Burning Slum 2

47 7 5
                                    

Begitu tiba di rumah sakit, Clovis dan Elea langsung disambut dengan seorang dokter forensik. Perempuan itu membawa mereka ke sisi kanan rumah sakit. Ruang forensik yang tepat berdampingan dengan ruang jenazah.

“Kami memeriksa beberapa jenazah, tapi meski mereka sama-sama terbakar, beberapa meninggal bukan karena hal itu---melainkan kehilangan banyak darah.” Dokter itu membuka pintu ruangan yang menyimpan lima jenazah korban kebakaran. Elea mengikuti Clovis yang mengambil sarung tangan dan mengenakannya. “Lalu, kami menemukan luka sayatan di lehernya. Beberapa waktu lalu kepolisian memberikan data kasus, bersamaan dengan pengumuman yang kalian lakukan. Sepertinya ada beberapa kemiripan.”

“Orang tua itu,” keluh Elea pelan.

Clovis mengecek mayat itu satu per satu. Membuka kulit leher yang terkoyak, tapi tidak cukup untuk membuat sayatannya lebih besar. Setelah beberapa saat, ia menegapkan tubuhnya dan menoleh pada Elea---menggeleng. “Anda bilang korban meninggal karena terbakar dan kehabisan darah. Lukanya memang mirip, tapi pembunuhnya adalah orang yang berbeda. Korban-korban kami meninggal karena venanya putus.”

“Jadi, ini pembunuhan tiruan?” ucap Elea, matanya bertatapan dengan si wakil. “Tapi, tidak ada bagian tubuh yang hilang?”

“Tidak ada,” jawab si dokter.

“Tapi, untuk pemeriksaan lebih lanjut, saya ingin dua mayat dikirim ke departemen jika bisa.” Permintaan Clovis membuat dahi Elea berkerut. Bukankah mereka masih memiliki empat mayat yang belum dipulangkan? Padahal seingat Elea ruang forensik mereka tidak sebesar itu.

“Baiklah, akan saya urus.” Si dokter menyetujui.

“Baiklah kalau begitu kami permisi. Terima kasih atas pemberitahuannya. Kabari kami lagi jika menemukan sesuatu yang baru,” ujar Elea. Ia bertukar salaman dengan si dokter, sementara Clovis hanya memberikan anggukan. Sebelum akhirnya berjalan meninggalkan ke rumah sakit.

“Biar aku yang menyetir!” Elea memblokir tangan Clovis yang akan membuka pintu mobil---sisi pengemudi. Ia sedikit melotot saat Clovis mendesis kesal. “Lihat wajahmu! Aku enggak mau nanti tiba-tiba kecelakaan karena kamu pingsan saat menyetir.”

“Akan lebih masuk akal kalau kamu yang menyetir dan selanjutnya ada kecelakaan beruntun di jalan,” sahut Clovis sambil mencoba menyingkirkan Elea, agar tidak lagi menutupi pintu mobil.

“Memangnya pernah mendengar ada kecelakaan beruntun saat aku mengemudi?” Karena stamina Clovis sepertinya menurun, Elea dengan mudah menahan dorongan laki-laki itu. Sebaliknya ia yang membuat Clovis mundur dan bergegas masuk ke dalam mobil.

“Akhirnya aku punya kesempatan menyetir mobil mahal ini,” ucap Elea dalam hati, sembari meraba roda kemudi yang mengkilap. Ia begitu senang sampai tidak menyadari Clovis sudah duduk di sampingnya dengan ekspresi mengerikan.

“Kalau terjadi kecelakaan, aku tidak akan ikut bertanggung jawab,” ketus Clovis, sembari merendahkan kursinya usai mengenakan seatbelt. Melipat tangan di dada dan memejamkan mata.

Elea hanya tersenyum dan mulai menjalankan mobil itu. Meski mobil Clovis bukan tipe sport impiannya, tapi tetap saja jauh berbeda dengan miliknya. Mengingat partnernya ini tidak perlu bersusah payah mengumpulkan uang untuk mendapatkan apa yang diinginkan.

Namun, di luar kesempatan ini, ada alasan kenapa Elea memaksa ingin menyetir. Pertama, wajah Clovis yang pucat dan lesu menandakan kalau laki-laki itu dalam keadaan kurang sehat. Kantung matanya yang tebal membuat Elea bertanya-tanya, sudah berapa lama laki-laki itu tidak tidur. Kedua, ia harus membuat Clovis makan sebelum forensik departemennya ini tumbang dan memengaruhi kecepatan penyelidikan mereka. Lagi pula Elea tidak bisa membayangkan Clovis mendadak pingsan dan Letnan Selvina datang---aura ibu yang panik berpadu dengan kharismanya sebagai pensiunan tentara akan membuat kepolisian terasa sesak.

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang