Saat Rasa Tumbuh

8 7 0
                                    

"Lihatlah ia yang semua anaknya terlepas, lihatlah ia yang dipaksa jantung hatinya diminta dan tak pernah kembali, lihatlah para pencari cinta sejati, yang kecintaannya kepada pemegang kunci, lihat mereka semuanya! lantas bagaimana dengan kita yang bukan siapa-siapa, jadikan mereka sebagai motivasi dan jalan untuk menuju," ucap Athif dalam impian Sukma sebelumnya.

"Athif, antar aku pada mereka semua, tuntun dan kenalkan aku padanya," pinta Sukma.

"Aku akan mengantarmu pada mereka, dengannya kau akan menemukan cinta yang kau cari, hanya lewat mereka lah kau akan terhubung pada kekasih yang sesungguhnya Suk. Maka ada baiknya kita melewati jalan nyata."

"Dari mana kau tahu jalan itu, Thif?"

"Itu penyaksian seorang hamba. Penyaksian bukan sebatas ucapan lisan. Pahamilah bahwa itu merupakan hubungan bagaimana sang hamba dalam menjalankan kehidupannya." Mendengar itu, menjadikan Sukma semakin berharap akan kehadiran Athif.

"Pertemukan aku dengannya, Thif. Ya Allah. Jadikan Athif sebagai pendampingku, agar jalanku tak timpang," batin Sukma.

"Bangun! dan ikutlah denganku, akan kuajarkan bagaimana cara membuka pintu rumahmu, hingga kau tak lagi gerah, sebab fentilasinya mampu kau buka," ucap Athif.

"Benarkah?"

"Jalani saja, nanti kau akan merasakannya."

Tiba-tiba Sukma merasakan semilir angin mulai membelai raganya seketika.

"Athif lihat! sungguh aku merasakan udara membelai rambut dan mengelus ragaku yang sedang gerah," ucap Sukma lega.

"Sabarlah, jika aku saja begitu peduli padamu, bagaimana dengan-Nya. Dengar Suk, bukankah musim selalu berganti?"

"Aku ingin membebaskan itu," jelas Sukma.

"Aku ingin membantumu Sukma, asal kau mau membantu dirimu juga, aku tak ingin berjanji. Janji akan membebaniku. Saat ini kondisi mu belum stabil, berabarlah," pinta Athif.

"Baik, Thif," ucap Sukma.

"Ya. Hanya sebatas itu saja,aku bukanlah tujuanmu juga, Suk."

"Biarlah semua mengalir apa adanya, Thif."

"Ya, jika kau berkeinginan aku mengantarmu, maka ikuti aku, agar kau tak kecewa sebagaimana awal ceritamu dengan Hakim."

"Athif sosok merdeka, bagaimanapun kenyataannya ia hanya milik dirinya sendiri. Maka kuatkan saja diriku," Sukma membatin.

"Sukma rasamu pada siapa pun itu, bukan untuk mengikatmu, melainkan jalan untuk melepas ikatan itu sendiri. Izinkan aku melepas ikatanmu itu," pinta Athif.

"Jika rasa bukan untuk ikatan, haruskah ada pertemuan?" tanya Sukma.

"Tentu. Jika tidak, dari mana kau akan tahu perihnya perpisahan?"

"Untuk apa mengenal perihnya?" tanya Sukma.

"Untuk kau mengenal-Nya."

"Jika demikian biarkan aku tetap merasai, kalaupun aku terjebak pada rasaku itu, maka aku akan menanggung resikonya, tenanglah! akan ku tanggung sendiri dan aku tak akan merepotkanmu dalam hal ini," Sukma tanpa menyadari ucapanya sendiri.

"Suk, aku tak ingin kau kembali menderita. Tapi aku tahu kau melekati diriku atau entah siapa pun yang akan kau lekati nanti, keduanya sama saja, hanya saja Hakim cerita lama dan saat kau mengalihkan pada yang lainnya, kenapa harus kau takuti, jika kau tahu itu akan menyembuhkan deritamu selama ini, jika pun kau tak sembuh, paling tidak kau telah berikhtiar untuk pengobatan luka dirimu. Apakah kau mengerti, Suk?"

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang