“Tenang sekali,” gumam Elea. Ia menyandarkan tubuhnya, mendongak memandang langit-langit ruangan.
Tenang yang Elea maksud bukan suasana ruangan mereka saat ini. Kantor departemen tindak kriminal justru jauh dari kata tenang. Rafael, Gilbert dan Clarista sedang main game di sofa. Berseru-seru heboh entah kenapa. Sementara Elsa dan Calvin bermain komputer. Jangan ditanya di mana Clovis, laki-laki itu tentu saja berada di ruangannya sendiri.
Arti tenang yang Elea maksud adalah perihal kasus. Satu bulan telah berlalu sejak korban terakhir---empat anak sma---ditemukan. Tidak ada korban baru, begitu juga dengan bukti-buktinya. Arabelle jelas bukan tersangka utama dalam kasus ini, meski perempuan itu memiliki kemungkinan besar terlibat.
Otak Elea sudah berputar sedemikian rupa, tapi tidak bisa menebak sekiranya apa yang akan tersangka lakukan. Ketenangan ini membuatnya gelisah. Rasanya aneh setelah banyak korban berjatuhan dalam rentang waktu dekat.
Laporan yang semula menumpuk di mejanya, kini hanya tersisa beberapa. Namun, Elea tidak menemukan hal yang menunjuk ke arah si tersangka. Sungguh menyebalkan.
“Ugh, aku ingin baca novel.” Elea membuka lemari mejanya, paling bawah. Ia memang menyimpan beberapa novelnya di kantor, agar kalau dirinya bosan atau butuh hiburan tidak perlu kembali ke asrama. Namun, bibirnya kembali melengkung turun saat menyadari seluruh novel di dalam lemari sudah dirinya baca. Bahkan novel terbaru Lamont—Human Error.
“Ah, sial, Clovis!” Anak buahnya sontak menoleh saat mendengar Elea berseru memanggil si dokter. Terlalu tiba-tiba. Apakah terjadi sesuatu di saat mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing?
“Apa dokter ada keluar? Aku tidak melihatnya.”
“Ugh, aku juga tidak lihat dokter keluar dari ruangannya.”
“Apa mereka bertengkar via pesan?”
“Ah, itu enggak mungkin. Mereka punya nomor masing-masing aja cuma untuk formalitas.”
“Mereka telponan bisa dihitung pakai jari, enggak lebih dari tiga menit lagi. Langsung to the point, ‘ada korban baru di xxx’ atau ‘kirim hasil forensik korban y’, udah selesai.”
“Iya sih.”
Elea terus mengetuk pintu ruangan Clovis sampai laki-laki itu jengah dan keluar. Lengkap dengan pisau bedah yang mengarah tepat ke leher si ketua.
“Apa?” tanya Clovis ketus.
“Kembaliin novel-novel punyaku.” Elea mengulurkan tangannya setelah menyingkirkan tangan Clovis yang memegang pisau. “Udah mau tiga bulan novelku ditahan. Kembaliin!”
Clovis tidak langsung merespon. Matanya yang menyorot dingin memandang wajah Elea. Ia membuka mulutnya, berkata, “Enggak,” lantas langsung menutup pintu ruangannya kembali. Tidak memberi kesempatan Elea untuk menerobos masuk.
“Clovis! Astaga! Bilang saja kalau kamu membacanya, ‘kan!” seru Elea jengkel sambil menggedor-gedor pintu.
“Ternyata soal novel.” Penonton kecewa.
Tok tok tok
“Permisi, Kapten Ekavira Elea Estiana dan senior lainnya.” Frey berdiri di ambang pintu dengan senyum lebarnya. Ia membawa kotak kardus. “Wah, sepertinya kalian sedang bersantai ya.”
Dahi Elea berkerut dan ia mendengus jengkel. “Ngapain kamu ke sini?”
“Lho lho, judes banget, Capt. Padahal saya bawa sesuatu lho.” Frey berjalan masuk dan langsung meletakkan kardus itu ke atas meja Elea. Ia tersenyum melihat papan nama Elea yang alih-alih dipasang dengan bangga di atas meja, justru teronggok terbalik dalam kotak ATK. “Sejak semalam sampai sekarang banyak laporan masuk tentang surat teror.”
KAMU SEDANG MEMBACA
CREATOR
Misteri / ThrillerIa menang, tapi ia merasa kalah. CREATOR copyright ⓒ 2022 ⚠️ violence, harsh content, harsh word, bloody, mental illness, sadism