Hakim merasakan kekecewaan yang sama sebagaimana Sukma. Ia sampaikan kekecewaannya itu, pada saat Sukma bertanya soal kecurigaannya.Perbedaan tata cara ibadah, itu alasan Hakim yang mengubah sikapnya pada Sukma, padahal dalam melakukan sembahyang dan ibadah lainnya, Sukma melakukan sama sebagaiamana yang dilakukan suaminya sendiri. Sebenarnya sudah pernah Sukma katakan bahwa, ia seorang pemula, yang tidak selalu mengikuti dan menjalankan ucapan guru besar, sebagaimana pemula lainnya.
Kebiasaan Majid seringkali memanas-manasi situasi, padahal sebelumnya Hakim tak pernah terpancing dan tak pernah merespon soal catatannya yang sering kali salah kapra tentang yang lainnya. Majid akan membenci seseorang, jika memiliki pemahaman yang tak sama dengannya. Sekalipun cara pikir Hakim tidak seperti Majid, entah kenapa, tiba-tiba ia membahas itu.
"Haruskah aku menerima keputusan Hakim dan apakah takdir pernikahanku hanya ada ditangannya. Aku malu melihat cara pikir suamiku sendiri."
Salah satu sebab inilah, Sukma tidak pernah bercerita pada keluarganya, kecuali pada sahabatnya yang bernama Fariha, yang itu pun karena Sukma menganggap beliau mampu memberikan saran dan masukan untuknya, sehingga kebingungannya dalam memilih akan teratasi tanpa emosi.
"Ya, Hakim menawarkan dua pilihan pada Sukma, tetap menikah dengan syarat tidak menuntut hak atasnya, atau memilih cerai darinya."
Pada mulanya Sukma tidak menerima tawaran itu, karena baginya, perceraian bukanlah solusi.
Sukma berlatih mendamaikan dirinya lagi. Ia juga terus berlatih agar mampu memaklumi dan berlatih selalu untuk tidak menyudutkan pemikiran suaminya sendiri.
"Hakim! kenapa ini terjadi, setelah pernikahan kita sudah berjalan selama enam tahun, kenapa kau baru membahas persoalan ini, kenapa tidak dari awal saja kau menolakku, apakah kau lupa waktu taaruf dulu, sudah aku katakan padamu bahwa, aku tidak ingin memiliki suami yang ekstrim dan apakah sedikit perbedaan itu fatal bagimu, bukankah aku tidak melanggar dari ketentuan aturan?" Beberapa pertanyaan berkecamuk di kepala Sukma.
"Sungguh pusing dan tak habis pikir, melihat cara pikirmu, Hakim. Bukankah aku telah memenuhi keinginanmu, untuk tinggal di rumah ibuku sendiri, tanpa harus tinggal denganmu lagi.Aku tidak pernah menuntut, yang sampai saat ini belum aku pahami maksudmu itu. Aku berpikir kepindahanku sebagai jalan terbaik, karena kepedulianmu dan aku percayakan semua padamu, karena ku anggap kau bukan hanya dewasa, bahkan usiamu sudah tua, aku tidak ingin membebani pertanyaan-pertanyaan yang akan membuatmu semakin merasa terbebani.
Bacaanku tentangmu ternyata tidak sesuai, maka berterus teranglah, agar rasaku ini sedikit lega. Suamiku apa yang kau sembunyikan sebenarnya?" tanya Sukma. Hakim terdiam."Kau harus bisa mengambil hikmah dari ceritamu sendiri, bahwa setiap apa pun yang terjadi, itu semua dari respon dan atas undangan dirimu sendiri, karena itu awali sesuatu dengan niat yang sempurna, sementara niatmu dulu menikah, karena membutuhkan status bukan? sayang diawal niatmu itu sudah salah, maka itulah yang kau dapat, hanya status saja, statusmu memang bersuami, sekalipun kenyataanya kau sudah seperti tidak bersuami, karena itu berhati-hati dan waspada selalu dengan niatmu sendiri," ucap Fariha kepada Sukma.
"Ya, memang dulu aku melakukan niat seperti itu, karena pada saat itu yang aku butuhkan hanya itu. Aku tidak tahu akan seperti ini jadinya, Fa."
"Sudahlah, perbaharui saja niatmu saat ini."
"Apakah dengan memperbaharui niat akan merubah keadaan, Fa.?"
"Ya, semoga saja, kalaupun tidak, mau tidak mau kau harus menerima apa pun kenyataanya. Mohonkan bantuan pada Allah SWT, agar memberikan jalan keluar untuk kalian berdua, sementara sekarang kuatkan dirimu untuk menerima itu, tak usah berlarut dalam kesedihan, memang menangis itu hal yang manusiawi, tapi inilah tanda, bahwa Tuhan sedang memperhatikan dirimu sayang, tidak usah khawatir, apa pun yang terjadi, semua akan membawa pada kesadaran. Kamu sudah belajar, jika dia tidak belajar sepertimu, maka itu menjadi urusannya, bukan urusanmu lagi. Percayalah, apa yang terjadi tidaklah secara kebetulan, Sayang."
Usai berbincang dengan Fariha, Sukma mencoba menghubungi Hakim, karena sudah delapan hari tak ada komunikasi. Ia ingin tahu kabar suaminya sendiri, namun tak terhubung dan Sukma pun kembali kecewa. Ia keluhkan kembali rasa kecewanya itu pada Fariha dan katanya:
"Kau harus menerima apa pun yang terjadi. Di sini kau perlu mempersiapkan diri, agar tidak kecewa dan kecewa lagi. Tuhan memberikan kasih dengan caranya, apa yang terjadi layaknya tetap kita syukuri. Hidup itu bukan untuk sia-sia, melainkan tempat untuk kita tumbuh dan berkembang. Lakukan hal-hal kecil dengan aktivitas sehari-hari dengan disadari, ingatlah! bagaimanapun cerita hidup seseorang, tidak lain itu merupakan keseimbangan.
Menyadari setiap duka dan bahagia, maka mimpi besar pun akan mewujud nyata, bukan dilihat dengan indra, namun dirasakan di lubuk hati yang murni. Beruntunglah bagi seseorang yang sudah terbebas dari rasanya sendiri," Fariha terus menghibur Sukma.
"Hahaha, sungguh hidup itu sangat luar biasa unik sayang, bagi orang-orang yang mengaku dirinya waras, sebenarnya mereka telah gila dan tahukah kau, gila ataupun tidak, keduanya itu tetap gila. Hanya mereka yang waraslah yang mampu melakoni peran diri di dalam kehidupan sehari-hari," ucap Sukma.Sukma mengamati dan mendengar apa yang disampaikan sahabatnya dengan seksama.
Zzzreet..! Sukma tersadar dari lamunan panjang. Ia yang sedang duduk di yayasan Rumah Cinta, telah terbawa pikirannya kemana-mana. Saat perjalanan ziarah, juga pada soal permasalahan rumah tangganya.
Suara Tuan Faqih dan pemilik yayasan yang mengucap sambutan kepada peserta, membuat Sukma sadar seketika. Ia kembali pada kekiniannya. Pikiran telah menyatu dengan diri Sukma lagi. Ya, kegundahan telah menguasai dan menyeret Sukma sangat jauh sekali, sehingga ia sadar dan baru menyaksikan para kehadiran pemula di yayasan Rumah Cinta.
Mereka sedang mengerumuni Tuan Faqih sebagai wakil dan penyambung lisan guru besar. Tetapi tidak termasuk Sukma, dari tadi Sukma yang datang sejak awal, hanya duduk di pojok. Ia terseret ke dalam pikirannya sendiri. Kini Sukma mulai memperhatikan mereka peserta lainnya, diantara mereka ada yang menuntun anak, kemudian Tuan Faqih menengadakan kedua tangannya, mendoakan dan mengusap kepala sang anak tersebut, Sukma melihat bapak-bapak memeluk dan mengecup bolak balik tangan Tuan Faqih, kemudian Tuan tersebut menarik tangan bapak itu dan memeluknya dengan erat. Ada juga beberapa ibu-ibu yang menyodorkan bayinya mengharap keberkahan dan tabaruk dari sang wakil guru besar itu, kemudian Tuan Faqih mengecup kening dan mengusap kepala bayi yang dihadapkan oleh orang tuanya. Ada yang datang, kemudian tiba-tiba menangis, sementara yang lainnya, mereka duduk rapih menghadap Tuan Faqih, untuk mendengar siraman ruhani.
Pandangan Sukma tertuju pada mereka semua. Dalam hatinya terbersit kata untuk sosok yang dikagumi khalayak peserta itu.
"Duhai Tuan Faqih, kau sosok wakil guru besar yang dipercaya dan diyakini. Salam takzimku atasmu, aku hanya mengharap bantuan doa, agar aku terkuatkan dalam menjalankan proses hidupku, sehingga dalam akhir kehidupanku, tidak ada sedikit pun penyesalan."
Saat aku tak sedang bersama dia
Maka dia tak menyerta
serasa jelas, begitu jauh jarakku
daya lemah
harap yang luruh..
Aku letih menapaki lorong, menggantung harap
tak peduli lagi soal yang ku ingini
putus asa ataukah mati
yang jelas terserah..
hasrat kehendak, entah bagaimana kembali diraih
Innalilahy..
KAMU SEDANG MEMBACA
Atas Nama Cinta
Ficção CientíficaKisah seorang perempuan bernama Sukma dalam perjalanan mencari cinta ditemani suara-suara misterius yang seringkali mengganggu. Sejak lama Sukma merasa kehilangan cinta. Waktu berlalu tanpa rasa cinta yang dicari. Satu detik mencari cinta, satu men...