[EXTRA 1] RAFAEL

81 6 6
                                    

RAFAEL
Seseorang Yang Akan Memelukmu

“Enggak, Rafael enggak mau ikut! Rafael mau di sini sama Ibu!” Anak laki-laki berusia 7 tahun itu menangis, meraung, sambil mencengkram lengan perempuan paruh baya di depannya dengan kuat. “Rafael janji enggak akan nakal! Rafael enggak mau pergi dari sini! Jangan buang Rafael!”

Perempuan paruh baya itu—Nyonya Dilara—berjongkok menyejajarkan tingginya dengan Rafael kecil. Tersenyum lembut. “Rafael, Rafael, dengerin Ibu. Ibu enggak buang Rafael. Mereka keluarga baru Rafael, papa mamanya Rafael.”

“Rafael enggak mau papa mama, Rafael mau di sini sama Ibu,” ucap Rafael kecil di tengah isak tangisnya. “Jangan buang Rafael, Ibu.”

“Sayang.” Pertahanan Nyonya Dilara runtuh. Direngkuhnya tubuh Rafael kecil dengan erat, membiarkan anak asuhnya itu menangis. “Iya, Rafael di sini, Rafael enggak pergi. Rafael di sini sama Ibu.”

Itu adalah terakhir kalinya Nyonya Dilara membatalkan keputusan adopsi untuk Rafael, setelah berulang kali Rafael akan selalu meraung setiap ada pasangan yang ingin mengadopsinya. Hingga akhirnya Rafael tumbuh dewasa di dalam panti asuhan.

Tidak ada yang tahu siapa orang tua Rafael atau apa yang terjadi hingga Rafael selalu menolak untuk diadopsi. Nyonya Dilara menemukan Rafael yang baru berusia 2 tahun di depan gerbang pantinya. Dipagi hari yang dingin, menangis, mencari ibunya. Dengan hanya sepotong kertas berisi nama di saku celana—Rainer Rafael Raymond.

Meski begitu, Rafael tumbuh menjadi sosok yang baik, hangat, ramah dan periang. Ia selalu membantu Nyonya Dilara mengurus adik-adik asuhnya. Saat lulus SMA, Rafael bekerja keras. Mengambil banyak pekerjaan paruh waktu, hingga terkadang membuat Nyonya Dilara merasa kasihan.

“Rafael.” Nyonya Dilara kerap kali terlambat tidur demi menunggu putra sulungnya pulang. Menyisihkan makan malam dan menyiapkan air hangat.

“Sudah Rafael bilang ‘kan, Ibu enggak perlu nungguin Rafael pulang.” Kalimat yang akan selalu Rafael katakan setiap menemukan ibunya belum terlelap. Ia meletakkan belanjaannya di dapur—stok makanan dan kebutuhan kamar mandi.

“Kalau begitu, kurangin pekerjaan kamu. Kita punya cukup uang, Rafael,” sahut Nyonya Dilara, sambil meletakan makanan di atas meja. “Sebelum kamu kerja juga, kita enggak pernah kekurangan uang, ‘kan? Adik-adik kamu juga tetap bisa makan, bisa beli mainan.”

Rafael mendudukkan diri di meja makan dan menghela napas pelan. Ia meraih sendok makannya dan melirik Nyonya Dilara sekilas. “Ibu, kalau Rafael jadi polisi, gimana?”

“Eh? Kamu mau jadi polisi?” Nyonya Dilara berkedip, terkejut.

“Anu, itu, tadi Rafael lihat selebaran tentang daftar jadi polisi, katanya asal lolos seleksi kita bisa jadi polisi tanpa biaya,” ujar Rafael pelan.

“Kalau gitu, ayo coba,” kata Nyonya Dilara setelah sadar dari keterkejutannya. Rafael bukan tipe anak yang sering bercerita tentang keinginan pribadinya. Ia bahagia mendengar Rafael berkata ingin menjadi polisi. “Rafael pasti bisa.”

Senyum lebar mengembang di wajah Rafael dan ia langsung melompat masuk ke dalam pelukan Nyonya Dilara. “Doain Rafael ya, Bu.”

***

Rafael lolos. Ia berhasil melewati tes—fisik atau pun tertulis. Membuatnya otomatis dikirim ke akademi kepolisian untuk menjalani pelatihan. Untuk pertama kalinya meninggalkan panti asuhan, karena peraturan yang mewajibkan para calon polisi untuk tinggal di asrama.

Nilai keterampilan fisik Rafael bagus, tapi keterampilan strategi dan berpikirnya kurang. Itu membuatnya lebih banyak mendapat jadwal kelas yang berkaitan dengan otak.

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang