Story by: im_shin0
Song inspirasi: Christmas tree by V BTS
Word: 2835=====================================================
Bruk!
“Tolong bawakan tandunya!” titah Gara saat seorang gadis jatuh pingsan di barisan upacara.
Kana menganguk paham atas perintah dari Gara dan segera berlari kearah sebuah tandu yang berada tak jauh darinya. Ketika itu, Darrel dan Tiara menyusul Gara untuk membantu membawa siswi yang pingsan ke UKS.
Setelah berhasil memberikan pertolongan pertama pada siswi itu, Darrel dan Tiara pergi meninggalkan Kana dan Gara di ruang UKS, hanya berduaan.
Sejenak Kana melirik wajah lelah di sampingnya, bulir keringat mengalir di pelipis Gara. Kana menatap selembar tisu dalam genggamannya. Pada momen seperti ini, pasti akan manis jika Kana bisa membantu Gara untuk menyeka keringat itu.
“Kau tidak mau kembali ke lapangan?” tanya Gara pada Kana yang tersipu seraya menatapi selembar tisu.
“Hah? Oh, a-aku … tidak, aku disini saja. Khawatir jika siswi itu memerlukan sesuatu, aku akan berjaga di sini saja.”
“Baiklah, lagi pula upcara hampir selesai. Kau pasti lelah, wajahmu merah,” ejek Gara.
Sial, apa Gara tidak tau kalau wajah merah Kana ini disebabkan oleh senyumnya yang sangat manis?
“Untuk apa tisu itu?” Gara melirik tisu yang ada di tangan Kana, jika menunggu lebih lama, mungkin tisu itu akan hancur karena Kana terus meremasnya.
“I-ini … menyeka keringat, ini untuk keringat.” Kana menyodorkan tisu yang sedari tadi ia pegang, besar harapan Kana agar Gara bersedia untuk menerima itu.
“Oh, sini!”
Kana membeku. Iya, Gara memang mengambil tisu itu, tapi ini melebihi ekspetasi sebab Gara justru menyeka keringat yang ada di dahi Kana, dan bukan menyeka keringatnya sendiri.
“Kenapa kau gugup? Hahaha, apa kau yang akan pingsan sekarang?” gurau Gara seraya merangkul pundak Kana.
Apa maksud dari pertanyaan Gara? Sejenak Kana mengerjapkan mata, tak ada yang salah dengan pertanyaan yang Gara ajukan, sebab yang tau alasan dari debaran jantung Kana hanyalah dirinya sendiri, sebab Gara tak memiliki pengetahuan tentang rasa yang Kana punya untuknya.
“Upacaranya selesai, kita tidak punya tugas lagi setelah ini. Ayo, lepaskan rompimu!” Gara melepaskan rangkulannya pada pudak Kana dan beranjak dari duduknya. Tidak, Gara tidak pergi melainkan membantu Kana melepaskan rompinya. Keduanya memang manis, saling memahami dalam hubungan “pertemanan” mereka yang solid.
Kana telah terkesima pada sepasang manik hitam si ketua lapangan ekstrakurikuler kepalangmerahan itu sejak saat pertama mereka beradu tatap. Ini tak jauh berbeda dengan kisah cinta remaja pada umumnya, dan Kana terlanjur menjadikan Gara sebagai tokoh utama dalam cerita cintanya yang entah akan berakhir bahagia atau kecewa.
Gara sangat murah senyum, baik hati dan juga mudah bergaul. Bahkan, Gara tak pernah tak berlaku baik pada Kana. Namun, itulah yang membuat Kana tak pernah berani menyatakan apa yang ia rasakan.
Gara tak se-famous tokoh utama pada umumnya, ia tak punya siapapun yang mengejar-ngejar dirinya, tak pernah Kana dapati juga ada gadis yang memperebutkannya. Hanya saja, Gara memiliki seseorang yang selalu ia tunggu di depan gerbang setiap pulang sekolah.
Gadis cantik yang selalu Gara tunggu itu bernama Alula, tanpa mencari pengakuan pun, Kana yakin bahwa dirinya tak lebih baik dari gadis yang merupakan kakak kelas mereka itu.
“Ingin pergi ke kelas sekarang?” tawar Gara. Kana mengangguk sebagai bentuk persetujuan, lagipula tak mungkin ia terus bertahan di UKS sementara jam pelajaran hampir di mulai.
Sama seperti hari-hari sebelumnya saat Kana melihat sosok Gara berdiri di depan gerbang sekolah, tidak lain dan tidak bukan, Gara pasti tengah menunggu kedatangan Alula.
“Manis sekali,” pikir Kana. Seandainya yang diperlakukan seperti itu adalah dirinya, kana tak akan membuat Gara menunggu lama.
Kana mendongak menatap kearah langit yang menjatuhkan rintikan air. Kana membuka telapak tangannya, membiarkan bulir-bulir bening itu membasahi tangannya secara perlahan.
“Kana!” teriak Gara yang telah meneduh di pos penjaga sekolah.
Kana menoleh ke arah sumber suara, dengan mata yang memicing ia mencoba untuk menatap wajah Gara.
“Kenapa diam disana? Sini!”
Kana menoleh ke sekeliling dan menyadari bahwa siswa-siswi lain tengah menatapnya dengan tatapan yang beragam. “Ck! Kana bodoh!” umpat Kana pada dirinya sendiri. Di saat seluruh murid sibuk mencari tempat berteduh, Kana justru berdiri dengan tegar di tengah halaman. Tanpa rasa gentar, ia tetap kokoh seolah menantang guyuran hujan.
DUARR!!!
Kana terperanjat saat petir tiba-tiba menyambar. Tanpa basa-basi, diri yang terlanjur ketar-ketir itu akhirnya memilih untuk berteduh bersama siswa lain.
“Hahaha, hujan itu tidak terduga, kan?” ujar Gara saat Kana tiba di sampingnya.
Kana diam, detak jantungnya belum cukup normal untuk dapat menelaah apa yang Gara ucapkan.
“Dingin?” Gara melepaskan jaket yang ia kenakan dan memasangkan benda itu ke tubuh Kana. Dibandingkan dengan kilatan petir, sikap Gara jauh lebih kuat memporak-porandakan detak jantung Kana.
“Hujan itu sulit ditebak, Kana. Meskipun kau suka berada di bawahnya, dan dia menikmati saat mengguyurmu, tetap mustahil hujan tak menghadirkan petir.”
Kana masih menatap Gara tak mengerti, “apa kau mengejekku?” tanya Kana lugu.
Gara tertawa pelan. “Tidak, aku hanya mengatakan kalau hujan tanpa petir itu tidak mungkin, dan kau hebat.”
“Kenapa?” tanya Kana seraya menatap Gara.
“Karena kau suka hujan tapi kau takut pada petir, hahaha.”
“Sama halnya dengan aku menyukaimu tapi aku takut untuk mengatakan?” batin Kana. Ia mengalihkan pandangannya saat Gara menatap balik wajahnya.
“Gara!” hampir seluruh siswa termasuk Kana menoleh ke arah Alula saat gadis itu menyerukan nama Gara.
“Hujannya sudah lebih reda, ayo pulang sekarang!” ajaknya dan langsung di balas dengan anggukan semangat oleh Gara sebagai bentuk persetujuan.
Saat itu, Gara mengambil payung yang tersandar pada kursi. Dengan matanya Kana dapat melihat dengan jelas tentang seberapa tulus raut kebahagiaan di wajah orang yang ia suka itu, setiap kali bersama Alula, Gara tak pernah tak terlihat bahagia.
Kana tertuduk menatap sepatunya yang terkena percikan air, wajah manis itu mengulum senyum. Kana tau ia cukup tidak tau diri utuk membayangkan ini, tapi jika suatu saat Kana memiliki kesempatan untuk bertemu Gara di bawah hujan lagi lain waktu, Kana akan menyingkirkan payung yang Gara sodorkan, sebagai gantinya Kana akan menggenggam erat tangan Gara dan mereka akan menikmati setiap detik penuh kebahagiaan itu.
***
Sekolah masih ramai dan akan selalu ramai selama hari libur belum tiba, entah itu ricuh oleh hiruk-pikuk siswa atau totalitas tenaga pengajar dalam menertibkan murid-muridnya.
“Pagi, Kana.”
“Pagi,” balas Kana seadanya masih dengan senyum yang sulit di tahan.
“Mungkin Bu Hera tidak akan masuk kelas hari ini,” jelas Gara.
“Iya? Berarti jam kosong?”
Gara mengangguk. “Tapi kita akan mendapatkan tugas.”
“Kau tau darimana? Ketua kelas bahkan belum mengatakan apa-apa,” gurau Kana yang mulai mendudukkan bokongnya di kursi.
“Teman-teman! Tugas kelompok, boleh memilih kelompok bebas! Ajukan diri! Sebut nama pasangan kelompok kalian! Maksimal dua orang!” teriak Rio si ketua kelas yang baru memasuki ruangan.
Kana terdiam sejenak, “tugas kelompok?”
“Ayo!” ujar Gara pada Kana, entah ajakan untuk apa.
“Gara dan Kana!” Kana tak berkutik saat Gara secara tiba-tiba menggenggam lengannya dan mengangkat tangan mereka ke udara, satu-satunya yang bisa Kana lakukan hanyalah mengatur detak jantung dan menstabilkan emosi agar wajahnya tak tersipu.
Waktu istirahat dimulai, sebagian besar penghuni kelas sudah mengungsi ke kantin sekolah. Sementara Kana? Ia memilih untuk tetap berada di bangkunya seraya menatap tangannya yang di genggam Gara beberapa saat lalu.
“Kenapa diam di kelas?” Kana buru-buru menurunkan tangannya dari meja saat Gara menghampiri dirinya.
“T-tidak, hanya malas.”
“Kana, apa kau sibuk hari ini?” tanya Gara lagi.
Kana diam dan hanya menatap Gara seolah bertanya “kenapa?”.
“Aku ingin mengajakmu pergi ke cafe.”
“A-aku?”
“Iya, untuk mengerjakan tugas kelompok kita.”
“Oh … i-iya. Hanya kita berdua?” tanya Kana ragu. Bukan, Kana tidak ragu, ia hanya memastikan.
“Iya, Kana. Kita berarti kau dan aku, hanya kita berdua,” ucap Gara dengan tawa renyahnya yang khas.
“Aku hanya memastikan, mungkin Alula akan ikut bersamamu? Kalian tidak terpisahkan,” gurau Kana cukup lirih di akhir kalimat.
Setelah perkataan Kana, raut wajah Gara berubah hampir 90 derajat. “Kami hanya bertemu saat jam pulang sekolah. Untuk setiap waktu, bukan aku orang yang Alula perlukan.”
Kana berpikir sejenak, apa Alula mengkhianati Gara? “Apa kau patah hati?”
“Hahaha, tidak. Aku hanya memberitahu, mungkin kau merasa tidak nyaman.”
Sejak pengakuan yang Gara lontarkan, Kana merasa bahwa ia memiliki sedikit peluang untuk menyusup kedalam hati Gara. Namun, tetap saja Kana tak punya cukup keberanian.
Ketika bel pulang sekolah dibunyikan dan semua siswa berhamburan meninggalkan kelas, Gara masih santai mengemasi buku-bukunya. Itu menjadi tanda tanya bagi Kana, apa Gara tidak akan berlari ke gerbang sekolah dan menunggu Alula?
“Kana, kau sudah selesai?” tanya Gara pada Kana yang tak kunjung selesai dalam mengemasi barangnya.
“Sedikit lagi.”
“Baiklah, aku akan menunggu.”
Kana terdiam sejenak, “menunggu untuk apa?”
“Pulang bersama, ayo pergi ke gerbang bersama!”
“Oh … i-iya, ayo berbarengan!” Kana tersenym, mustahil jika Kana mampu menolak.
Di koridor yang cukup sepi itu, Kana dan Gara berjalan berdampingan dengan jarak yang cukup dekat. Sesekali terselip tawa renyah di tengah bincangan mereka seputar keonyolan yang terjadi di sekeliling mereka sepanjang hari.
Hingga keduanya hampir sampai di persimpangan koridor, langkah Gara tiba-tiba terhenti. Kana menatap lurus kedepan, tempat objek pandang Gara tertuju. Diujung sana, Alula baru saja melewati mereka bersama dengan Darius si kapten basket sekolah mereka.
Kana kemudian menatap wajah Gara yang diselimuti raut kekecewaan. “Kau tidak pulang bersama Alula? Dia baru saja melewati kita.”
“Tidak, lagi pula aku sedang bersama denganmu.”
“Kalian bertengkar?” tanya Kana penuh kehati-hatian.
Gara tersenyum kecut, “kami tidak bertengkar.”
“Hei, jangan dipikirkan! Hahaha ….” Gara mengusap pucuk kepala Kana. “Kita hanya remaja, kita perlu banyak relasi.”
“Kau tidak kesal saat Alula pergi dengan orang lain?” tanya Kana. “Aku pikir kalian adalah pasangan.”
Gara tertawa renyah, lagi. “Aku dan Alula hanya teman, kami tidak bisa menjadi kekasih.”
“Kenapa?”
“Karena aku bodoh, aku tidak akan berani mengatakannya sekalipu aku menyukai seseorang. Hahaha ….” Kana tak menanggapi ucapan Gara, sebab baginya tawa itu terlau lepas untuk ukuran orang yang sedang patah hati.
“Berarti kau kesal?”
Gara menggeleng. “Kecuali jika dia yang aku suka menjadi milik orang lain sungguhan, tapi aku tidak akan biarkan itu terjadi.”
“Tapi kau membiarkan Alula pergi dengan Darius.”
Gara tak menjawab, pria itu hanya tersenyum dan merangkul pudak Kana untuk melanjutkan langkah mereka.
***
Di sebuah cafe setelah janji temu yang telah mereka sepakati, Kana berdiri di dekat meja tempat Gara berada. Kana pikir mereka hanya akan mengerjakan tugas, jadi Kana hanya memilih baju dan celana oversize sebagai outfit yang nyaman. Sementara Gara? Pria tampan itu terlihat sangat luar biasa dengan celana casual dan kemeja.
“Aku tidak tau kalau kita harus memakai pakaian yang … maaf,” ujar Kana yang memegang totebag bawaannya dengan sangat erat, ini memalukan, apa dia terlihat tidak menghargai?
“Tidak apa-apa, selama kau merasa nyaman,” ujar Gara yang hampir tak berkedip saat menatap Kana.
Sesaat setelah itu, pelayan cafe datang membawa nampan yang di atasnya terdapat minuman dengan rasa matcha juga cappuccino.
“Ini … milikmu,” ujar Gara seraya menyodorkan minuman dengan rasa matcha.
“Kau memesannya untukku?” tanya Kana.
“Iya,” sahut Gara santai. Bagaimana Gara tau rasa favorit Kana?
Kana mengeluarkan bukunya dan selembar kertas berisi tugas yang harus mereka selesaikan. Sekarang mereka siap mengarap tugas itu sampai selesai.
Kana yang baru menenggak minumannya hampir tersedak saat melihat Alula di meja yang tak jauh dari mereka, lagi-lagi gadis itu datang bersama Darius. Serius, apa mereka punya hubungan yang spesial? Bagaimana perasaan Gara jika dia melihat itu?
“Kau lihat apa?” tanya Gara pada Kana yang menurutnya terlihat aneh.
“Gara!” sergah Kana saat Gara akan menoleh kebelakang. “Aku tidak melihat apa-apa, ayo mulai mengerjakan!” ajak Kana. Sebisanya Kana tak akan biarkan Gara terluka karena melihat Alula bersama orang lain.
“Baiklah, kemarikan soalnya! Biar aku coba untuk memahaminya.”
Dengan senyum lebar yang dipaksakan Kana menyerahkan kertas tugas mereka dengan semangat. “Gara, tolong cari jawabannya! Aku akan catat.”
“Kenapa kau tertawa?” tanya Kana kemudian saat Gara tertunduk mengulum senyum.
“Tidak, kau sangat menggemaskan. Lucu sekali,” ucap Gara seraya mencubit pipi Kana.
Kana membeku di tempatnya, mana bisa seperti ini? Cukup saja Gara tertawa dengan sangat renyah, seharusnya Gara tak perlu mencubit pipi Kana dan mengatakan bahwa Kana menggemaskan. Kana merasa bahwa wajahnya memanas sekarang, siapa yang tidak salah tingkah jika di perlakuakan seperti ini?
“Kenapa kau jadi diam? Bateraimu habis?” ejak Gara yang masih tertawa renyah.
“Gara?” sapa suara yang tidak asing. Susah payah Kana menjaga agar Gara tak melihat Alula bersama Darius, tapi gadis itu justru menghampir meja mereka dan menyapa Gara.
Gara tersenyum. “Alula? Sedang apa disini?” senyum Gara memudar setelah ia melihat tangan Alula yang digenggam erat oleh Darius.
“Aku menemani Darius membeli minuman untuk anak-anak basket.”
“Oh,” sahut Gara seadanya.
“Kalau begitu kami duluan, semangat!” ujar Alula sebelum berlalu pergi bersama Darius.
Kana berdehem kecil setelah melihat raut wajah Gara, perlahan Kana memajukan kursinya agar dapat berada dalam posisi yang lebih dekat dengan teman sekelompok sekaligus orang yang ia suka itu. “Gara, bersabarlah!” ujar Kana seolah prihatin.
Gara yang semula tertuduk menatap kertas kembali meluruskan pandangan untuk menatap Kana. “Sabar untuk apa?”
Kana menghela nafas pelan, ia tau, pasti sulit bagi Gara untuk menerima kenyataan, ini tak jauh berbeda dengan Kana yang sering pesimis setelah melihat Gara bersama Alula.
“Hubungan Alula dan Darius mungkin hanya sebatas teman ….” jelas Kana dengan simpati penuh. “Memang menyakitkan ketika melihat seseorang yang kita sukai pergi bersama orang lain, tapi kau tidak boleh pesimis!”
Gara mengerutkan keningnya, semakin ia meresapi ucapan Kana, semakin Gara ingin tertawa. “Kenapa kau mengatakan itu?”
Kana celingukan, apa yang salah dengan kalimatnya? Apa itu menyinggung?
“Alula dan Darius adalah pasangan, mereka jadian tiga hari yang lalu,” jelas Gara.
Mata kana membola. “J-jadian? Maaf, aku tidak tau. Aku tidak bermaksud menyinggung,” sesal Kana seraya menutup mulutnya yang lancang.
“Tidak maslah, mereka sudah lama saling suka. Tapi kenapa kau memintaku bersabar?”
“Karena kau menyukai Alula, pasti sulit untukmu saat melihat mereka berpegangan tangan.”
Gara tertawa geli. “Kau pikir aku suka pada Alula?”
Setelah mendengar pertanyaan dari Gara, tak ada yang bisa Kana lakukan selain mengangguk.
“Aku tidak menyukai Alula lebih dari teman, kau salah paham. Jangan bilang kau melarangku menoleh hanya karena kau khawatir bahwa aku akan sakit hati setelah melihat Alula.”
“Memangnya tidak?” tanya Kana dengan wajah polosnya.
“Tidak,” sahut Gara seraya menggeleng.
“Tapi, kau bilang kau tidak berani mengungkapkan perasaanmu.”
“Iya, yang itu memang benar, tapi bukan Alula orangnya.”
Kana menggigit bibir dan berpikir keras, selama ini ia salah prasangka? Lalu siapa orang itu?
“Kau orangnya,” ucap Gara pelan.
Kana yang semula menatap kosong ke arah lantai perlahan mulai melirik ke arah Gara. “Apa aku salah dengar?” batin Kana.
“Aku menyukaimu, Kana.”
Kana tercengan. “Apa ini? Kenapa aku bermimpi seperti ini?” batin Kana lagi.
