Di pagi yang cerah, matahari menyapa dengan sinar hangatnya, burung kecil berkicauan dan terbang kesana kemari mengitari langit biru yang begitu cerah. Anak itu duduk bersimpuh sendiri di bawah naungan pohon mangga yang tertanam di teras rumahnya. Suasananya begitu sunyi, berbanding terbalik dengan isi kepalanya yang begitu ramai.
Helaan nafas gusar terdengar jelas, pagi yang tenang sama sekali tak memberi ekstensi nyaman baginya.
"padahal baru semalem gue have fun sama mereka"
Dunia terasa begitu enggan untuk memberikan ruang nyaman untuknya.
"Ibu, Hilmi kangen" kedua manik matanya terlihat mulai mengeluarkan bulir bening. Entah sampai kapan dirinya terus merasakan rindu yang tak berujung.
Bayang-bayang kenangan tentang masa lalunya, berputar jelas di benaknya. Tak kuasa menahan tangisnya, lantas dirinya memeluk kedua kakinya, menenggelamkan wajahnya di antara kedua kaki dan tangannya. Bahunya mulai bergetar, isakan tangisnya mulai terdengar.
Tak jauh dari tempat itu, pria dengan kaos lusuhnya, menatap sang anak dengan ibah, seperti tau hal apa yang sudah terjadi dengan anak semata wayangnya itu, berdiri tepat di daun pantu, menyaksikan punggung anaknya yang bergetar hebat dengan isakan tangis yang menyakitkan.
"Bapak juga sama rindunya dengan ibu kamu, Hil" Suaranya begitu pelan, bahkan kicauan burung pun terdengar lebih keras dari suara Bapak.
Sakit bukan main, hatinya terasa seperti di hujam belati, saat melihat anaknya menangis tersedu-sedu ketika mengingat mendiang sang ibu.
"Hilmi" Suara berat itu seketika menghentikan tangis Hilmi, dengan segera ia mengangkat kepalanya, tak menoleh ke arah suara yang memanggilnya, Hilmi lebih dulu menyeka air matinya, mengusap pipinya yang basah.
Bapak melangkah mendekat ke arah Hilmi, lalu duduk bersimpuh tepat di samping sang anak.
"eh, Bapak" Senyum kecil yang terlihat seperti bukan senyuman pada biasanya, terukir jelas di raut wajah sang anak.
"Rindu Ibu yah??"
Hilmi di buat bungkam atas pertanyaan Bapak, bingung harus menjawab bagaimana, takut salah lalu membuat Bapak juga ikut bersedih.
"gapapa, Hil. Nangis aja, Bapak gak ngelarang kamu buat nangis"
Dadanya terasa begitu sesak saat mendengar perkataan sang Bapak. Bagaimana bisa Hilmi menangis begitu saja di hadapan Bapak, bukan malu, hanya saja, Hilmi tak mau melihat bapak juga ikut bersedih.
"Kan Hilmi ini jagoan Bapak, mana bisa seorang jagoan nangis" ujarnya, padahal sudah terlihat jelas wajahnya begitu sembab.
"Gak ada yang bilang jagoan itu gak boleh nangis" Diam sejenak, Hilmi tak tau harus menjawab seperti apa, lidahnya terasa begitu keluh.
"Hilmi, jangan selalu sembunyiin kesedihan kamu, nak. Bukan tidak suka, hanya saja bapak merasa gagal menjadi rumah buat anak bapak sendiri, sedihmu juga sedihnya bapak, senangmu juga senangnya bapak, duniamu juga dunianya bapak, jangan pernah nampung masalah sendiri. Bapak tau, serindu apa kamu dengan ibu mu itu, rindumu juga sama besarnya dengan rindu bapak. Bertahun-tahun bapak selalu liat kamu nangis sendiri di kamar, setiap malam, bahkan hari ini pun kamu nangis di belakang bapak"
Hilmi menghela nafasnya, rasanya begitu sesak saat Bapak berujar demikian
"Maafin Hilmi, Pak. Hilmi cuma gak mau bapak ikut sedih gara-gara hilmi"
Bapak menghela nafasnya pelan, senyum tipis menghiasi wajah tenangnya, tangannya terbuka lebar, Hilmi yang bingung lantas terdiam menatap Bapak penuh dengan tanda tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 HARI 7 MIMPI (On going/slow update)
Fanfictiontentang tujuh remaja, yang ditakdirkan untuk berjuang sampai kegaris finish secara bersamaan, segala rintangan mereka tempuh, keluh kesah mereka lewati. Canda tawa mereka lakukan sebagai pemanis untuk menghadapi peliknya hidup - Tujuh Mimpi. 16 Apri...