Transit di Oman

7 6 0
                                    

Petugas bandara nampak begitu kaku, tak seramah petugas Indonesia. Mereka mulai memeriksa paspor rombongan satu persatu. Di bandara Muscat, semua rombongan menunggu begitu lama. Ada beberapa data yang harus semuanya isi, setelah satu jam barulah selesai.

Ada satu orang dari pihak hotel Platinum menjemput rombongan.
Sesampainya di hotel, Syafiq membagi kamar dan kelompok. Setiap kamar terdiri dari dua orang, kecuali Sukma yang tak kebagian teman, begitupun Syafiq. Kamar mereka ada yang dilantai dua, lantai empat dan lantai tujuh, sementara Sukma dan Syafik yang tak mendapat pasangan mendapat lantai empat belas. Letak kamar Syafiq dan Sukma bersebelahan,sebenarnya Sukma merasa sedikit keberatan sendirian, hanya saja ia tak ingin menolak, bagaimanapun tujuan kedatangannya untuk bertamu pada sosok, dimana semesta memuja, maka kesendirian Sukma, ia jadikan kesempatan untuk lebih fokus.

Setelah pembagian kamar, setiap peserta membawa masuk barangnya. Mereka turun ke lantai dasar hanya untuk makan. Menu makanan di hotel itu sangat lezat, diantaranya ada nasi kismis. Nasi kismis mudah didapat, bisa beli di restoran Sindebad Petamburan yang tak jauh dari tempat tinggal Sukma. Sambosa, adalah kue kesukaan Sukma yang pertama setelah kue-kue lainnya, swarma dan menu enak lainnya juga ada, semua telah tersediah. Sukma menikmati, baik saat makan siang, juga pada saat makan malamnya.
Setelah makan malam selesai, Sukma kembali ke kamar. Kamarnya bagus dan sangat unik, hanya saja ukurannya lumayan besar untuk Sukma sendirian. Malam itu Sukma bersih-bersih, setelahnya, barulah mengistirahatkan diri.

Waktu Oman selisih empat jam dengan waktu Indonesia. Sukma melihat-lihat tembok sekeliling mencari jam dinding, namun tak ia dapati. Ia membuka hp dan memutarnya dengan waktu setempat.
Malam itu Sukma tak bisa memejamkan mata, hingga yang dilakukan hanya menulis saja, tidak lama kemudian, ia diam mengamati kamar dan isinya, tempat tidurnya cukup luas, seprei putih dengan kembang ungu di bagian bawah, sangat indah. Sukma mengambil remot AC yang ada di sebelahnya, kemudian mengecilkan suhunya, saat meletakan remot AC, ia terpesona pada lampu hias yang antik, meja dan tempat tidur nampak antik. Sukma terus memperhatikan barang-barang yang ada di sekitarnya. Ia menunggu suara azan yang tak juga terdengar, entah sebab ia berada di ketinggian, atau sebab di sekitar memang tak ada Masjid. Sukma pun terlelap..
Beberapa jam setelahnya, Sukma terbangun. Ia membuka gorden jendela, ternyata masih malam juga. Hanya nampak mobil yang melintas dapat dihitung jemari. Suasana sangat lengang, tak ada pemandangan yang enak untuk dipandang, selain lampu-lampu yang menerangi jalanan. Warna lampunya pun tak menarik sebagaimana di kota Jakarta. Sukma kembali menutup gorden jendela, ia kembali merebahkan badannya. Tak ada sesuatu yang menarik lagi untuk dilihat. Sukma membuka hp, dengan sengaja ia matikan internetnya, ya agar perjalanannya tak terganggu, perasaannya kepada Musa, untuk sementara ingin ditunda. Sukma tak ingin momen istimewanya itu terbuang sia-sia.

Saat itu waktu Indonesia sudah pagi. Sukma kembali menulis di bukunya lagi. Tak terasa hingga di balik jendela mulai nampak ada cahaya, mungkin sekitar jam lima. Sukma melihat waktu dengan perkiraannya sendiri.

"Sayang sekali, kamar semewah ini tak ada jam dindingnya," grutu Sukma dalam hati. Sukma pun bersiap-siap melakukan solat subuh, setelah solat, ia pun tidur kembali.

Sekitar jam tujuh pagi, Sukma masuk ke kamar mandi untuk bersih-bersih, setelahnya ia turun untuk sarapan pagi. Ia kembali makan dengan menu yang disukai. Selesai sarapan, Sukma duduk di loby, ia berphoto bersama teman rombongannya.

"Ibu-ibu, Bapak-bapak, setelah ini, kemas barang semua ya, hati-hati! awas ada yang tertinggal. Beberapa lama kemudian bus datang," mereka pun kembali ke kamar untuk mempersiapkan perjalanan berikutnya. Di kamar, Sukma kembali menyempatkan diri menulis lagi, setelahnya ia menyiapkan diri, mandi keramas dengan niat bertandang pada kekasih.

Sukma meninggalkan kamar, ia turun dan langsung makan siang, setelahnya, ia kembali keloby, menunggu teman lainnya. Sukma melihat-lihat pemandangan di sekitar. Hotel itu tak besar, sebagaimana hotel-hotel yang ada di Jakarta, akan tetapi hotel Platinum, memiliki bangunan yang sangat antik, sekalipun kecil nampak mewah.
Pemandangan begitu lengang, tak seramai kota Jakarta. Di Oman tak ada kemacetan, suasananyasangat sepi, di sebrang jalan berderet toko yang situasinya begitu nglangut, tak nampak ada pembeli. Beberapa pohon berjejer sepanjang jalannya, hanya satu macam pohon, yaitu pohon kurma.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang