Cheat On Civil 2

63 8 0
                                    

Korban itu bernama Eliana, seorang mahasiswi. Ditemukan meninggal di halaman rumahnya sendiri yang terletak di pinggir selatan kota. Tepatnya di sebuah kawasan kumuh. Jerit tangis ibu korban langsung menyapa Elea dan teman – teman begitu sampai. Warga berbondong – bondong mendekati tkp karena penasaran dengan keributan yang terjadi.

Butuh waktu bagi Clovis berbicara dengan ibu korban, agar membiarkan jasad putrinya untuk diautopsi. Clarista ikut turun membantu merayu si ibu. Sementara Elea langsung mengecek ke sekeliling tkp sebelum menghampiri polisi patroli yang menghubunginya. Bertanya beberapa hal dan membuatnya menoleh pada perempuan yang terduduk lemas tidak jauh dari ibu korban.

“Perempuan itu yang menemukannya pertama kali?” tanya Elea, setelah mendapat konfirmasi, ia kemudian melangkah mendekati. Ikut duduk melantai di sisi. “Hai, aku Ekavira Elea Estiana.”

“Aku Arabelle,” sahut perempuan itu pelan.

“Bisa kita bicara berdua? Ngobrol di warung dekat sini,” ajak Elea lembut. Ia meraih tangan Arabelle dan menariknya pelan untuk berdiri.

Meski Arabelle tidak menjawab apa – apa, Elea tetap membawanya menjauh dari keramaian. Berhenti di sebuah warung kecil. Elea membeli dua botol air mineral untuk diberikan kepada Arabelle.

“Kamu yang menemukan korban pertama kali dan menghubungi polisi?” tanya Elea, ia meraih jemari lentik Arabelle dan mengusap punggungnya dengan lembut.

Arabelle memandangi wajah Elea selama beberapa saat dan menjawab dengan suara pelan. “Iya.”

“Bisa kamu ceritakan kronologinya?” pinta Elea, ia tersenyum tipis sembari mengeluarkan lencana dari saku jaketnya. Meletakkan di atas meja. “Aku tahu kamu pasti terkejut, tapi ... tolong beritahu kami, ya?”

“Aku adalah tetangganya.” Arabelle menghela napas dalam dan meminum air mineral yang Elea belikan. Tersenyum tipis. “Aku ke rumahnya karena terganggu pagi – pagi mereka sudah menghidupkan musik keras – keras. Ingin protes. Tapi, begitu sampai di halaman rumahnya, aku ngelihat Eliana udah terbaring di sana. Awalnya aku pikir dia pingsan atau hangover karena Eliana hobi mabuk – mabukkan. Sampai akhirnya aku ngelihat kalau tangannya enggak ada.”

“Eliana—si korban—apa dia sudah bekerja?” tanya Elea penasaran.

“Belum, Eliana masih kuliah, tapi orang tuanya punya toko sembako di pasar sentral. Biasa dia bantu kalau lagi ramai atau ada pembagian bantuan,” jelas Arabelle.

Dahi Elea berkerut mendengar apa yang dikatakan perempuan di depannya. “Pembagian bantuan?”

Arabelle berkedip dan berdehem pelan. “Setahuku yayasan sosial merpati bekerja sama dengan toko keluarga Eliana. Jadi, nanti pihak yayasan memberi uang kepada mereka dan mereka memberikan sembako pada masyarakat kurang mampu. Ya, kami.”

“Aaah.” Elea mengangguk paham. Ia pernah mendengar kabar kalau yayasan yanng dimaksud memang sering melakukan kegiatan amal.

Handphone dalam saku Elea berdering dan nama Rafael muncul di layar. “Halo, Raf.”

“Kapten, kami menemukan koper yang dimaksud Calvin di tempat pembuangan sampah tidak jauh dari tkp.”

“Oh, kirim ke forensik.”

“Baik, Kapten.”

Panggilan terputus. Elea tersenyum dan berdiri. Ia mengucapkan terima kasih pada Arabelle sebelum pamit pergi. Membawa satu dari dua botol air mineral yang ia beli.

***

“Cara korban kali ini meninggal berbeda dengan korban – korban sebelumnya,” lapor Clovis begitu semua anggotanya sudah kembali ke kantor. “Kalau korban sebelumnya dibunuh lebih dahulu baru alat kelaminnya dipotong, yang kali ini tidak. Tangannya dipotong baru korban dibunuh.”

“Jadi, ini adalah pembunuhan yang berbeda?” tanya Gilbert spontan.

Elea menggeleng pelan, sedikit menguap karena sudah tiga malam ia tidur kurang dari tiga jam. “Belum tentu, bisa jadi ini hanya pengecoh agar kita berpikir seperti itu.”

“Benar, karena luka sayatan di lehernya sama dengan korban sebelumnya,” sahut Clovis menyetujui pendapat Elea. “Selain itu, aku menemukan beberapa sidik jari dan sudah mengkonfirmasi bahwa itu adalah milik perempuan bernama Anindira Arabelle Adhisti, Salina—ibu korban—dan Farrel—adik korban.”

“Tunggu, polisi patroli yang di sana mengatakan kalau Arabelle adalah orang yang menghubungi mereka,” ujar Elea, ia bertukar pandang dengan Clovis dan tahu kalau keduanya kembali memiliki perbedaan pendapat. “Aku juga sudah berbicara dengannya. Meminta alibi. Yah, menurutku alasan sidik jarinya di sana, ya karena dia adalah orang pertama yang menemukan korban.

“Kita tidak bisa mengesampingkan kemungkinan seseorang sebagai tersangka, tetapi kita juga tidak bisa mengesampingkan kemungkinan seseorang tidak bersalah.” Elea melempar senyum malas pada Clovis dan lebih memilih memandang anak buahnya yang fokus pada mereka berdua.  “Kalian enggak mau ngelaporin apa – apa?”

“Uhm, Kapten, enggak ada cctv di daerah itu juga enggak ada satupun orang yang mengaku melihat bagaimana korban bisa di sana,” ucap Rafael.

“Semalam hujan deras,” sahut Elsa.

“Hujan cuma masalah sepele untuk seorang pembunuh.” Jemari Elea memijat pangkal hidungnya. Kasus kemarin belum menemukan pintu yang benar dan kini ada korban baru, membuat kepalanya berdenyut sakit. “Siapa yang menanyakan alibi si ibu atau saudaranya?”

“Saya, Kapten, laporannya belum sempat diketik.” Semua orang menahan untuk merotasikan mata mendengar apa yang Clarista katakan. Tidak seorangpun dari mereka sempat membuka laptop sekembalinya dari tkp karena Clovis—yang kembali lebih dulu bersama jasad korban—langsung membuka suara.

“Apa salah satu dari mereka mengatakan kalau pagi tadi sedang menghidupkan musik?” tanya Elea, matanya memandang Clarista dengan rasa lelah. Sepertinya ia harus beristirahat sejenak atau tubuhnya akan tumbang.

“Oh, saudaranya bilang karena musik yang dia putar, awalnya dia tidak mendengar teriakan saksi,” jawab Clarista cepat.

Elea mengangguk. Ia meminum air mineral yang tadi dibeli untuk sedikit menyegarkan tubuhnya. “Baiklah, Clarista dan Elsa pergi ke kampusnya, cari tahu bagaimana kehidupan kuliahnya. Oh ya, Arabelle bilang kalau korban hobi minum alkohol, cari tahu, mungkin ada teman satu tongkrongan minumnya. Gilbert dan Rafael pergi ke pasar sentral, seharusnya di sana banyak cctv. Orang tuanya memiliki toko sembako di sana. Calvin, seperti biasa, tapi aku mau tahu semua data yang bisa kamu temukan.”

“Siap, Kapten!” Semua nama yang disebut langsung bergegas melakukan apa yang Elea pinta.

***

Perempuan yang menjabat sebagai kepala departemen tindak kriminal itu tidur selama tiga puluh menit. Berbaring pada sofa kantor. Tidak terusik dengan suara jemari Calvin yang menari – nari di atas keyboard. Namun, Elea justru terbangun saat Clovis mendekat dan berkata, “Bisa – bisanya kamu tidur di jam kerja,” dengan nada dingin.

Elea buru – buru mencuci muka, meraih kunci mobilnya dan pergi meninggalkan kantor. Kembali mengunjungi wilayah korban ditemukan. Ia memarkirkan mobilnya di dekat kediaman korban. Jalan tempat itu sempit dan padat untuk dilewati mobil. Bisa – bisa spionnya menyenggol salah satu tiang teras rumah warga. Lagi pula berkeliling dengan jalan kaki, selain bisa melihat lebih jeli juga sehat buat kesehatan.

Sembari berkeliling, Elea sesekali bertanya pada beberapa warga tentang Eliana dan keluarganya. Juga menanyakan perihal cctv yang langsung dijawab dengan gelengan. Ia juga mengunjungi tempat pembuangan sampah yang Rafael maksud. Menanyakan kepada warga yang tinggal di dekatnya, apakah melihat seorang perempuan membuang/membawa koper. Namun, lagi – lagi—dengan alasan hujan—mereka hanya mengurung diri di rumah dan tidak melihat apa – apa.

Akhirnya, karena tidak mendapatkan sesuatu, Elea kembali dengan lengkah pelan.

“Kakak polisi?”

Elea menoleh dan melihat Arabelle sedang berdiri di teras rumah seperti akan masuk. Memegang handle pintu. Ia tersenyum dan berjalan menghampiri perempuan itu. “Arabelle.”

“Habis investigasi keliling, Kak?” tanya Arabelle.

“Iya, nih. Kamu sendiri habis dari mana atau mau ke mana?”

“Habis dari rumah Eliana, Kak, kasihan ibunya masih syok. Ibu saya juga masih di sana.” Tangan Arabelle memutar handle membuka pintu. Tersenyum pada Elea. “Mampir, Kak? Kayaknya capek banget.”

Perkataan Arabelle membuat Elea tertawa pelan, tapi yang dikatakan perempuan itu tidak sepenuhnya salah. Ia memang lelah. Jadi, ia mengikuti langkah Arabelle memasuki rumah kecil berlantai dua itu. Duduk pada single sofa yang sesungguhnya sudah tidak lagi empuk. Memperhatikan beberapa pigura yang menempel di dinding. Ada satu yang membuatnya tertarik.

Si tuan rumah naik ke lantai dua, menyimpan sesuatu, sebelum bergegas ke dapur untuk membuat minuman untuk tamu. Hanya segelas es teh.

“Maaf ya, Kak, cuma ada ini,” ucap Arabelle sembari memberikan es teh itu pada Elea dan duduk pada sofa panjang di samping si polisi.

“Enggak perlu minta maaf, Bel,” sahut Elea lantas meminum es tehnya dengan perlahan. Menyisakannya setengah dan meletakan kembali ke meja. “By the way, kamu editor novel, ya?”

“Eh, kok tahu?” tanya Arabelle terkejut.

Elea tertawa dan menunjuk salah satu pigura yang tergantung. Di dalam pigura itu ada sertifikat penghargaan alih – alih foto. Tertulis penghargaan sebagai editor terbaik dalam sebuah event.

“Oh, aku lupa. Aku pikir sudah ibu lepas,” ucap Arabelle dengan pipi bersemu malu.

“Udah berapa lama jadi editor? Biasanya ngedit naskah genre apa?” tanya Elea penasaran.

“Uhm, sekitar empat sampai lima tahun kayaknya.” Arabelle menjawab sambil berpikir. Memperkirakan sudah berapa lama dirinya bekerja merapikan naskah para novelis. “Lebih sering ngedit naskah genre misteri, thriller atau horor sih. Kecuali kalau dari pihak penerbitnya ngasih naskah genre lain atau lagi butuh banget uang, kadang nerima genre lain juga.”

Elea berdecak kagum mendengar genre favoritnya di sebut. Matanya yang semula bersinar redup karena lelah, seketika langsung berbinar. “Woah, rekomendasiin novel yang bagus dong. Kebetulan genrenya favorit aku banget.”

“Novel – novelnya Kak Lamont, kakak udah baca?”

“Kamu yang ngedit naskahnya?” tanya Elea. Saat Arabelle mengangguk, ia langsung bertepuk tangan memuji. “Uuh, aku suka semua novelnya. Cuma lagi sibuk banget, jadi belum sempat baca beberapa. Hebat banget kamu, bisa nanganin naskah novelis sekelas Tuan Lamont. Jadi sering ngobrol dong sama Tuan Lamont?”

“Beruntung aja sih, Kak.” Arabelle tertawa gemas melihat ekspresi Elea yang berubah menjadi lucu. “Oh ya, beberapa hari lagi Kak Lamont rilis novel baru. Bakal ada acara launchingnya. Kakak mau ikut? Nanti aku beliin tiketnya.”

“Mau,” jawab Elea sembari mengangguk semangat. Bibirnya mengerucut dengan mata yang semakin berbinar. Ekspresi yang tidak akan pernah anak buahnya lihat dan memungkinkan membuahkan kegemparan. Ia buru – buru mengeluarkan ponselnya dan bertukar nomor. “Beliin dulu tiketnya ya, nanti uangnya aku ganti.”

“Iya, Kak,” jawab Arabelle mengulum senyum geli.

Seperti tersadar kehadirannya di tempat itu, Elea bertanya, “ Oh ya, Bel, kamu ada lihat perempuan bawa koper enggak semalam?”

Arabelle menggeleng dan menjawab, “Maaf, Kak, semalam aku sibuk sama naskah, hujan juga, jadi aku enggak lihat.”

“Oh ya udah, enggak perlu minta maaf. Aku pulang ya, kalau kamu tahu atau dengar ada yang lihat, kabarin aku ya.” Elea berdiri dan berjalan keluar diikuti oleh Arabelle hingga ke teras.

“Oke, Kak, nanti aku kasih tahu,” ujar Arabelle sambil tersenyum tipis. Ia melambai pelan saat polisi itu melangkah menuju mobilnya yang terparkir di dekat rumah Eliana. Ketika Elea tidak lagi terlihat, senyum Arabelle seketika memudar.

***

"Ada terlalu banyak jalan di tempat itu." Elea menjatuhkan tubuhnya pada sofa, membuat Gilbert langsung pindah untuk memberikan ruang. Membuahkan senyuman terima kasih dari Elea yang bertahan selama dua detik. "Dan seperti yang dikatakan Rafael, tidak ada satupun cctv di sana. Tapi aku yakin sekali, kalau pasti ada setidaknya satu orang yang melihat tersangka membawa korban. Bayangkan, seorang perempuan berjalan seorang diri menarik koper di tengah hujan. Apa yang kalian pikirkan?"

"Orang itu baru saja di usir dari rumahnya," celetuk Clovis yang sedikit mengejutkan Elea. Ia pikir laki - laki itu berada di ruangannya. Dilihat - lihat ternyata Clovis sedang menguasai kursi kerja milik Elea.

Hampir setiap orang mengangguk setuju atas perkataan Clovis. Bertukar pertanyaan lewat pandangan, apakah mereka memiliki pendapat yang lain.

"Terlebih itu wilayah kumuh. Orang yang melihatnya mungkin berpikir, 'Ah, perempuan itu pasti terkena masalah dan dipaksa pergi dari tempatnya,' jadi mereka waspada," imbuh Elsa. Ia menoleh dan mengerutkan dahi saat sadar Rafael serta Gilbert memandanginya. "Apa?"

"Jadi, maksudmu, mungkin saja kita sudah bertemu dengan orang yang melihatnya, tapi orang itu tidak berpikir si perempuan membawa mayat dalam kopernya?" tanya Elea, ia berpikir selama beberapa detik dan mengiyakan kalau apa yang Elsa katakan mungkin saja bisa terjadi. Elea meregangkan tubuhnya yang terasa pegal dan kembali berkata, "Aku meminta saksi pertama untuk bekerja sama. Dia berjanji untuk mengabariku jika terjadi sesuatu."

Suara decakan terdengar dan semua orang langsung menaruh perhatian pada dokter forensik. Laki - laki itu terlihat nyaman duduk di tempat kaptennya sembari membaca laporan yang bertumpuk di meja.

Tanpa balas memandang, Clovis berkata, "Kita tidak seharusnya memberi kepercayaan pada sipil. Juga, aku masih meragukan alibi saksi."

Elea memutar bola matanya malas dan turun dari sofa. Berjalan menghampiri dan berkacak pinggang di hadapan wakilnya. "Terserah padamu, Dokter Clovis, tapi bisa kamu pergi dari tempatku?"

"Masih banyak kursi kosong, duduklah di tempat lain," sahut Clovis tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari dokumen di tangannya.

"Oh ya, Kapten, saya sudah mengumpulkan seluruh data - data yang Anda minta mengenai korban," ujar Calvin sedikit memecah ketegangan di antara Elea dan Clovis. Ia tersenyum saat melihat kaptennya berbalik dan melirik Clovis. "Laporannya ..."

"Sedang ku baca," sahut Clovis.
Kali ini ia yang berdecak kesal dan memindahkan beberapa tumpuk berkas ke bawah meja. Pergerakan selanjutnya membuat anak buahnya tercengang. Elea naik ke atas meja dan duduk bersila, memandang Clovis dengan tajam.

"Dokter Clovis Craig Conor, ada alasan kenapa Direktur menempatkanmu di ruang autopsi dan aku di sini. Jangan melewati batas," ujar Elea dingin, yang akhirnya mampu membuat Clovis mengalihkan perhatiannya.

Manik segelap obsidian itu menyorot begitu tajam. Bibirnya terbuka dan menyuarakan suara yang lebih dingin. "Aku juga punya hak atas laporan - laporan ini, Kapten Ekavira Elea Estiana. Jangan sombong karena Direktur menempatkanmu sebagai Kapten. Pangkat kita setara. Aku juga bukan orang yang lupa tugasku sebagai seorang forensik. Karena aku bukan dirimu yang bisa bermain - main di tengah kasus yang berlangsung."

Elea sangat terkejut atas apa yang didengarnya, sampai tidak mampu berkata - kata. Membiarkan Clovis pergi begitu saja setelah membanting laporannya ke kursi.

"Kapten?" Clarista menghampiri Elea dan membantunya turun dari meja.

***

Perempuan cantik itu tersenyum akan video yang sedang terputar di ponselnya. Video yang memperlihatkan seseorang mengeluarkan Eliana dari koper.

"Benar - benar sempurna."

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang