Di Raudha Sang Ushwa

7 8 0
                                    

Malam-malam sebelum waktu subuh, saat Sukma merasa sudah cukup beristirahat, ia kembali ke Masjid Nabawi lagi, tak ada yang ditakuti sebagaimana informasi yang dulu Hakim sampaikan padanya tentang bahaya seorang perempuan berjalan sendiri dimalam hari. Tidak! sekalipun jam tiga malam, suasananya sangat ramai, banyak orang Indonesia dari hotel yang sama, keluar dijam itu juga, terlebih lagi letak hotel tak jauh. Sukma keluar dari hotel mengikuti rombongan Indonesia lainnya yang tidak lain memiliki tujuan yang sama, yaitu bertabaruk dan menyambungkan diri kepada Nabi. Benar saja di Masjid Nabawi tak pernah sepi. Setibanya, Sukma mengambil air zam-zam, ia minum dengan niat dan meminta restu dari pada keluarga suhadah, yang tak dapat membasahi kerongkongannya. Setelah itu Sukma melangkah masuk menjalankan solat-solat kodho dan lainnya. Setelah solat subuh, katanya pintu akan kembali di buka.

Pagi itu berbeda tak sebagaimana semalam, Sukma tidak bisa mendapatka situasi sebelumnya di depan raudha. Peziarah pagi itu sangat berlimpah.

“Duhai baginda, meski aku duduk di sini saja, kuyakin engkau tahu dan melihatku,” pandangan Sukma jauh tertuju raudah.

Setelah jam delapan pagi, Sukma keluar dan berjalan ke pelataran dengan mengitari Masjid Nabawi. Ia melangkahkan kakinya dengan langkah perlahan sambil mengamati di sekitar. Sukma terhenti saat melewati pemakaman Baqy. Memang makamnya tak nampak, yang dilihat hanya pagar berjeruji, bertembok tinggi. Sukma menghadapkan badanya ke arah pemakaman Baqy.  Di situ ia mengirim doa dan membacakan surat fatiha untuk keluarga mulia Nabi, diantaranya seperti: Hasan bin Ali bin Abu Tholib, Ali Zainal Abiddin, Muchammad Al-Baqir, Ja’far As-sodiq, Sayyidah Zainab dan lainnya.

Melihat hal demikian askar dengan kumis tebal dan jambang yang lebat berseragam menghampiri, kemudian mengusir Sukma, untuk menjauhi pemakaman itu sambil mengayun-ayunkan kayu yang digenggamnya.

“Hai! mukminah khurafat, bid’ah,”begitulah kalimat yang diucap, sebab dia menutup mata dan tak ingin mendengar sejarah. Sukma pun kembali melanjutkan langkah, ia melangkah dengan pelan-pelan, semua itu dengan sengaja ia lakukan, harapannya agar para syuhada menyaksikan kehadirannya.

Sukma sampai di pintu bagian timur,pintu Ali bin Abi Tholib gate. Di depan halaman itu, Sukma mengistirahatkan dirinya. Ia duduk menikmati pemandangan dan lalu lalang orang di sekitar. Seorang wanita mukmina dengan rupa seperti orang India menyondorkan roti khas negrinya kepada Sukma.

“Khalal, khalal,” katanya. Sukma menerima pemberian itu.

“Ikhlas?”

“Ya khalal.” Sukma duduk ngedeprok di pelataran Masjid Nabawi. Ia makan roti yang telah diterima itu.

“Lumayan sementara untuk mengganjal perut,” lirihnya.

Setelah beberapa menit duduk, Sukma bangun, ia melihat keran air zam-zam, kemudian meminumnya, setelah itu  sisahnya ia usapkan ke wajah.

Saat keluar Sukma melewati pintu gate 25, maka kembalinya pun di pintu yang sama, agar pulang menuju hotel tak  bingung. Setelah sampai di pitu 25, Sukma melihat jam di hp nya ternyata sudah jam sebelas siang.

“Pantas saja perutku sudah terasa lapar. Entah berapa kilo aku sudah mengelilingi Masjid ini, yang jelas aku keluar dan kembali di pintu yang sama selama tiga jam.”

Sukma kembali ke hotel. Sesampainya ia langsung merebahkan diri dan akan kembali saat waktu solat zuhur hingga asar.

Malam hari Sukma pun kembali ke masjid lagi. Begitu selalu dalam setiap harinya para peziara datang ke Masjid Madinah. Mereka kembali ke hotel hanya untuk mandi, makan dan sesaat beristirahat.

Empat hari sudah mereka tinggal di kota Madinah, kini saatnya mereka bersiap-siap melaksanakan ihram atau amalan pertama dalam melakukan manasik umrah. Setelah mandi tanpa mengenakan sabun dan hal-hal yang tak dibolehkan, Sukma mandi dengan niat mandi, menyiram rambut dan mengenakan pakaian ihram yang telah disiapkan sebelumnya. Para peziarah berniat pada saat mengenakan pakaian ihram. Syafiq menyampaikan bahwa, pakaian ihram yang dianjurkan adalah putih, bersih dan terhindar dari najis. Sementara bagi laki-laki hanya mengenakan kain ihram tanpa berjahit.

Pagi itu rombongan kembali berziarah ke makam baginda untuk berpamitan. Safiq mengarahkan rombongannya untuk melakukan segala sesuatu yang dianjurkan pada saat perjalanan dan apa-apa yang perlu dihindari saat melakukan ibadah tersebut. Syafiq meminta pada rombongan agar setelah zuhur sudah berkumpul dan masuk ke dalam bus

Panggil kembali aku kesini duhai baginda, sampai bertemu.
Sebab mustahil aku datang, jika tanpa restumu.

Undang aku lagi. Jangan jadikan ini sebuah perpisahan
Aku tak tahu bagaimana caranya.

Beri restumu duhai kekasih Tuhan ku. rekatkan aku hanya denganmu.
hingga yang kuraih bukan cinta basi yang lainnya.

Sukma menangis, ia melangkah mundur dari pintu raudah.

Rombongan sudah berkumpul. Tidak lama kemudian, bus pun melaju. Mereka semua melambaikan tangan dan mencium telapaknya sendiri.

“Ya Rasulallah,” air mata mereka berlinang.

Di dalam bus Syafiq mulai menyampaikan semua aktifitas yang akan dilakukan di Makka, juga menyampaikan kisah dan sejarah tentang awal mula berdirinya Kakbah dengan air zam-zamnya yang tak terlepas dengan kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.

Orang laki-laki semua mengenakan pakaian ihram tanpa jahitan, sementara perempuan mengenakan busana dan mukena bewarna putih. Pemandangan itu membuat Sukma merasa bahwa mereka semua seperti mayat. Selama di perjalanan mereka mengucap talbiyah dan pujian. Semuanya mengahrap selamat, hingga di dalam bus, yang ada isak dan air mata mereka, sementara sebagaian peserta lainnya tertidur.

Sukma baru kali ini merasakan situasi langsung di tanah Arab, tandus dan lengang dari keriuhan.

Dalam perjalanan, pikiran Sukma melayang terbawa sejarah yang pernah dibacanya, saat peristiwa Nabi mensyiarkan ajaran di kota kelahirannya, Mekkah.

“Kira-kira berapa lama ya, perjalanan mengendarai unta dari Makka ke Madinah?” Sukma penasaran sendiri. Pikirannya terus melayang disibukan dengan beberapa pertanyaan yang belum pernah ia tahu. Ia membayangkan Nabi, saat dalam perjalanan dari Mekka menuju ke Madina. Air matanya terus menetes. Sampai akhirnya ia pun tertidur. Sukma terbangun pada saat salah satu peserta ingin ke toilet. Abang supir memarkir bus di pinggir jalan. Beberapa orang di dalamnya keluar. Pakaian ihram tidak boleh terkena najis, sampai waktunya tiba di kota Makkah, karena itu Sukma mengenakannya sangat berhati-hati. Di pemberentian itu terdapat beberapa pedagang mangkal. Mereka menawarkan dagangan pada rombongan yang singgah. Syafiq dan suami Sarah mencari minuman panas, sementara Sukma dan Sasa sekembalinya dari toilet mereka mencicipi madu. Penjual itu, menawarkan dagangannya dengan berberbahasa indonesia.

“Silahkan murah sekali ibu-ibu bisa dicoba,” begitulah katanya dengan bahasa terbata-bata.

Tiga puluh menit kemudian, rombongan pun kembali ke bus.

“Seandaiya saja di pesawat tak bermasalah, sebenarnya aku ingin beli madunya tiga,” ucap Sukma.

“Ini madu bagus, di Jakarta harganya sekitar empat ratus limah puluh ribu rupiah, jauh lebih murah,” Sasa merespon ucapan temannya.

“Aku tahu, karena itu ingin beli tiga, hanya saja khawatir akan bermasalah di pesawatnya. Beli satu untuk staminaku selama di sini kupikir itu lebih baik.”

“Ya,” jawab Sasa.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang