Takdirpun Menjawab

7 8 3
                                    

Lukman dan Sukma telah sampai di mall Pejaten Village. Mereka memesan makanan.           

“Suk. Usia Sadra itukan baru tiga tahun, ia membutuhkan perhatian khusus. Akbar, dia kan sudah besar jadi tidak ada masalah, kalau boleh, saat kita nanti menikah bagaimana mengatur ini semua ya?”

“Saat aku memutuskan untuk menikah denganmu, tentunya resiko apa pun akan aku terima, seperti aku tidak lagi beraktifitas misalnya, bagaimana pun aku akan lebih mengutamakan anak-anak, terlebih lagi usia Sadra. Aku tahu itu, Luk.”

“Syukur jika kau memahami itu. Aku akan terbuka apa pun terkait urusanku padamu. Setiap bulannya aku akan memberimu separuh uang gajiku, sementara separuhnya lagi untuk urusan seperti pembayaran-pembayaran seperti listrik, belanja, perawatan, asuransi, pendidikan anak dan lainnya.” Sukma diam, ia hanya menyimak ucapan Lukman.

“Kemudian Suk, satu lagi yang kuinginkan, moga saja kau menyepakatinya.” Sukma mengangkat kepalanya yang semula sedang menyendok makanan, ia merasa penasaran.

“Apa katakanlah!”

“Aku tak menginginkan anak lagi,” ucap Lukman tanpa ragu.

“Bagaimana kalau istrimu nanti hamil?” Sukma bertanya santai.

“Aku akan menganjurkan, agar kau mengikuti program kabe.”

“Bagaimana kalau kebobolan, karena tidak sedikit hal tersebut terjadi?” tanya Sukma sambil mengunyah makanan.

“Itu dia yang dikhawatirkan. Saat usia janin boleh digugurkan, dengan sangat berat, mau tak mau mungkin pilihannya adalah digugurkan,” jawab Lukman. Suasana hening seketika.

“Katakan sesuatu, Suk!”

“Apa yang membuatmu begitu ketakutan memiliki anak lagi, bukankah dia sebagai rakhmat yang patut di syukuri, dimana kehadirannya sudah dan akan di hidupkan oleh yang Maha hidup sendiri?”

“Apa yang kau katakan benar, hanya saja ikhtiar kita sebagai manusia tetap ada, aku sudah merasa terlalu letih, bahkan usiaku sudah tak muda lagi, mau tak mau cukup dua anak saja.”

“Bukankah dua itu anak darimu, tentunya istrimu akan menginginkan anak juga Lukman.”

“Saat aku menikah, maka anakku adalah anak istriku juga tentunya dan aku berharap istriku dapat menganggap anakku sebagai anaknya sendiri.”

“Itu benar sekali, bagaimana jika istrimu ingin merasakan melahirkan anak, sebab ia belum memiliki anak atau mungkin juga sebab pernah kehilangan anak, lantas kau terpikir untuk mengugurkan, jika kehamilan terjadi, apakah kau yakin itu?”

“Ya,dengan sangat terpaksa, bagaimanapun kita perlu perhitungkan semua itu.”

“Lukman, kalau boleh tahu apakah ada sesuatu yang membebani masalah ekonomimu?”

“Ya, aku harus perhitungkan segalanya untuk masa depan anak-anak, agar mereka mendapatkan pendidikan yang layak.”

“Ya, itu bagus sekali. Hanya saja bukankah ada yang memberikan jaminan kepada kita atas semuanya itu, kenapa kau seperti meragukan Tuhan mu sendiri?”

“Tentu saja kita meyakini dan percaya pada Tuhan, namun kita kan berikhtiar.”

“Baik Lukman bole-boleh saja, kau berkeinginan seperti itu, setiap diri memiliki alasan dan kekhawatiran, itu wajar saja.”

“Ya. terimakasih Suk, jika kau mau mengerti.”

“Tentu, bukankah setiap pemikiran dan pandangan seseorang tak harus sama. Bagiku itu sah-sah saja.” Lukman tertawa dan melanjutkan makan.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang