BEAST 6

76 13 0
                                    

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Elea lebih pendiam dari biasanya. Mungkin memikirkan apa yang dikatakan oleh Lamont. Pendapatnya perihal kasus yang sedang mereka tangani. Mengemukakan kemungkinan bahwa memang benar kalau korban-korban adalah predator seks. Secara tidak langsung menyetujui perkataan Frey.

Lamont bahkan berkata, “Mungkin aku memang sudah seperti saudara dengan Ward, tetapi tentu saja selalu ada setidaknya satu rahasia yang tidak akan pernah dibagikan. Lagi pula dia tetap laki-laki sehat dan normal, yang tidak memiliki pasangan karena terlampau sibuk dengan pekerjaan.”

Namun, itu yang menambah beban pikiran untuk Elea. Hati dan kepalanya sama-sama bertanya-tanya, berdiskusi tentang maksud dari perkataan rumit khas seorang penulis. Apakah itu artinya Lamont sebenarnya menyimpulkan bahwa Ward Waylon juga memiliki kemungkinan telah melakukan pemerkosaan? Atau sebenarnya laki-laki itu tahu sesuatu tapi tidak ingin mengungkapkannya, karena bagaimanapun Ward Waylon adalah sahabatnya.

Sebenarnya mereka—Elea, Lamont dan Frey—memiliki satu kesamaan pemikiran, yaitu perihal alasan korban dibunuh meski hal itu masih dugaan.

“Rafael, kita mampir ke toko buku dulu,” ucap Elea yang akhirnya mengeluarkan suara.

“Hah? Tumben Kapten ke toko buku pas lagi ada kasus,” celetuk Rafael spontan mendengar permintaan kaptennya.

No, ada buku yang perlu kubaca,” sahut Elea, ia meregangkan badannya yang lelah meski kegiatannya hari ini hanya pergi dari satu tempat ke tempat lain. “Aku tidak ingin ada anak kecil yang meremehkanku lagi.”

Mendengar perkataan Elea yang terdengar konyol membuat Rafael tertawa. “Siapa yang berani meremehkan Kapten?”

“Hanya anak kecil sok pintar saja.” Dengusan itu keluar saat Elea mengingat wajah dan tingkah mahasiswa yang ia temui pagi tadi. Menghela napas pelan dan memilih mengalihkan pandangannya keluar jendela.

Mentari yang sudah tenggelam sejak beberapa puluh menit yang lalu, membuat cahaya buatan manusia yang kini terlihat di sepanjang jalan. Ada yang berkelap kelip seperti bintang. Indah meski masih kalah indah dibanding dengan ciptaan Tuhan. Terkadang bahkan terlalu menyilaukan. Pemandangan yang sejujurnya terlalu familiar untuk umat modern. Namun, perempuan seperti Elea yang lebih sering sibuk dengan pekerjaannya, memperhatikan keindahan cahaya buatan manusia itu adalah sebuah kelangkaan.

Elea baru mengalihkan fokusnya dari lampu-lampu, saat mobil yang dikendarai Rafael berbelok dan memasuki tempat parkir toko buku langganannya. Keduanya melangkah masuk bersama-sama. Bertukar sapa pada penjaga toko yang sudah lama tidak mereka temui. Sebelum langsung bergerak menuju jajaran rak berisi novel bertema menegangkan.

“Bukannya Kapten mau membeli buku untuk kepentingan misi?” tanya Rafael bingung kenapa mereka justru pergi ke barisan novel. Apalagi saat perempuan itu membuatnya membawakan beberapa novel. Ia dapat melihat bahwa penulis novel-novel tersebut adalah orang yang baru mereka temui. “Kapten?”

“Kamu pernah membaca novelnya Tuan Lamont?” tanya Elea tanpa melihat anak buahnya, masih sibuk memilah novel-novel lainnya.

Laki-laki itu menggeleng, meski perempuan di hadapannya tidak melihat. Ia menunduk dan memandang novel dengan cover bertema dark yang menyeramkan. “Tidak, Kapten tahu sendiri, aku tidak suka membaca.”

“Bacalah satu dan kamu akan tahu kenapa aku membacanya.” Elea menegapkan tubuhnya usai mengambil satu buku di rak bawah. Lantas menunjukkannya pada Rafael dengan senyum lebar. “Tapi, lebih baik di mulai dari novel pertamanya, bahasa dan konfliknya tidak seberat novel-novel terbarunya.”

“I Lose You and I Found Me?”

Tawa renyah meluncur dari belah bibir Elea melihat ekspresi Rafael yang meragu akan novel di tangannya. Mengingatkannya pada respon dirinya yang dulu saat temannya merekomendasikan novel tersebut.

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang