NOBLE 2

51 9 1
                                    

Kali ini Elea tidak memasang wajah ramahnya saat membuka pintu ruang introgasi. Atasannya sudah bertanya dan ia bosan bermain bodoh.

“Hai, Kakak Polisi.” Arabelle menyapanya dengan hangat. Seolah kedoknya belum terbongkar dan dirinya sedang tidak diborgol menyatu dengan meja ruang introgasi. Ia bahkan tersenyum lebar saat bertemu tatap dengan Rafael yang setia mengikuti Elea. Bersiul. “Fu, kamu punya anak anjing yang setia.”

“Aku sedang tidak ingin basa-basi.” Gerakan tangan Elea yang menarik kursi hingga duduk dengan kedua kaki naik begitu kasar. Menciptakan suara berisik yang tidak nyaman didengar. Mengode Rafael untuk membuka map yang laki-laki itu bawa dan menunjukannya pada tersangka mereka. “Siapa perempuan itu?”

“Kamu masih belum tahu siapa orang ini?” tanya Arabelle—pura-pura—terkejut. Matanya membola lebar dengan mulut membentuk huruf O. Namun, melihat respon Elea yang hanya memandangnya datar, ia terkekeh. “Kamu mengenalnya dengan baik. Oh ayolah, sebagai seorang magister psikologi, si ahli profiling, seharusnya kamu sudah tahu siapa.”

“Jalang brengsek ini!” Elea mengumpat. Tangannya mengepal dan memukul meja dengan keras. “Cepat katakan saja siapa!”

Arabelle tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya. Melirik Rafael sekilas—laki-laki itu sedang dalam mode waspada. “Hey, hey, kamu menakuti anak anjingmu, Kapten. Lagi pula, bukankah kamu sendiri yang bilang kalau aku punya hak untuk diam? Apakah kamu akan melanggar hak asasi manusia milikku sekarang?”

“Kamu bahkan tidak layak disebut binatang! Apanya yang melanggar HAM?!” Elea bangkit dan mencondongkan tubuhnya ke Arabelle. Giginya bergemelatuk. “Siapa perempuan itu Arabelle? Untuk apa menutupi semuanya lagi, hm? Orang yang menuntutmu saat ini adalah hukum itu sendiri. Kalau kamu jujur, aku bisa mengurangi hukumanmu.”

“Kamu polisi, bukan hakim yang menjatuhkan hukuman. Apa posisimu sebagai kepala departemen membuat lupa diri, heh?” sahut Arabelle dengan sebuah seringai diujungnya.

Telak.

“Kapten!” Rafael berseru panik dan langsung memeluk Elea saat perempuan itu mulai menggerakkan kakinya. Siap menendang meja introgasi dan membuat Arabelle tertimpa. Ditariknya tubuh perempuan itu untuk mundur. “Kapten, enggak ada gunanya ngamuk gara-gara sampah masyarakat.”

“Aaah, kamu benar.” Elea melepas pelukan Rafael dan berjalan ke sudut ruangan. Berdiam diri selama beberapa saat.

Senyum meremehkan muncul di bibir Arabelle. Ia ingin melemparkan cemoohan saat Elea kembali berbalik dengan ekspresinya yang normal. Seolah perempuan itu tidak hampir menyakiti seseorang.

“Okay, urusan perempuan pembunuh kita ini dikesampingin dulu,” ucap Elea, ia mengeluarkan ponselnya, membuka menu galeri dan menunjukkan sebuah foto. “Kamu kenal orang ini?”

“Wah, ganteng, ini siapa?” sahut Arabelle dengan mata berbinar.

Sudut bibir Elea berkedut jengkel. Ia menghela napas dan menjawab, “Kemungkinan namanya Ilias—Ilias Ishan Lester.”

“Wow? Lamont punya saudara? Gen keluarga Lester benar-benar mengagumkan.” Arabelle bertepuk tangan riang. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, memberikan tatapan jahil pada polisi di depannya. “Eh? Kamu langsung ngebuang Lamont setelah aku memperkosanya? Sungguh? Wah, cintamu bahkan lebih palsu.”

Bagaimana bisa perempuan ini begitu tidak memiliki moral?

Merasa tidak ada gunanya menanyai Arabelle lebih lanjut, Elea memutuskan untuk meninggalkan ruang introgasi. Menjatuhkan tubuhnya  ke kursi di lobi, karena sudah terlalu pusing untuk berjalan menuju ruangan mereka di lantai empat.

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang