Terjebak Rasa

7 6 0
                                    

Selama beberapa hari belakangan ini, pikiran Sukma mulai terisi soal Musa. Sukma tak segan-segan menyampaikan semua itu kepada sang misteri, yang tak lagi lincah setelah derita sebelumnya, itu yang membuatnya mampu merasakan apa pun yang dirasakan Sukma, membuatnya turut merasa bersalah juga.

“Musa, Aku menyayangimu!” sore itu Sukma mengirim pesan whatsApp berterus terang kepada Musa.

“Tolong jangan menggangguku dengan rasamu itu, Suk.” Sukma terdiam, ia hanya bisa menikmati goresan lembut di dada sebelah kirinya yang muncul secara tiba-tiba.

“Kau harus bisa membedakan mana rasa alami dan mana yang imitasi,” balas Musa.

Sukma tak lagi merespon, air matanya menetes. Sejak itu Musa merasa tak leluasa, ia merasakan responnya yang kurang bijak.

Sementara Sukma merasa tak tega juga jika Musa tahu apa yang sedang dirasainnya. Ia tak ingin Musa menyesali respon, yang bisa saja itu tak diinginkan, pastinya Musa sendiri tak mau menggores perasaan, hingga Sukma pun membalas pesannya.

“Baiklah, aku tak lagi akan mengganggu! Maafkan, sejujurnya aku sendiri bingung dan tak mengerti terkait pencarianku ini.” Pesan tak terbalas, Sukma kembali mendatangi kandang dan kembali mengungkapkan isi hatinya  kepada sang misteri.

“Padahal aku ingin tahu soal rasaku saja dan sebatas ingin memastikan apakah ada pada dia terkait yang kucari, yang katanya akan mengantarku pada-Nya, aku tanyakan ini sebab aku menganggap Musa memahami, andai saja beliau memberiku kesempatan, ada satu hal yang aku ingin tahu, namun entah apakah itu, bagaimana mungkin aku akan mengenal yang asli, jika yang imitasi seperti ini tak aku pahami?”

“Menangislah Ratu! air matamu akan membuatmu tumbuh, serupa bunga yang disiram, maka ia akan bermekaran.”

“Artinya aku tetap mengizinkan diriku untuk terus menangis? tidak! ada baiknya kau katakan padanya untuk tak lagi
membuatku menangis.”

“Memangnya kenapa kau tak mau menangis, kucurkan terus air matamu! sampai menjadi air yang deras, agar dapat menyirami bunga-bunga yang ada di sekitarmu juga.”

“Tidak, tidak! aku tak ingin seperti itu, bahkan menyiram bunga sendiri saja setengah mati.”

“Jika begitu teserah kamu saja, Suk.”

Pesan pun terhenti dan tak ada bincang lagi.

Sukma diam, ia sendiri merasa bingung dengan yang dirasai, bukan kecewa pada Musa, justru Sukma memahami, mungkin Musa sama sebagaimana dirinya, yang tak ingin terbawa perasaannya.

“Aku tahu, Musa menghindar dariku tidak lain itu antisipasinya agar tak terjebak lebih jauh. Kita sama-sama tahu, bahwa rasa yang sebenarnya sebatas untuk dirasa, bukan keinginan diri atau pun ambisi, melainkan hanya sebatas berlatih mengenali yang tak pernah dikenali, hanya itu,” Sukma kembali mengungkapkan isi hati, sementara suara misteri diam saja.

Rasa adalah Dia. Keduanya memiliki persamaan, sama-sama tak berwujud, siapa yang memotong, maka butalah ia. Siapa pun bagi yang merasa, jernilah pandangannya dan suburlah jiwa.

Membaca tulisan Musa, Sukma merasa senang, ia menjadi tahu bahwa rasanya tidaklah salah dan yang membuatnya lebih senang, Musa memahami itu. Sukma pun tertawa lega, setelah membaca tulisannya.

“Pada seseorang yang gemar membaca, layaknya buku hadir untuk dibaca,” begitulah Musa menulis di akunnya.”

“Dalam sebuah pertemanan yang terpenting bukan soal keakraban, melainkan ada pencapaian, yaitu pembelajaran,” Sukma merespon tulisan Musa.

“Membiarkan seseorang melewati jalan, layaknya tak ada yang dikhawatirkan sebab kita sama-sama tahu tujuan yang sebenarnya, ketika seseorang merasai orang lainnya, maka orang itulah sebagai jalannya, entah sampai kapan seseorang melewati jalan, sebab hidup hanya soal melangkah,” Musa kembali menulis. Sukma pun merasa lega.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang