“Mending kamu pulang,” kata Clovis, menghampiri Elea yang berdiri bersandar pada dinding. Memberikan sebotol air mineral. “Udah enggak ada kerjaan juga ‘kan kamu di sini?”
Elea tidak menyahut dan memilih minum. Matanya tampak lelah, tapi tetap memperhatikan anak buahnya sibuk berlalu lalang. Ada juga pihak forensik yang masih sibuk mencari jejak-jejak tulang belulang.
Ya, mereka berada di kediaman Bellamy, melakukan penggeledahan dan penyitaan. Seluruh anggota keluarga Bellamy dan para pelayannya juga sudah ditahan di kantor polisi.
Melihat Elea yang tidak kunjung memberi respon, Clovis memilih pergi membantu petugas forensik lainnya. Sejak Rafael masuk rumah sakit karena mengalami pendarahan hebat, Elea jadi pendiam. Ia tidak marah-marah atau terus mempertanyakan apakah anak buahnya sudah melakukan apa yang dirinya perintahkan. Hanya sesekali menegur dan meluruskan kesalahan yang dibuat bawahannya dengan suara pelan.
Lebih membuat bawahannya takut dibanding saat moodnya sedang tidak stabil. Karena ini pertama kali bagi mereka melihat Elea seperti itu.
“Kapten.” Elsa turun dari lantai dua dan langsung menghampiri ketuanya. Menyerahkan sebuah amplop putih. “Saya menemukan ini di tong sampah salah satu kamar, sepertinya kamar milik Brian. Surat dari I2L.”
Tanpa banyak bicara, Elea mengambil dan membaca surat tersebut. Isinya tentang ‘permintaan’ agar Brian dan keluarganya untuk segera bertobat atas segala yang mereka perbuat. Mengacu pada pembunuhan dan penggunaan darah sebagai bahan lukisan.
“Orang ini benar-benar sakit,” geram Elea, ia meremas surat itu dan menyerahkan kembali pada Elsa. “Bilang pada Clovis, aku kembali ke kantor polisi. Kalian juga kalau sudah selesai, langsung kembali.”
“Siap, Kapten!”
Dengan cara Elea mengemudi, tidak lama perempuan itu sudah tiba di kantor polisi. Langsung pergi ke salah satu ruang introgasi di mana Brian berada.
“Brian.” Elea masuk ke mode normalnya. Tersenyum seolah dirinya baik-baik saja dan berjuang menekan sisi iblisnya jauh di dalam hati. “Gimana rasanya tidur di kantor polisi?”
“Aku sih nyenyak, tapi kamu yang kayaknya begadang. Kantong matanya hitam banget. Kenapa? Sibuk, ya?” sahut Brian santai—justru meledek.
“Iya nih, sibuk ngumpulin bukti di rumah kamu, ternyata banyak banget. Omong-omong, bagus deh kalau kamu tidur nyenyak. Hitung-hitung belajar, habisnya di penjara ‘kan bakal lebih parah,” kata Elea mengangkat bahunya—menyombongkan diri. Senyumnya berubah menjadi seringai saat Brian berdecih. “Eh, kemarin waktu aku ke acara pameran kamu, aku beneran suka lho ngelihat semua lukisannya. Kok kamu punya ide pakai darah beneran buat ngelukis?”
Brian ikut tersenyum. Jenis senyum yang sering ditunjukkan anak kecil saat bercerita tentang pengalaman menyenangkan yang mereka alami. “Manusia itu unik. Hampir semua bagian dari manusia itu tuh enggak bisa ditiru. Salah satunya warna manusia. Aku tuh suka warna merah darah, tapi enggak berhasil nemuin warna cat yang mendekati. Jadi, yeah, itu lah awal bagaimana semua lukisan masterpiece itu tercipta.”
“Oh, berarti kamu belum sejago itu ya,” ejek Elea.
“Huh?” Dahi Brian berkerut.
“Sebagai pelukis famous dan talented yang memulai karirnya saat usia 15 tahun, harusnya teknik campur mencampur warna itu hal kecil ya. Bahkan kalau memang awalnya karena ketidakbisaan.” Penjelasan Elea dan juga seringai lebarnya, sukses membuat Brian jengkel.
Laki-laki itu menggebrak meja dan berdiri, berniat menghampiri Elea tapi kakinya terborgol menyatu dengan kaki meja. “Tahu apa kamu soal lukisan?!”
“Seenggaknya aku tahu kalau kamu bakal dipenjara sampai membusuk,” sahut Elea, ia berdiri dan mendekati Brian. Kedua tangannya mengepal dan satu tinjuan melayang menghantam wajah laki-laki itu. “Kalau anak buahku kehilangan organ tubuhnya, aku yang akan mengambil organ tubuhmu hidup-hidup.”
KAMU SEDANG MEMBACA
CREATOR
Gizem / GerilimIa menang, tapi ia merasa kalah. CREATOR copyright ⓒ 2022 ⚠️ violence, harsh content, harsh word, bloody, mental illness, sadism