Ihram

6 8 0
                                    

Bus melaju. Mereka kembali mengumandangkan puji-pujian, hingga sampailah rombongan di Masjid Bir Ali. Masjid ini tempat singgah para peziarah dalam melaksanakan miqot. Di sinilah niat ihram bisa dimulai, bagi orang yang menjalankan umrah ataupun haji. Saat rombongan akan mengambil air wudhu dan membersihkan diri, Syafiq meminta mereka semua berkumpul kembali di tempat semula. Setelah jumlah mereka sudah lengkap, barulah beliau menyampaikan kisah dan perjalanan yang akan ditempuh lagi. Awal mula miqot dilakukan dari Madinah menuju Masjid Bir Ali.Konon Bir Ali dibangun pada masa Rasulallah SAW. Dulunya di sekitar situ terdapat pohon berbentuk Akasia yang merupakan tempat bernaungnya Rasulallah SAW, ketika menjalani umrah, maka dibangunlah masjid Bir Ali yang letaknya tak jauh dari pohon tersebut. Dikatakan Bir Ali, sebab di situlah Sayidina Ali as membangun sumur untuk memenuhi kepentingan jamaah umrah dan haji.  Masjid tersebut adalah peninggalan sayyidina Ali. Rombongan menyimak dengan seksama apa yang disampaikan Syafiq. Setelah melakukan solat dua rokaat, mereka semua berdoa dan mengaji ada juga yang sebatas berdiam diri.

Hujan menyambut mereka yang telah mengenakan pakaian berwarna putih. Tak ada tempat berteduh, di dalam Masjid sudah penuh. Mereka kehujanan, bahkan dengan sengaja suami Sarah, berdiri di bawah langit langsung tanpa atap, pakaiannya basah. Basah berkah bagi mereka yang mengharap rahmat, sementara Sukma bukan tak berkeinginan rahmat itu, sekalipun ia lebih mencari tempat dimana kepalanya tak terkena langsung air hujan. Dalam rintik air yang semakin membesar Syafiq membaca doa, sementara yang lain, mengamainkannya.

“Aku datang memenuhi panggilan-Mu yaa Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, kemuliaan dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Duhai Tuhanku Engkaulah yang menyelamatkan kami dan kepada-Mu kami semua bergantung. Kami tinggalkan semuanya untuk bertamu ke rumah-Mu. Duhai Tuhan, aku bergantung semata-mata hanya kepada-Mu. Kaulah yang menjadikan kami ada dan tiada, berikan rahmat-Mu untuk kami semua. Titip orang-orang yang kami cinta, sebab mereka semua bukanlah milik siapa-siapa selain milik-Mu semata.”

Rombongan pun melanjutkan kembali perjalanan. Disepanjang jalan kalimat talbiyah terus dikumandangkan, artinya:

“Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, aku penuhi panggilanmu ya Allah, sesungguhnya nikmat dan kerajaan hanyalah kepunyaan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”

Mata mereka kembali basah. Sepanjang jalan hatinya bergetar, hingga sampailah semuanya di kota Makkah.

Sesampainya, mereka semua langsung melaksanakan solat di Masjidil Haram dengan berjalan kaki. Hotel yang dihuni berjarak dekat sekali. Mereka melaksanakan amalan seperti: berdoa, membaca quran dan memandang Kakbah juga melihat di sekitarnya. Diantara mereka ada yang meluruskan kaki juga mengistirahatkan diri. Sebagian lelaki mengambilkan air zam-zam untuk rombongan perempuan. Mereka bermalam di hotel Azka as-safa. Menurut Syafiq hotel itu sejak lama sudah ada,  renovasi membuatnya nampak baru, memang lebih bagus ketimbang hotel al-eiman taibah yang terlalu krodit, liftnya yang sering kali eror, terkadang saat Sukma mau turun ia malah naik, saat mau naik, malah balik turun.

Sukma kembali ke lantai semula. Hotel Azka dipenuhi warga Indonesia,sebagaimana hotel el-aiman. Banyak di dalamnya yang memahami dan mampu bercakap dengan bahasa Indonesia, serasa Sukma berada dikota Jakarta.

Malam itu rombongan melakukan tawaf dan syai, berputar mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali, tentunya banyak hikma dan makna dalam melaksanakan ibadah itu. Saat melihat Kakbah kesan pertama Sukma biasa saja.

Perlahan-lahan Sukma melangkah sambil terus menatap bangunan bertirai hitam bersegi empat itu.

“Benarkah ini rumah Tuhanku, benarkah aku diundang oleh-Nya. Tuhan bukan aku tak percaya, tapi ini sangat biasa, bahkan sangat sederhana, apa istimewanya tempat ini?” benak Sukma.

“Maafkan Tuhan! jika aku lancang, bukan bermaksud meremehkan, sungguh bukan! tapi itulah rasaku yang apa adanya, tolong maafkan aku.”

Syafiq mengarahkan dan memimpin rombongannya. Mereka pun mulai melangkah mengitari bangunan persegi empat itu, mengucap labaik Allahumma labaik, labaika la sarikala labaik. Sukma dan yang lainnya mengikuti doa yang diucapkan Syafiq. Mereka mengucap sambil terus menyimak suara mereka yang jumlahnya berlimpah. Mereka semua mengarahkan pandangan, matanya tertuju hanya pada bangunan persegi empat dengan tirai hitam itu.

“Bismillah, dengan nama-Mu duhai Tuhanku, maafkan sebab pemahamanku yang lemah tentang-Mu. Sungguh, aku tak tahu bagaimana caraku untuk mengetuk pintu rumah-Mu. Kemana Tuhanku, kenapa Kau tak menyambutku, aku datang memenuhi panggilan-Mu?” Sukma terus melangkah dengan mengucap talbia, sementara pikirannya terus mencari Tuhan di rumah yang banyak ditandangi semua.

“Tuhan, jika kau memanggilku maka sambutlah aku. Lihatlah aku telah mengetuk pintu-Mu, namun aku tak melihat Kau ada. Apakah Kau tak iba?”

Tiba-tiba pandangan Sukma teralihkan pada mereka yang ada di depan dan di sampingnya, mereka semua yang berkerumun, tak berhenti memuja dan memuji. Sukma melihat semuanya nampak seperti mayat yang cemas dan mengharap kasih.

“Wahai Tuhan, aku iba melihat air mata mereka yang bertamu. Apakah Kau tak iba melihatku,” seketika Sukma melihat,ternyata rumah-Nya ada pada diri mereka semua.

“Entah pada siapa aku berduka dan turut berbela sungkawa. Innalilah.Wajah Sukma pun mengalirkan air mata.

“Salamat atasmu duhai penyandang kesadaran, sungguh aku bersaksi bahwa, la Illa ha illa Anta. Tidak ada sesuatu selain Engkau dan Engkaulah sebab segala keberadaan, aku bersaksi juga bahwa, kekasih-Mu Muhammad SAW bukan hanya manusia biasa, melainkan manefestasi Cinta nyata.”

Sore itu Sukma merasa gunda. Ia menggigil seharian, duduk sesengguk, membuang jenuh yang dirasa. Pengertian mulai Sukma terima, gunda pun mengubah lega.

Setelah seminggu tak memegang hp, Sukma ingin melihat kabar Musa, ia mengirim pesan yang isinya:

“Aku bicara pada indra untuk berdamai dengan yang aku rasa, sebab kita telah tahu bahwa rasa itu sebatas cangkul untuk diri belajar menggali, bawaan yang membebani tak akan menghambat galian, percayalah aku sebatas menjalani itu!”

“Sayang cara lain melepas yang membebani adalah tak melekati, sebab kelekatan akan menambah timbunan, maka biarkan kudekap dirimu ke dalam jiwaku saja, sampai kau mengerti nantinya.”

“Ibarat bulan yang menjalankan tugas, selalu bertukar posisi dengan sang matahari. Siang dan malam adalah tugas keduanya, mustahil hidup bulan selalu sendiri, jika bulan tanpa matahari pastilah bulan juga akan mati, hanya saja mungkinkah bulan akan bersabar sebab hidup dalam keterpisahan?” Sukma membalas pesan Musa.

“Itulah tugas hamba yang menghamba, Suk.” Pesanpun terhenti.

Jika Makkah adalah raga, maka batinnya adalah Kakbah

Jika Madinah adalah sang darah, maka Raudah adalah kecantikan-Nya

Sementara Jakarta adalah pikiran yang riuh dan sepih terus berganti

Cinta telah temukan cinta

Kematian memutuskan keinginan

Aku ibarat bocah dua tahun yang bermain pisau.  Lihatlah caraku memegang! ini satu bukti cinta. Maka biarkan cinta kembali kepada cinta.

Sukma mulai menahan diri setelah berpikir lebih mendalam lagi. Sementara Musa merasa senang sebab dirinyalah yang menjadikan Sukma mengakhiri semua keinginan. Jika keinginan terus diikuti tak akan pernah ada ujungnya. Keputusan Sukma untuk mengakhiri keinginan, tidak lain merupakan kehidupan awal cinta yang sebenarnya.

“Duhai Tuanku aku yang bertamu di rumah-Mu, lihatlah telah kukosongkan cangkir dan telah kutuang huruf-huruf ke dala. buku. Mendung yang kupikir akan hujan ataukah bintang akan benderang, sungguh aku tak kuasa menerkah.”

Atas Nama CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang