The Devil War 1

54 6 0
                                    

Laki-laki itu berjalan pelan menyusuri trotoar. Membawa sebuah paper bag yang berayun mengikuti geraknya. Sesekali ia menghela napas berat, menciptakan sebuah gumpalan karena udara dingin dini hari.

Langkahnya berhenti di depan sebuah gerbang. Ia melirik nama intansi yang tertulis pada tiang gerbang—Kantor Kepolisian Pusat—dan menoleh ke tiang lainnya di mana kamera cctv terpasang. Ada pintu kecil di samping gerbang, pintu khusus penjaga.

Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu yang ia gunakan untuk membuka pintu. Senyumnya pudar saat menemukan penjaga tertidur pulas, tidak terganggu dengan suara derit pintu. Ini memang dini hari—pukul 03.00—tapi tugas penjaga seharusnya menjaga, bukannya tertidur.

“Daniel harus tahu,” gumamnya pelan, tapi memilih melangkah meninggalkan pos penjaga. Berjalan menuju halaman gedung dan berdiri di depan sebuah tong sampah. Mengeluarkan isi dari paper bag yang ia bawa. Ia menghela napas dalam. “Semuanya akan segera berakhir.”

***

“Woah, Tuan Lamont benar-benar berniat pensiun menjadi penulis,” komentar Rafael, menyaksikan acara launching novel The Devil War. Matanya melirik Elea yang terlihat serius memerhatikan televisi.

“Sejujurnya saya sedikit merasa lelah,” kata Lamont menjawab pertanyaan seorang wartawan. “Pekerjaan saya sebagai jaksa cukup menguras waktu. Investigasi, konfirmasi, persidangan, laporan. Saya juga sadar, jarak waktu antara novel lama dan novel baru semakin lama. Sementara di luaran sana banyak penulis yang rajin menerbitkan buku setiap tahun. Jadi, saya tidak ingin membuat para penggemar berharap dan menunggu.”

“Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para penggemar yang telah mendukung dan mencintai semua karya saya. Mohon maaf jika karya saya dan saya sendiri mungkin menyinggung beberapa pihak. Semoga The Devil War bisa menjadi karya yang membuat kalian selalu ingat, bahwa saya pernah berada di industri ini. Sekali lagi terima kasih.”

Acara itu berakhir dengan tanda tangan dan berfoto bersama.

“Apa Kapten tahu sesuatu? Kemarin Kapten nemuin Tuan Lamont, ‘kan?” tanya Rafael penasaran.

“Enggak, aku nemuin mamanya Tuan Lamont,” jawab Elea akhirnya mengalihkan pandangannya dari televisi dan memandang langit di luar jendela. “Kalau soal kenapa Tuan Lamont mutusin buat berhenti nulis, mungkin ... dia benar-benar mau bebas dari semuanya.”

Dahi Rafael berkerut mendengar jawaban Elea. “Bebas?”

“Tuan Lamont pernah cerita kalau alasan dia nulis adalah buat netralin rasa stresnya,” ujar Elea menjelaskan. Ia menoleh pada Rafael dan tersenyum tipis. “Kemarin aku nemuin Nyonya Orlan dan akhirnya aku tahu kenapa keluarga Lester bisa sampai di titik ini. Mereka benar-benar hancur setelah Ilias pergi. Lalu, soal rumor keluarga Lester dan Parkinson dekat, itu benar-benar cuma berlaku antara Tuan Myles dan keluarga Parkinson.”

“Semalam juga aku sempat nyelidikin kasus-kasus yang berhubungan dengan keluarga Parkinson. Kamu tahu? Tuan Lamont enggak pernah menjadi jaksa dalam kasus mereka. Eh, pernah, sekali—kasus kekerasan dalam lingkungan kerja. Kenapa Tuan Lamont enggak pernah terlibat lagi? Apa karena Tuan Lamont menolak? Jawabannya, karena kalau Tuan Lamont yang menjadi jaksa dalam kasus mereka, Tuan Lamont bakal menghancurkan Heaven Group.” Elea menimpakan kaki kanannya dan bersandar.

“Kapten tahu dari mana? Emangnya ada di dokumen kasus?” tanya Rafael heran.

Elea menjentikkan jarinya. “Simpel. Kamu tahu ‘kan julukan Tuan Lamont di bidang hukum? Angel Prosecutor, si jaksa malaikat. Tuan Lamont selalu berpihak pada keadilan sementara Heaven Group dan keluarga Parkinson itu penuh tipu muslihat. Lagi pula, yang menghancurkan keluarga Lester hingga terpecah seperti sekarang itu keluarga Parkinson. Kamu ingat gimana Nyonya Parkinson mau nyogok aku, ‘kan?”

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang