Jika Hakim melepas, Sukma bisa menerima, begitupun saat Musa yang tak berharap siapa pun melekati dirinya, maka mau tak mau memang selayaknya Sukma belajar menerima juga. Ia berpikir mungkin memang ada baiknya untuk berlatih melepas dari sosok yang dilekati, sebab hidup baginya sekedar sesaat menerima kemudian melepas lagi. “Lihat aku thif!” batin Sukma.
Setelah perpisahannya dengan Hakim, sejak itu Sukma mulai melatih diri bagaimana mempelajari perubahan kondisi, setelah mengerti, Sukma baru menyadari bahwa rasanya sudah tak lagi mati. Pada akhirnya, peliharaan bisa memahami dan mengerti soal keribetan tuannya sendiri.
Sewaktu usianya masih bocah, Sukma pernah menyampaikan kepada ibunya. Bahwa saat besar nanti ia tak ingin menikah, ia memilih untuk menjadi pertapa.
“Kamu harus menikah, Nak,” ucap ibu saat itu.
“Baiklah, Bu. sepertinya memiliki anak banyak sesuatu yang menyenagkan juga,” jawab Sukma saat itu. Diusianya yang baru tingkatan menengah, Sukma pernah menyimpan photo sosok alim, namanya tuan Ruh, ibu yang belum pernah mengenalkan photo tersebut bertanya kepadanya, Sukma menjawab:
“Aku ingin suami sepertinya, Bu.”
“Usiamu masih sangat muda, kenapa memilih sosok yang sudah tua?”
“Agar aku bisa belajar, Bu.”
“Jika begitu mungkin kau sebatas ingin berguru saja, Nak.”
“Mungkin. Bu.”
Ayah Sukma bernama Aqil, ia akan bicara dalam hal tertentu saja, tidak berbicara kecuali yang penting baginya.
“Ayah, aku ingin bertemu. Kemudian tinggal beberapa hari di rumah tuan Ruh.”
“Beliau telah meninggal, Nak.”
“Kapan? jika begitu biarkan aku datang ke makamnya saja, Yah.”
“Mungkin sekitar kelulusanmu dari sekolah dasar, untuk datang ke sana tidak gampang, selain biaya, juga ada ketentuan yang harus diurus sebelumnya. Kirimkan saja doa, insya Allah akan sampai. Beliau akan senang, percayalah, Nak!”
“Baiklah! jika begitu aku akan berdoa saja yah.” Ayah pun bercerita soal perempuan buta, kepada Sukma putrinya. Perempuan buta yang gagu, juga tuna rungu, sebab rasanya yang hidup, sang Raja pun meminangnya dan menjadikannya sebagai permaisuri,” mendengar itu, Sukma belia pun mulai berpikir. Itulah awal mula Sukma berani mendekati. Melihat hal demikian, ia menyadari akan baik baginya memiliki teman sejati.
Setelah menikah, direlung yang begitu dalam, sekonyong-konyong ada yang menggores rasa halus. Sukma teringat ayahnya yang telah tiada.
“Ayah, tak ada sesuatu yang aku miliki hingga kini. Aku berziarah untuk membebaskan rasaku saja. Hari-hariku hanya bersama sang misteri.”
Sukma tak melihat ada hal-hal baru yang telah diraihnya. Untuk mewujudkan mimpi, ia pun mencoba mencari yang asli.
“Rasaku pada yang lain itu, Yah, tanpa kusadari mungkin sebatas aku untuk belajar berlatih melihat diriku.”
“Saat dipuji tak mengubah diri. Sebab pujian adalah ujian, usah membuat seseorang melayang,” Sukma teringat pesan Musa.
“Sesekali melayang tidak mengapa, karena kita manusia, aku memujimu sebab aku tahu kau aman bagiku, kenapa tak sambut saja pujian. Memberikan air pada seseorang, akan menghilangkan dahaga. Kau telah mengikatku dalam kata-kata, maka biarkan aku melepasnya dengan caraku,” balas Sukma. Kemudian ia menyambung pesan.
“Jika pujian dianggap sebagai keburukan, lantas dimanakah keindahan? kenapa tidak terima saja pujian tanpa menggores yang memuji, soal melayang ataupun mejatuhkan, itu bagaimana kitanya.” Sukma merasa Musa telah menekan rasanya yang sensitive, sejak itu ia pun mulai bersikap biasa padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atas Nama Cinta
Science FictionKisah seorang perempuan bernama Sukma dalam perjalanan mencari cinta ditemani suara-suara misterius yang seringkali mengganggu. Sejak lama Sukma merasa kehilangan cinta. Waktu berlalu tanpa rasa cinta yang dicari. Satu detik mencari cinta, satu men...