Memaafkan

22 21 1
                                    


"Semoga perjalananmu dapat membebaskan dirimu dari keterjebakan ego, tak mengapa sekalipun pengalihan, dengan begitu rasa di dirimu akan lebih menghalus lagi," ucapnya lagi.

"Ya, sebagaimana yang pernah Fariha sampaikan padaku," Sukma menjawab lirih.

Sukma meninggalkan bocah kecil dalam kubangan itu. Ia melanjutkan perjalanannya lagi "

Aku menjadi tahu, tidak lain ternyata aku adalah, mata rantai yang menghubung antara aku dewasa dengan aku yang bocah. Bahwa siapa saja yang berlatih membersihkan akar derita, menyebabkan diri akan mampu mecintai dan dicintai. Sebagaimana halnya rasaku pada Hakim.

Jika aku terus berjalan, maka rasa itu akan mampu mengantarku pada Cinta yang sebenarnya, mungkin Tuan Ruh meyampaikan pesan dan wasiatnya padaku juga, agar aku mampu mewujudkan pencarianku itu. Memang aku belum memahami maksud setiap pesan yang Tuan Ruh sampaikan padaku dan ketidak mengertianku itu, mungkin karena aku belum mulai melakoni."

Tiba-tiba Sukma kembali mendengar suara asing lagi.

"Seandainya saja kau sudah mampu melewati kisah masa janinmu dulu, maka tidak akan ada yang menghalangi langkahmu, kau akan memahami dan penuh welas asih, karena telah mampu melewati kerahiman sejati, dengan Cinta yang sedang kau cari."

"Sudahlah, tak usah bicara. Seandainya, rasa adalah nyata bukan rekayasa yang diada-ada, biarkan aku melakoninya, bersyukurlah aku yang sudah menemukan jalan ayahku dan lihatlah! aku mulai mengenal rasa ibuku, yang karenanya aku akan mampu memaklumi dan memaafkan diriku dan suamiku."

"Jika rasamu adalah nyata, kenapa kau kehilangan Cinta?" Suara itu kembali bertanya.

"Sudahlah, aku tak ingin membahasnya?"

"Aku ingin tahu, maka kau jawablah. Kuasai dirimu, lakukan pesan-pesan Tuan Ruh, dengar! aku melihatmu seperti gila kawan, seandainya kau temukan Cinta yang kau cari, itu akan membuatmu gila juga, jadi biasa sajalah!" kembali kata suara asing itu.

"Biarkan aku gila, kalau kegilaanku akan menjadikan diri yang gila menjadi waras seketika. Bukankah hidup itu bukan untuk sesuatu yang setenga-setengah?"

"Cinta aku gila, telah mencari sosok yang tak nampak indra, apakah sebaiknya aku menyerah, mencari Cinta tak beraga, bagaimana aku mengenal dan memeluknya?" kembali tanya Sukma.

"Kau seperti mengagumi Cinta, namun tak begitu mengerti soal rasa," suara misteri muncul kembali seperti meledek Sukma.

"Lantas bagaimana cinta akan menyatu, jika kau sendiri ragu?" lagi-lagi suara itu bertanya.

"Aku tidak tahu," kata Sukma.

"Aku tidak mengerti, kau mencari sesuatu yang kau sendiri tidak pahami?"

"Sudahlah aku lelah, mengorek rasa yang menumpuk lama, tolong diam, tak usah kau tanya apa pun juga. Ibu tolong aku!" Sukma menangis.

"Sudah pulang dan tidurlah! omong kosong dengan cinta, hanya basa-basi kata, jadi sudahlah, berhenti dan tak usah lagi mencari cinta,"suara asing itu memerintah Sukma.

"Kau belum bisa diam juga, jika aku inginkan hujan kenapa takut akan basahnya, jika aku suka pada bulan kenapa takut pada malam, aku Sukma sosok yang kekal dan ketiadaan sebagaimana aku dan Cintaku. Ibu izinkan restumu, biarkan aku bertemu belahan jiwaku."

"Jika pada ahirnya kau akan terkubur juga, untuk apa cinta?"

"Aku yang terkubur karena tak menemu Cinta dan akulah Sukma yang merupakan Cinta sementara cinta adalah Sukma."

"Sudah aku katakan, jika kau semakin menjadi dan tetap mencari Cinta itu, maka akan membuat gilamu semakin parah," suara itu, lagi-lagi terdengar di telinga Sukma.

"Entahlah, aku sendiri tidak begitu memahami, apakah benar aku mencari Cinta, ataukah sebatas mencari keinginan diri yang belum terpenuhi."

"Sudah sekitar empat puluh tahun, seperti ada sesuatu yang belum terselesaikan olehku, sungguh benarlah yang dikatakan Fariha," ucap Sukma pada suara misteri itu.

"Apa itu?"

"Kaitannya rasaku dengan ketiga jalan itu, namun jalan Yahya, yaitu jalan lewat ayahku sudah mampu aku lewati, hanya dalam waktu tiga hari."