Gara menatap Kana dengan tatapan hangat yang tulus. “Perasaan yang tidak berani aku ugkapkan, seseorang yang aku suka, kau orangnya.”
“Maaf jika ini membuatmu terkejut atau membuatmu merasa tidak nyaman, tapi, maukah kau berhenti untuk menjadi temanku? Jadilah kekasihku!”
“A-aku?” tanya Kana memastikan.
“Iya, aku menyuakaimu.”
Pada momen ini, saat Gara melihat Kana layaknya pertemuan pertama mereka ketika hujan turun. Sosok indah Kana yang bersinar terang dimata Gara menghangatkan hari-harinya, hari-hari saat bersama Kana, Gara ingin membuat itu menjadi spesial.
“Aku meyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu menadahkan tangan di bawah hujan. Jadi, kau boleh pegang tanganku jika kau menerimaku. Jika tidak ….”
Perlahan Kana melirik ke arah tangan Gara yang sedang memegang pulpen, jantung Kana berdebar kencang, Kana sampai merasa bahwa jantungnya mungkin akan melompat keluar. Dengan gerakan terbata Kana mulai mengacungkan jari telunjuknya untuk menyentuh punggung tangan Gara. “Aku menyukaimu juga, sebenarnya.”
Gara menatap tangannya yang disentuh oleh Kana. “Aku diterima?”
Kana mengulum senyum, dengan wajah tersipu ia mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan Gara.
Dengan senyum lebar yang menghiasi raut bangga pada wajahnya, Gara menggenggam erat tangan Kana.
“Jadi sekarang kau adalah pacarku?” tanya Kana malu-malu.
“Iya, Kana adalah pacar Gara sekarang!” ujar Gara girang.
Hari ini, Gara dan Kana berhasil memberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan pada satu sama lain.
Bertepatan ketika keduanya akan pulang, hujan tiba-tiba turun tidak terlalu deras. Dulu, Gara hanya bisa merangkul pudak Kana sebagai seorang teman, tapi mulai sekarang Gara akan menggenggam tangan Kana sebagai seorang kekasih.
Mulai dari sekarang dan seterusnya, Gara akan memberitahu kepada Kana tentang jutaan hal kecil yang Kana tidak pernah tau terkait perasaan yang Gara punya untuknya. Pada setiap waktu itu, Gara akan selau mengambil kesempatan untuk menjelaskan kepada Kana tentang bagaimana ia terkesima pada mata Kana yang indah.
“Hujan.” Gara menaruh telapak tangannya di atas kepala Kana, melindungi kekasihnya dari dari percikan air hujan.
“Kau suka hujan, kan?” tanya Gara.
Kana mengangguk. “Iya, aku masih suka hujan. Tapi aku lebih menyukaimu.”
Gara tersenyum lebar, menggenggam hangat tangan putih yang lembut itu dan menarik Kana untuk menerjang hujan bersama. “Mulai saat ini, aku hanya akan berada di tempat dimana kau berada.”
Kana tertawa lepas saat mereka berlarian dibawah hujan. Mengakui perasaan yang dimiliki pada seseorang ternyata tidak terlalu buruk. Meskipun keberanian itu datang terlambat, tapi itu sama sekali tak mengurangi kebahagiaan dari kedua remaja itu.
Ini adalah kisah sederhana yang menarik. Terkadang seseorang tidak memahami perasannya, tetapi ketika perasaan itu selalu membawamu kearah orang yang kau suka, maka itu berarti kau harus mulai memberanikan diri untuk membuat pernyataan.
Bagaikan salju pertama di pertengahan musim panas, hal ajaib yang menakjubkan itu layak disebut cinta, dan begitulah Gara menyebut Kana.End
KAMU SEDANG MEMBACA
Songfict event (Peserta)
FanfictionCemara is back! Dengan event baru, dan tentunya beda. Event Songfict, berupa cerita one shoot yg terinspirasi dari beberapa lagu. Dan ini lagu-lagunya : Ziva magnolya - Peri Cinta Agnes mo - Sebuah rasa love the way you lie Rihanna ft Eminem let...