Sukma kembali teringat Hakim "Suamiku, saat ini aku telah mengerti bahwa, seperti itu jugalah yang terjadi denganmu, kau telah membawa derita lama kedua orang tuamu sendiri, sekiranya kau berlatih, maka sungguh tak lain kau seperti halnya aku. Maafkan, jika sebelumnya aku merasa kecewa dan marah, sementara kau sendiri yang sebenarnya dalam keadaan menderita."Setelah menapaktilasi rasa lewat ibu, Sukma merasa sedikit menjadi lebih perasa, terlebih lagi pada suaminya. Sehingga pada saat itu juga, ia langsung memaafkannya.
"Benarlah apa yang dikatakan Fariha. Saat diri sudah mampu berdamai, maka damailah dengan sekitarnya."
Rasa Sukma mulai lega, marah dan kecewa seperti runtuh sudah. Ia telah memaklumi suaminya, yang tidak lain Hakim juga dalam keterjebakan yang sama, sebagaimana dirinya.
"Sukma aku harus bicara denganmu," sepertinya Hakim mendengar suara hati Sukma. Sore itu ia menghubungi hp istrinya.
"Apa, katakanlah?" ucap Sukma.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Hakim.
"Hakim aku mengikuti apa katamu saja," Sukma menjawab dengan rasa datar, mungkin karena rasanya saat itu sedang mati.
"Baiklah nanti aku datang," ucap Hakim.
Hari itu Sukma tidur sepanjang hari, tidak lain tujuannya agar pikiran sesaat bisa berhenti
dan berdamai dengan diri. Memang masa kanak-kanak dan janin sudah Sukma lewati, sekalipun masih ada satu jalan yang belum ia tempuh."Semoga jalan Hakim mampu mempertemukan aku pada pencarianku selama ini."
"Pencarian apa?" suara misteri itu muncul.
"Pencarian yang aku cari," jawab Sukma.
"Aku merasa kau membohongi dirimu lagi."
"Tidak, Kau keliru. Diamlah! biarkan aku tidur."
Setelah dua minggu dalam pentelusaran rasa ibu, Sukma kembali pulang ke rumahnya.
"Temukan, Aku dalam pencarian yang kucari duhai diri. Maafkan, jika aku kurang mensyukuri nafas ini, aku tahu layaknya aku memang tidak berputus asa, karena Cinta yang aku cari tidak lain sebenarnya kesejatian diriku yang tersembunyi." Sukma mencoba kembali memusatkan perhatian kepada dirinya. Sepertinya memang, karena tak bisa diam, menjadikan Sukma jauh dari pencarian.
"Duhai anggota ragaku, maafkan jika aku mengabaikanmu, aku tidak sadar atas apa yang kulakukan, tetaplah berdamai, bagaimanapun aku sedang melatih mengenali."
Sukma merasa beruntung memiliki sahabat seperti Fariha. Ia senang, karena bisa belajar dan mendapat motivasi, yang membuat pikiran Sukma sedikit bisa terkendali.
Saat ini pikiran kembali menyeret Sukma, ia membawa Sukma di depan sungai Eufrat, munculah pertanyaannya sendiri."Ada apa di suangai Eufrat?" kemudian Sukma sendiri yang menjawabnya.
"Eufrat memiliki sejarah yang kuat, kaitannya dengan sosok atau pintu kesadaran yang akan Sukma tuju. Eufrat adalah tanda keberanian dalam melepas kelekatan, Eufrat juga sebagai simbol keseimbangan hidup, dimana tangis dan tawa menghias wajah.
Di situlah tempat para pencari Cinta yang ingin membebaskan pikirannya. Memang banyak pintu dalam pencarian Cinta itu, namun di pintu itulah, Sukma merasa akan tersambut ibunda, yang siap membukakan pintu baginya. Pintu Fanna namanya. Setelah menjawab pertanyaannya sendiri, Sukma bertanya pada Fariha.
"Bagaimana cara membebaskan pikiranku sendiri?"
"Seperti halnya kau memutuskan rasamu, misalnya saja rasamu pada Hakim, yang sudah tidak kau pedulikan itu, dalam arti positif. Kemudian, kau hanya memperdulikan dirimu sendiri, seperti itulah jika rasa sudah terbebas."
"Apakah wajar jika itu terjadi?"
"Benar, itu sangat wajar sekali, namun hal tersebut layaknya mampu, kau jadikan materi untuk kau meneliti, agar diri lebih menghalus lagi."
"Baiklah, terimakasih Fariha, sepertinya pencarianku akan segera ditemukan."
"Apakah kau bermimpi?" suara asing itu muncul lagi.
"Aku berlatih diam dari pikiran yang selalu liar dan suara misteri yang terus menghantui memang aku tak tahu pasti, apakah itu mimpi, harapan, atau memang benar bahwa aku akan menemui Cinta yang kucari."
"Ya, sayang semoga." jawab Fariha.
Di sepanjang jalan, Sukma terdiam. Kedua jalan inti sudah bisa ia lewati, sekalipun memang melewati tak pernah henti. Sukma duduk dan menangis, memohon bantuan Cinta untuk membersihkan jiwanya yang terikat. Ia berpikir memang pencarian yang dilakukan tidaklah mudah.
"Ya sepertinya yang dicari mulai akan tampakan diri. Semoga ibunda Banin memberikan restunya padaku. Beliau sosok yang telah mampu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Cinta. Mencinta baginya siap menderita, karena dengan menderita disitulah keberadaan bahagia."
"Duhai diri, rasakan saja setiap cerita, jika kau mengharap Cinta, kenapa tidak kau bebaskan saja setiap rasa. Jika ketakutan terus menyerta, kapan diri akan berani?" Sukma mulai mengetuk pintu Hakim, namun beliau belum menyambutnya, tidak sebagaimana dua pintu sebelumnya, benarlah apa yang dikatakan suara asing itu, bahwa Sukma bisa saja gila dalam pencarian Cintanya.
Sukma kembali berlatih dan terus berlatih melepas suami, yang secara zahir, memang ia sudah terlepas. Sementara saat ini, Sukma melatih lepas dari ikatan rasanya juga, yang membuat langkahnya lebih ringan dari sebelumnya, maka deritanya pun akan lenyap setelahnya Cinta akan menunjukan keasliannya.
"Fariha sahabatku, ucapanmu seperti mewakili suara ibunda Banin saja, sungguh aku merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diriku,"
Sukma menarik nafas lega."Sudahlah, semua terjadi atas izin-Nya, aku bukan siapa-siapa. Jangan kau terseret pada apa yang kau rasa, karena itu belum tentu tujuanmu, ingatlah! akan tujuan asalmu," ujar Fariha.
"Ya, Aku akan ingat itu, terimakasih sudah mengingatkanku, semoga aku tidak akan tertipu rasa diriku sendiri."
"Sukma, teruskan perjalananmu! dengan kesadaran seluruh bagian indramu seperti; hidung, telinga, mulut dan semuanya. Sadari setiap gerakmu selalu dan seperti itulah manusia, itulah Khalifah.
Selamat menempuh kembali perjalananmu, semoga langkahmu dapat terkuatkan, sehingga kau akan sampai pada tujuanmu dan semoga yang kau rindu, hadir selalu dalam sanubarimu."
Mendengar itu, Sukma diam tak sanggup bicara apa-apa, ia yang lemah sepertinya mulai menyerah dan sedikit berpasrah apa kata-Nya.
Semenjak itu, Sukma seperti mati rasa. Saat ia kembali mencari rasanya lagi, sudah tak ditemui, datar atau hambar, Sukma tak jelas menggambarkannya,"Jika begini apa yang akan aku lakukan?"
"Itulah yang pernah aku bilang, bahwa kau akan gila, umumnya kita memiliki rasa, sementara kau telah membunuhnya, apa yang akan kau lakukan, jika begitu apa bedanya kau denga Layla iparmu?" suara asing, melihat kebingungan Sukma. Namun Sukma terus berlatih tetap menyadari dirinya lagi. Maksudnya adalah, ia memusatkan perhatian hanya pada pikiran diri. Kemudian ia berlatih mengamati selalu setiap munculnya rasa di rasa dan itu yang menjadikan prediksi-prediksi suara asing dan misteri tak pernah akan terjadi.
Sukma berkata lirih pada diri sendiri "Untukmu, suamiku tahukah kau tentang rasa? ia akan hilang jika lidah sudah tiada dan tahukah kau tentang rahsanya rasa? ia pun akan sama, karena hati sebagai wadah telah tiada juga, entah hipnotis apa yang merubahku, mantramu menghujam, memutus hatiku hingga begitu lemah. Sudah! biarkan kini aku bersama diriku. Aku bukan milik siapa pun juga, kecuali hanya milik Cinta yang nyata."
Kemudian Sukma bertanya kembali pada batinnya lagi.
"Lantas bagaimana lagi, jika sudah seperti ini?"
Ia pun terdiam. Siang hari Sukma telah mendapat jawaban. Benarlah, jika sudah sedikit mentelusuri rasa dibawah alam sadar, akan mudah memberi maaf kepada yang lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atas Nama Cinta
Science-FictionKisah seorang perempuan bernama Sukma dalam perjalanan mencari cinta ditemani suara-suara misterius yang seringkali mengganggu. Sejak lama Sukma merasa kehilangan cinta. Waktu berlalu tanpa rasa cinta yang dicari. Satu detik mencari cinta, satu men...