Ucapan itu Doa

6 7 0
                                    

"Ada satu hal, yang aku rasa sebagaimana yang Sukma rasakan juga.Yaitu rasa kesepian. Kodratnya manusia berpasang-pasangan. Aku ingin sekali membantu Sukma, dia baik, aku patut mendampingi dan melindunginya. Dia harus ditangan orang yang tepat, jika tidak, selamanya ia akan menderita," batin Athif.

"Apakah kamu tidak ingin menikah sayang?" Sukma menyadari pertanyaan ibu sebelumnya.

"Tentu aku ingin menikah. Bu."

"Ya sudah. Menikalah!"

"Kenapa?"

"Bukan aku yang berkehendak, Bu. Belum datang jodohku."

"Siapa bilang, jodohmu sudah ada, hanya saja kamu belum menyadarinya, Nak."

"Benarkah, siapa dia?"

Sukma tersadar dari lamunan. Ia pun tersenyum sendiri mengingat pertanyaan ibu sebelumnya.

"Sukma, ada baiknya apa yang akan kau kerjakan, lakukan istikharo. Aku tak ingin kau menyesal nantinya, soal beasiswa apa pun hasilnya terimalah dengan lapang dada. Sekiranya di Madina belum ada, kau bisa ambil beasiswa di Mesir, Suk."

"Ya, Mesir tidak masalah juga, hanya saja magister disana membutuhkan waktu lima tahun. Lantas kapan waktuku untuk menikah, Thif?"

"Ha ha ha," mereka pun tertawa.

"Baiklah. Athif, Sya besok pagi aku akan pulang, di sini aku sudah dua malam, lusa hari Sabtu aku harus mengajar," jelas Sukma.

"Mendekatlah dengan-Nya, sebagaimana mereka semua yang takut pada-Nya, sehingga kau akan dimudahkan dalam setiap urusanmu, Suk," jelas Athif.

"Mungkinkah seseorang yang takut bisa mendekat, aku akan mendekatinya dengan cinta saja, sebab itulah aku ingin mengenalnya. Ya, mengenal-Nya dengan sesuatu yang sedang aku rasa, Thif."

"Bagaimana caramu untuk merasai?"

"Seperti halnya jika aku takut dan tidak mempercayaimu, satu contoh karena kau arogan atau tidak sopan, mungkinkah aku mau berkomunikasi denganmu. Namun karena aku merasa aman dan percaya, maka aku pun tak khawatir jika melekati dirimu, mungkin seperti itu jugalah caraku mendekati-Nya.

"Ehemm" Barsha berdehem, sementara Athif seperti ke-ge-eran.

"Jujur, Thif aku mencari sesuatu yang tak aku pahami. Aku berharap mendapat jalan untuk aku mengenal-Nya," sambung Sukma.

"Dalam istilah pengetahuan itu disebut hipotesa," ucap Athif.

"Ya. Mustahil seseorang yang tak mengenal,cinta akan mengenal-Nya. Maka biarkan aku melatihnya entah lewat siapa."

Sukma bisa terbuka begitu saja, tanpa ia sadari ucapannya sendiri, rasa nyaman membuatnya cair pada mereka.

"Hmmm, itulah keniscayaan," ucap Athif.

Malam itu juga Sukma mengirim pesan pada Fariha, ia mengatakan bahwa dirinya sedang senang. Dadanya berdegup tak beraturan. Rasanya ingin segera pulang meninggalkan keluarganya Barsha. Perasaan, membuatnya menjadi canggung, melihat pemandangan demikian, rupanya terbaca ibu dan Barsha.

"Kalian beristirahatlah, besok aku ada proyek kerjaan. Sambung doa, yaa." Athif pergi berpamitan dengan agak tergesa-gesa, rupanya ia memiliki rasa yang sama sebagaimana Sukma.

Sore hari, Sukma telah sampai di rumahnya, ia tak kuasa menunda cerita. Sukma mengirim pesan pada sahabatnya Fariha.

"Fa, apakah aku jatuh cinta!"

"Ha ha ha. Hati-hati sayang. Jika cinta sudah jatuh, maka bangunlah cinta, yang karenanya kau tidak lagi kecewa dan terus kecewa."

"Ini beda, Fa."

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang