Suara roda brankar terdengar jelas di lorong rumah sakit. Beriringan dengan suara tapak kaki yang terdengar seperti tergesah-gesah.
Perasaan keduanya semakin kacau, rasa takut dan cemas semakin menyelimuti keduanya. Tangis salah satunya pun kian lepas.
"Lo gak bangun, gue marah, Jem" Suaranya bergetar, dan terdengar begitu lirih.
Setibanya diruang yang di tuju, tepat saat itu juga, suara roda brankar dan juga tapak kaki yang saling bersahutan, kini lenyap secara perlahan.
"Anak saya gimana, dok?"
"Bapak tidak usah panik ya, saya usahakan semaksimal mungkin untuk kesembuhan, Jeremi"
Papa menghela nafasnya perlahan, mencoba untuk tenang. Sedangkan Jafan, anak itu nampak memaku, memandang penuh cemas ke arah Jemi yang terbaring lemas di balik kaca.
"Iya, Dok. Saya percaya"
"Doakan saja yang terbaik, saya urus Jeremi dulu" Dokter tersebut lantas masuk ke dalam ruang, lalu menangani Jemi secara telaten.
"Om, Jemi pasti sembuh kan?" Papa Sukma nampak menoleh ke arah Jafan, lantas ia tersenyum tipis kemudian mengangguk secara perlahan.
"Iya, Nak. Jemi pasti sembuh, dia anaknya kuat" Kalimat penenang ini mungkin ampuh untuk beberapa saat.
Om Sukma lantas menatap lekat ke arah Jafan yang kini terduduk lemas di kursi lorong rumah sakit. Anak itu tengah menunduk seperti sedang menyembunyikan tangisannya. Teringat bagaimana Jafan memaksa untuk ikut, Papa Sukma lantas menepuk bahu teman anaknya itu secara perlahan.
"Jangan khawatir ya, Nak? ini sudah kesekian kalinya Jemi seperti ini, tapi lihat? Jemi masih bertahan sampai detik ini, itu tandanya Jemi anaknya kuat, dan om yakin, setelah ini Jemi pasti sembuh. Doakan saja ya? do'akan semoga Jemi mendapatkan ginjal baru dan segera sembuh"
"Ambil ginjal saya aja om, saya gapapa. asal jemi sembuh"
Papa sukma lantas terkekeh pelan saat mendengar penuturan nyeleneh Jafan. teman Jemi yang satu ini benar benar peduli pada anaknya.
"Ya jangan lah. Kamu mau, nanti om di marahin sama Jemi? Jemi sembuh, kamu sakit, ya jangan"
"Saya juga marah om sama Jemi" Raut muka Jafan nampak kesal namun bercampur dengan matanya yang sejak tadi berkaca-kaca.
"Marah kenapa? Jemi isengin kamu?"
"bukan. saya marah, kenapa dia harus sembunyiin itu dari saya? Dia mau buat saya nyesel lagi ya om? dia mau ninggalin saya tiba-tiba kaya mendiang ibu saya?"
Papa Sukma terdiam saat mendengar cerita kilas dari teman anaknya "Kalo boleh tau, mendiang ibu kamu meninggal karena apa, Jafan?"
"Gagal ginjal akut om, ibu saya rahasiain sakitnya dari saya, dari abang saya sama dari ayah saya.. waktu itu umur saya masih 8 tahun, saya kurang mengerti soal itu. Ibu saya selalu memegang perutnya karena sakit, saya kira itu sakit perut biasa. saya cuma bisa kompres perut ibu saya pakek air hangat waktu itu om, mungkin ibu milih rahasiain sakitnya dari kita karena keadaan ekonomi. beberapa bulan kemudian, ibu saya meninggal tepat saat saya berumur hampir 9 tahun, saya mendengar penyebab ibu saya meninggal karena ibu saya sempat dibawah kerumah sakit beberapa jam sebelum ibu saya benar benar pergi. Saya cuma takut Jemi pergi ninggalin saya dengan cara yang sama seperti ibu saya, saya sayang sama Jemi om"
Bak paham akan perasaan jafan, Papa Sukma lantas menepuk pelan bahu anak itu, perlahan dan begitu lembut. Seperti sedang menyalurkan perasaan tenang. Jika boleh jujur, Papa Sukma juga sama khawatirnya dengan Jafan saat ini, namun sebisa mungkin ia harus mengontrol rasa khawatirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
7 HARI 7 MIMPI (On going/slow update)
Fanfictiontentang tujuh remaja, yang ditakdirkan untuk berjuang sampai kegaris finish secara bersamaan, segala rintangan mereka tempuh, keluh kesah mereka lewati. Canda tawa mereka lakukan sebagai pemanis untuk menghadapi peliknya hidup - Tujuh Mimpi. 16 Apri...