"Kisahmu seperti dongeng misteri."

"Ya, seperti juga dirimu yang misteri."

"Kau dan aku adalah kemisterian diri."

"Awalnya aku merasa takut denganmu, namun aku menyadari ketakutanku padamu, sama halnya aku takut akan diriku sendiri."

Sukma merasa lelah, ia hampir berputus asa. Pagi hari saat selesai sembahyang, seperti ia mulai menemukan rasa ibunya. Ya, seperti terbongkar sudah alam bawah sadar Sukma dengan ibunya "Salam ibu, izinkan aku melewati jalan kerahimanmu." Kemudian Sukma mengirim rasa untuk ibunya. Ibu membalas salam putrinya dan memberikan izin Sukma memasuki rasanya yang sudah lama itu.

"Masuklah!" mendengar itu, Sukma terkejut dengan perlahan-lahan, ia pun mulai masuk pada rasa ibu saat mengandung dirinya.

"Ibu, aku telah tertawan sudah sekian lama dalam perutmu, sampai saat ini rasa itu telah aku tutup rapat-rapat, maka izinkan dan bantu aku untuk membukanya kembali, tali yang mengingat rasaku dulu."

Saat Sukma memasuki rasa ibunya, Sukma merasakan kesunyian yang sangat mencekam, Sukma merasakan sanubari ibunya sedang merasakan kesedihan yang dalam, ia juga merasakan kegelisahan dan kekecewaan ibunya. Ia telah tertawan rasa-rasa itu, ketika Sukma lebih mentelusuri lagi rasa ibu, ia melihat ayah seperti sedang berbahagia bersama selir yang menggodanya, dalam harumnya bunga melati, keduanya telah mengingat janji. Sukma melihat lagi rasa ibunya, seperti beliau sedang menggenggam lilin dalam kegelapan. Sukma menangis melihat tangan ibu menahan penuh lelehan lilin yang panas itu, ia merasakan kepiluhan hati ibunya.

"Aku yang janin terendam dalam air mata ibuku yang hangat, sehingga menutup jalan keluar dalam rumah kasih sayang-Nya. Pondok cinta yang telah menghadirkan aku selama sembilan bulan sembilan hari, telah mempengaruhi aku yang saat ini sudah empat puluh tahun di muka bumi yang gersang, waktu yang singkat itu telah menawan rasa dan Cintaku."

Sukma melihat ibunya kembali, ia mengulurkan tangannya pada ibu dan berkata; "Bebaskan aku dari belenggu rasamu pada ayah ibu, dengan sepotong cinta yang ada dalam genggaman maafmu, agar aku bisa terlahir kembali dalam bahagiamu yang telah tersimpan. Ibu, akulah resahmu, akulah sedihmu, aku marahmu, kita adalah satu dalam keinginan yang terbelenggu, maka bersatulah tetap denganku dalam cinta dan pintu maafmu, dalam kesadaran, agar kau dan aku mengetahui jalan pulang bersama bahtera dengan maafmu. Ibu! aku telah memaafkan diriku dan aku meminta ibu memaafkan aku dan ayahku, sehingga kita akan mampu berlayar bersama dalam samudra kasih-Nya." Sukma menangis. Pentelusuranpun terhenti.

Sukma sampaikan kisah tapaktilas dirinya pada Fariha, yang telah memberikan saran sebelumnya.

"Selamat menikmati bisunya harapan dalam cinta yang telah memaafkan.

Selamat memasuki dalam jiwa yang fitrah dibulan Syawal, setelah berpuasa dalam pensucian perjalanan menuju ruhani, tugasmu kini adalah, menjaga pintu pikiran agar tersadari oleh tekad yang telah terbang bersama pengantin malam Qodar, semoga kita selalu menemukan titik cahaya yang ada dalam sanubari yang telah termanefestasi dalam maaf. Bukalah cawan pintu ruhani, untuk selalu menjemput kasih sayang-Nya yang tak pernah hilang, kuatkan tekad yang juga merupakan pemberian-Nya, hamburkan maafmu pada setiap mereka yang menggores rasa, jika mampu melakukan itu, maka bersyukurlah, karena kita telah dipinjamkan tangan-Nya dan juga diri-Nya dalam melayani diri dan memberikan elusan pada mereka yang mengharap elusan tangan-Nya.

Salam cinta dan selamat menikmati dirimu yang telah mampu memaafkan. Semoga kita mampu untuk belajar selalu dalam mengenal, semua bentuk dan tanda-tanda dalam hati yang telah merdeka dan maaf yang telah menyatu, dalam pandangan yang bening."

Mendengar ucapan Fariha, Sukma kembali menangis.

"Terimakasih, Bu, terimakasih, Ayah, aku mencintaimu." Fariha memeluk Sukma, ia pun berterimakasih padanya. Setelah melakukan pentelusuran itu, Sukma menjadi tahu dan pada saat itu juga ia mampu memaafkan dirinya sendiri.

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang