kembali diusia janin yang suci. Kosong, seperti tak berpenghuni, gelapnya lorong membuatnya tak ingin melanjutkan pentelusuran. Ia merasakan rasa sepi ibunya. Sukma berlatih menerobos lorong waktu yang sudah lama berlalu. Ia mencari derita lama yang dirasakan ibunya, namun tak Sukma temui juga. Tidak semudah kata dan sepertinya berat juga, sebagaimana pintu Hakim yang juga sedang ia latih untuk dapat dilewati.

"Benarlah apa yang dikatakan Fariha, bahwa aku belum bisa diam dan mungkin sebab itulah aku belum mampu berdamai dengan salah satu rasaku sendiri. Entah derita lama itu kesalahan siapa? apakah aku harus menyalahkan kesalahan orang tua, nenek moyang, ataukah ibunda Hawwa, yang sebab buah keinginannya, sampai memberikan warisan deritanya kepada manusia, atau apakah layaknya aku bersyukur yang karena sebab itu, aku diembankan tugas sebagai Khalifah, tugas mulia yang hanya Tuhan percayakan kepada manusia saja, sehingga menyebabkan makhluk lainnya merasa cemburu?"

"Sudahlah sayang, jalani saja tugas kekhalifahanmu itu, bukankah derita hanya ada di pikiran dan egomu, maka lepaskanlah!"ucap Fariha.

"Sukma, bukankah Tuhan menciptakan kita bukan sekedar dari cahaya-Nya saja, selain cahaya yang suci, keberadaan kita juga karena kelekatan ragawi, dimana keberadaannya dari ego dan pikiran itu sendiri. Tuhan memberikan kita akal, sehingga kita tidak sama dengan makhluk lainnya, lantas kenapa kau terlena hanya sebuah cerita, hidupkan akalmu! dalam rangka meraih cinta yang sudah lama kau cari itu," Fariha menyambung kata-katanya untuk memotivasi Sukma.

"Jika begitu, layaknya aku tidak perlu menangis atas apa yang terjadi?"

"Benar sekali, akan tetapi wajarlah jika kau sedang ingin menangis sayang, percayalah pada ahirnya kau akan tertawa bahagia, karena seperti inilah aturan semesta, sebentar bahagia kemudian sebentar menderita, bukankah kehidupan berjalan karena adanya keseimbangan?"

Sukma kembali berlatih mendiamkan diri untuk bermeditasi, mencoba mendamaikan diri dan menapaktilasi kembali rasa di diri.

Setelah satu jam melakukan itu, ia mengalami masa kecilnya dulu yang sudah terlupakan.Ya, Sukma yang dewasa telah masuk pada Sukma yang berusia bocah. Ia bermain tanah dan air di pekarangan rumah bersama burung-burung dan ayam. Ia hanya bermain bersama ibu, dikenalkan huruf-huruf, kemudian diajarkan membaca.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang