Membuka Hati untuk Lukman

7 8 3
                                    

“Musa, memang aku sebatas merasai rasa yang tak pernah aku pahami. Hakim peduli, namun ia terus mengikatku. Lukman, aku belum mengenalnya dengan baik, nampaknya ia memang orang baik-baik dan bertanggung jawab, hanya saja aku tak begitu mengenalnya, aku tak akan tergesah-gesah memutuskan hal penting soal pernikahan ini,” Sukma disibukan pikirannya sendiri.

“Musa, apakah boleh aku sedikit bercerita?” Sukma mengirim pesan pada Musa.

“Silahkan, asal tidak membicarakan orang.”

“Tidak, Ini terkait dengan yang sedang aku pelajari,” jelas Sukma.

“Jika pelajaran, ini baik sekali Suk, silahkan!saya siap mendengar.”

“Aku hanya ingin bilang sepertinya rasaku padamu bukan sesuatu yang layak untuk ditakuti, aku merasai rasaku ini hanya sebatas ingin mengenali, bukan terkait jenis kelamin, sebab kau laki-laki sehingga ada ketakutanku untuk terjebak, padahal jika aku sadari bukan itu. Apakah kau bisa memberitahuku?”

“Ya, pada waktunya kau akan tahu, apa yang kau butuhkan itu, Suk,” jelas Musa.

“Apa?” tanya Sukma kepada Musa.

“Aku hanya akan memberi satu pertanyaan saja untukmu.”

“Silahkan!”

“Mungkinkah buah mentah akan tahu sebuah proses kematangan?”

“O, Ya benar. Kau benar sekali Musa. Lantas, saat buah telah matang, apakah akan mengalami sebuah pembusukan?”

“Akan sia-sia menjelaskan sebuah proses kematangan kepada yang mentah, sebab hanya waktulah yang menjadikan sesuatu yang mentah bisa matang. Maka biarkan waktu  menjawab semua itu, Suk,” jelas Musa tanpa menjawab pertanyaan Sukma berikutnya.

“Ya, biarlah waktu yang menjawabnya juga,” batin Sukma dan Sukma pun memberi respon yang sama sebagaimana respon Musa padanya.

“Hari ini saya lembur, Suk. Saya akan sampai rumah malam, saat ini saya sedang beristirahat, apa yang sedang kau lakukan?” satu pesan dari Lukman, Sukma baca.

“Kasihan anak-anak, mereka menunggu, saya sedang mengetik.” Dua jam kemudian, Lukman baru membalas.

“Saat ini saya sudah di rumah, saya akan menghubungimu, apakah kau belum tidur, Suk?”

“Silahkan, saya belum tidur!” tak lama kemudian telpon pun berdering, Sukma mengangkatnya.

“Apa yang sedang kau lakukan, Suk?”

“Menerima telpon abang.”

“He he he,” keduanya tertawa.

“Anak-anak sedang apa?”

“Mereka terus bermain game, sulit sekali dibilanginya, Suk.”

“Sudah biarkan, toh Akbar liburkan? biarkan ia menikmati liburannya.”

“Ya, masalahnya Sadra jadi ikut-ikutan.”

“Mereka kesepian, apa yang akan mereka lakukan selain main game?.”

“Apa ya, Suk?”

“Kau lebih tahu, sebab aku belum mengenalnya.”

“Jika mainan, di sini sudah banyak sekali, sementara jalan-jalan kita sering juga pergi ke mall, kira-kira apa ya?”

“Lukman saat kau menyampaikan cerita soal anak-anak, jujur ada rasa dimana aku seperti menarik diri untuk ke rumahmu, namun rasa itu sedikit membuatku tertekan. Ya aku mau mengenalmu, namun tidak terburu-buru untuk menikah, aku butuh waktu, aku takut kalau sekiranya kita tak berjodoh ada penyesalanmu padaku, aku tidak mau seperti itu, maka carilah pertemanan dengan yang lainnya juga.”

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang