Cheat On Civil 5

54 8 0
                                    

“Tidak ada yang mencurigakan dari yayasan, bahkan tidak ada satupun pegawai yang menggunakan sepatu merk itu. Heaven Area punya ketentuan sendiri untuk pakaian pegawainya. Serba putih dan hanya perempuan yang bekerja di bagian publikasi saja mengenakan high heel.” Clarista melapor atas investigasinya.

“Kami juga tidak menemukan apotek di mana perempuan itu membeli anestesi.” Gilbert juga memberikan laporan.

Elea memijat pangkal hidungnya. Baru kali ini ia menangani kasus yang membuat frustasi seperti ini. Tanpa banyak bukti yang menunjukkan sketsa pasti mengenai pelaku. Jejaknya terlalu samar. Pembunuh kali ini adalah seorang jenius yang memiliki alasan dan makna tersirat di setiap pembunuhannya.

“Kalian ...” Helaan napas berat kembali berhembus sembari Elea bangkit. Menegapkan tubuh, memandang anggotanya—kecuali Clovis yang berada di ruangannya sendiri—dengan serius. “ ... tolong sisir ulang semua tkp. Temukan apapun yang bisa kalian temukan. Kita tidak bisa jalan ditempat seperti ini.”

“Siap, Kapten!”

“Rafael ikut aku.” Perintah susulan membuat langkah Rafael terhenti. Ia menghela napas dan berbalik memandang Elea yang menghampiri Calvin.

“Calvin, aku minta semua data lengkap korban. Se-mu-a-nya.”

Yang disuruh hanya tersenyum, menganggukkan kepalanya dan menyahut biasa. Tangannya gesit menari – nari di atas papan keyboard hitamnya.

“Ayo.”

Rafael menangkap kunci mobil milik Elea dan bergegas mengikuti langkah cepat perempuan itu.

***

Kedua polisi itu mendatangi satu per satu tkp. Mulai dari gudang tua, yang kini sudah ditumbuhi rerumputan. Kost etnis, juga laboratorium fakultas psikologi di Universitas Ocean. Elea mencoba mencaritahu apakah ada sesuatu yang terlewat dari pandangannya. Namun, sampai kepalanya berdenyut sakit pun, ia masih tidak tahu apa yang salah.

Elea menutup pintu mobil dengan keras, mengejutkan Rafael yang sudah lebih dulu di dalam. Memejamkan matanya, berusaha mengurangi rasa sakit yang mendera seluruh kepala. Bahkan giginya yang tidak sengaja bergesek, membuat pikirannya semakin kusut.

“Ke Soul Bar.”

“Lagi?”

Geplakan mendarat keras di bagian belakang kepala Rafael. Mau tidak mau Rafael menutup mulutnya dan mulai menjalankan mobil. Meski itu tidak bertahan lama.

“Semalam Kapten kencan dengan Tuan Lamont?” Pertanyaan absurd itu dijawab dengan geplakan yang lebih keras. Spesial dengan tatapan tajam yang diberikan kapten perempuannya.

“Rafael, tolong serius! Semua kasus ini membuatku marah dan ingin memakan orang. Jangan sampai kamu yang pertama kali aku makan,” omel Elea. Ia menggulung berkas laporan di tangannya dan siap memberi pukulan lain jika Rafael masih ingin mencari ribut dengannya.

“Maaf, Kapten.”

Setelahnya tidak ada percakapan berarti di antara keduanya hingga tiba di tempat tujuan. Kebetulan pelayan pertama yang menyapa mereka adalah pelayan yang sebelumnya. Jadi, tidak ada adegan Elea dirayu dan Rafael berubah jadi bodyguard galak.

“Apa kamu pernah melihat orang – orang ini datang ke sini?” Elea mengeluarkan enam buah foto korban.

Pelayan itu melihat satu per satu dengan teliti, lantas memisahkan menjadi dua bagian. Sisi kiri berisi empat foto—Eric, Yuda,Taksha dan Eliana—, sementara di sisi kanan berisi dua foto—Ward Waylon dan Fatukhalik. Si pelayan menunjuk sisi kiri dan berkata, “Sebelumnya mereka berempat sering ke mari. Minum, minum atau menggoda para pelayan perempuan di sini. Sisanya, saya tidak pernah melihat mereka.”

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang