NOBLE 1

59 8 2
                                    

Sepanjang karirnya sebagai polisi, baru kali ini Elea merasa stres. Kasus pembunuhan berantai yang tidak kunjung selesai. Bertemu dengan perempuan gila yang jago manipulasi. Namun, di luar stres yang melanda, Elea merasa semangat. Darahnya berdesir dan jantungnya berdegup kencang. Untuk pertama kali dirinya menemukan pembunuh yang cerdas dan bertujuan ‘mulia’.

Seperti Sherlock Holmes yang akhirnya bertemu dengan James Moriarty. Berharap untuk segera bertemu tatap.

“Inspektur Elea.” Panggilan itu membuyarkan lamunan Elea, membuatnya spontan mendongak dan melihat seorang laki-laki berdiri menjulang di depannya. Sam, tangan kanan sang menteri kehakiman.

“Oh, iya?” sahut Elea mengembangkan senyum manisnya.

“Tuan Myles titip salam, tuan mengucapkan terima kasih karena telah menolong Tuan Muda Lamont. Juga, Tuan Myles mempercayakan kasus ini kepada Inspektur,” ujar Sam.

“Sudah tugasku sebagai polisi.” Elea mengangguk. “Omong-omong, bagaimana keadaan Tuan Lamont? Dia sudah siuman?”

“Tuan Muda sudah siuman, tapi untuk saat ini masih harus menjalani perawatan,” jawab Sam. Wajahnya masih datar.

“Syukurlah,” ucap Elea pelan sembari mengusap dadanya. Merasa lega.

“Kalau begitu saya izin undur diri, Inspektur Elea, sampai jumpa.” Laki-laki itu menunduk selama beberapa detik, sebelum melangkah pergi meninggalkan kepolisian.

Tawa pelan keluar dari belah bibir Elea begitu punggung Sam tidak terlihat. Merasa lucu mengingat nasib tersangka barunya.

Arabelle hanya ditahan selama empat puluh delapan jam dan dibebaskan. Awalnya Elea merasa sangat jengkel, frustasi dan membuat takut anak buahnya karena terus menendangi meja di ruangan. Bahkan Clovis hanya menghela napas—tahu tegurannya tidak akan masuk ke dalam telinga si ketua. Sampai tiba-tiba seseorang dari kejaksaan menghubunginya, mengatakan kalau Lamont diserang salah satu tersangkanya.

Tentu saja Elea tahu siapa yang dimaksud—meski status orang itu belum menjadi tersangka. Elea bergegas pergi ke apartemen Olympus bersama Clarista dan Rafael. Sadar kalau mengunjungi penthouse membutuhkan kartu akses, mereka langsung menghampiri meja resepsionis.

“Darurat!” Elea mengeluarkan lencana polisinya. “Kami harus ke penthouse Tuan Lais Lamont Lester.”

Meski bingung, pihak resepsionis bergegas memberikan kartu akses cadangan juga memanggil bagian keamanan untuk membantu. Tanpa menekan tombol bel, Elea langsung membuka pintu dan berjalan masuk. Matanya melebar saat melihat Arabelle sedang berteriak kesakitan—mengumpati Lamont—sembari memegangi wajahnya yang berdarah. Namun, yang membuat mereka terkejut adalah keadaan tubuh Arabelle yang telanjang bulat.

“Selain Clarista, semuanya berbalik! Jangan ada yang berani bergerak sebelum ada perintah!” titah Elea tegas.

“Brengsek! Elea, lihat apa yang kekasihmu lakukan?!” seru Arabelle setelah mendengar suara Elea.

“Oh, aku bangga dengan apa yang dilakukan olehnya. Kalau itu aku, aku pasti akan menancapkan kaca itu di lehermu,” sahut Elea santai, setengah bersiul. Ia menoleh pada Clarista. “Amankan dia.”

“Siap, Kapten!” Tanpa perintah dua kali, Clarista mengeluarkan borgol dari saku celananya dan berjalan menghampiri Arabelle. Menendang perempuan itu hingga jatuh tersungkur dan langsung memborgol tangannya.

Sementara di sisi lain, Elea bergerak untuk mencari si pemilik penthouse. Mengikuti jejak darah yang ada di lantai dan tiba di depan sebuah pintu berwarna hitam. Terkunci.

“Tuan Lamont! Tuan! Ini aku! Elea!” seru Elea sambil menggedor-gedor pintu itu. Namun, sampai pintu bergetar, tidak ada jawaban dari dalam. Hal itu mendorong Elea untuk menggunakan kartu aksesnya.

CREATORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang