Hari kesembilan pun tiba. Mereka mulai berkemas, sebab besoknya akan kembali ke Jakarta.
23 Oktober
Rombongan telah tiba di Jakarta. Sesampainya, rasa Sukma menjadi hampa, beberapa hari Sukma tak keluar rumah, juga tak menghubungi keluarganya. Ada yang tak disadari telah hilang dari dalam dirinya. Sepi dan terasa semuanya nampak jelas basa-basi.
Ibarat pohon
Aku ibarat daun yang rontok. Sebab kering, kemudian tergoyah angin
Hujan turun, daun dingin dan beku.
memang bumi mendekap, bagi daun yang terserak
sesuatu telah hilang dari diriku
Hampa..
Entah hasrat lenyap kemana..
barangkali pohon akan tumbuhkan buah
karenanya mahkota gundul seketika.
Satu minggu setelah di Jakarta. Nafisah mengenalkan teman gurunya yang ada di Surabaya dengan Sukma. Nama lelaki itu adalah Lukman.
Lukman, seorang duda memiliki dua anak bernama Akbar dan Sadra. Dia ayah yang penyayang dan perhatian, sebagai ayah juga sebagai ibu. Istrinya telah meninggal dunia, ia berniat untuk kembali menikah. Sukma tidak menolak perkenalan itu. Hanya saja setelah satu minggu berkomunikasi, pikirannya menjadi gamang.
“Berapa kali lagi kelekatan akan kumiliki?”
Lukman dan Sukma memiliki kebiasaan yang tak sama, bahkan keduanya saling bertolak belakang. Lukman memiliki pemikiran yang lepas tak sebagaimana Musa. Sementara Lukman sosok yang semuanya dengan perhitungan dan prediksi, bahkan ia tak bisa disamakan sekalipun dengan Hakim. Kehidupan Lukman sangat terikat oleh waktu. Lukman melakukan aktifitas yang sama dalam setiap harinya. Bekerja, makan, merawat anak, istirahat, bekerja lagi, begitu selalu yang dilakukan dengan sangat bersungguh-sungguh disetiap harinya. Sementara Sukma, sosok petualang yang bisa menembus khayal menjadi kenyataan. Hidupnya dipenuhi imajinasi dan inspirasi, bahkan terkadang waktu seringkali seperti ia lompati. Pikiran Sukma terus bergerak. Tidak sedikit yang menganggap Sukma gila. Namun sebagian lain menganggap bahwa itu adalah bentuknya dalam mengekspersikan cinta.
Hari ini Sukma dan Lukman akan bertemu, untuk berikhtiar menjalani hidup baru, keduanya ingin saling mengenal.
“Suk!” panggil Lukman di pesan wathsaap.
“Ya,” jawab Sukma.
“Saya sudah sampai. Mobil pajero warna hitam B12…”
“Baik aku ke situ, tunggu sepuluh menit ya,” Sukma yang telah siap, langsung menuju ke depan jalan raya. Rumah Sukma masuk gang kecil, tak bisa dilewati mobil. Sukma berdiri.Ia menarik nafas dalam-dalam.
“Huuww, tenang bismillah,” lirihnya. Ia pun kembali melangkah, setelah sampai, Sukma mengucap salam menghadap kaca di samping mobil hitam milik Lukman.
“Asalamualaykum.”
“Waalaykumsalam. Masuk, Suk!” Lukman membuka pintu mobil dari dalam.
“Duduklah!” sambung Lukman. Sukma duduk, ia memasang sitbel dan mengatur duduknya.
“Bagaimana kabarmu, Suk?” tanya Lukman.
“Aku Alhamdulillah. Semoga kau juga ya?” jawab Sukma, sambil mengatur posisi duduk yang kurang nyaman.
“Ya, Aku Alhamdulillah, sebaiknya kita kemana ya?” tanya Lukman dengan menyetir mobil.
“Teserah kau saja, supaya pulangnya tak kemalaman, bagaimana kalau kita cari tempat yang dekat dari sini saja?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Atas Nama Cinta
Fiksi IlmiahKisah seorang perempuan bernama Sukma dalam perjalanan mencari cinta ditemani suara-suara misterius yang seringkali mengganggu. Sejak lama Sukma merasa kehilangan cinta. Waktu berlalu tanpa rasa cinta yang dicari. Satu detik mencari cinta, satu men...