-20-

5.6K 595 18
                                    

 Bisakah dikatakan pagi, karena pada umumnya orang akan terlelap di malam hari? Entah berapa jam tertidur ketika Wira bangun yang pertama kali dicari olehnya adalah pemandangan langit. Pria itu ingin mengitari seluruh ruangan, ia ingin melihat cahaya matahari.

Selagi suara itu belum didengar Wira ingin melihat tanda-tanda kehidupan setidaknya yang bisa mematahkan anggapannya jika ia tidak hidup dengan setengah nyawa.

Seperti dituntun saat langkahnya berhenti di sebuah ruangan, senyumnya tipis ketika mendongakkan kepalanya ke atas. Wira melihat langsung indahnya langit lewat atap kaca di atasnya, ini seperti semangat baru. Aku masih hidup, awan itu bergerak.

Saat berhasil membuang anggarannya Wira dikejutkan dengan lantai ruangan yang bergerak. Tidak seperti gempa, karena tungkai kakinya tidak awas perlahan-lahan keramik besar itu lenyap beberapa bangunan kecil mirip makam tampak di matanya.

Apalagi ini?

Wira tidak takut hantu tapi ia selalu merasa ngeri membayangkan kematian.

Benar, ada delapan makam yang muncul di sekeliling Wira. Salah satu tepat di sampingnya, ketika dia menoleh pria itu melompat ke belakang naasnya ia jatuh ke lubang makam yang lain. Baru kali ini suami Ria melihat makam terbuka dengan pemandangan yang menjijikkan. 
Dengan cepat Wira naik kembali tanpa ingin melihat keadaan jenazah yang tidak sengaja terinjak.

Jika kemarin lewat video kini dia dihadapkan langsung pada pemandangan mengerikan itu. Melangkah dengan hati-hati Wira ingin keluar dari ruangan itu tapi baru saja berbalik pintu ruangan itu tertutup rapat, mungkin tidak dikunci Wira akan membukanya.

"Sial!"

Kenapa juga harus ke sini, bagusnya di kamar kan? Wira tidak membalikkan tubuhnya lagi dari pada melihat makam-makam itu lebih baik dia berdiri menghadap pintu tersebut berharap ada seseorang yang membukanya.

Yang dilihatnya satu jenazah Wira tidak tahu keadaan jenazah lainnya, dan ia yakin pasti sangat menjijikkan. Apakah mereka korban di pengasingan ini? Papa Sam meneguk ludahnya, sepertinya bukan karena ia menghadiri pema 
kaman bibinya. Tapi mungkinkah mereka dipindahkan tanpa sepengetahuan orang lain? Ini sangat menakutkan.

Wira memejamkan mata mengusir bayangan aneh yang menakutkan, sekarang dia perlu jalan keluar dari ruangan ini. Berada lama di sini akan membuatnya gila, benar saja ketika membuka mata ia tak lagi berhadapan dengan pintu Wira juga tidak sadar kapan kakinya berbalik ke arah makam tersebut.

Seekor ular yang keluar dari salah satu makam tertangkap netranya, gemuk dan cukup panjang tidak berjalan ke arahnya tapi masuk ke makam yang lain tidak lama terdengar suara rusuh seperti orang berkelahi sumpah Wira tidak akan melihat apa yang terjadi di sana. Mungkinkah orang dalam makam itu masih hidup dan sedang melawan ular tersebut? Cukup lama, ia penasaran tapi tidak sanggup melihatnya.

"Ini salah satu hukuman bagi yang melanggar sumpah."

Wira ingin marah tapi percuma tangannya pun tak memiliki tenaga sia-sia saat akan mengepalkan genggamannya.

"Lihat jenazah yang di ujung sisi kirimu."

Wira menurut dan melihat ke sisi kirinya, lantas terkejut karena jenazah itu terjengkang dengan posisi mengenaskan, pria itu juga sempat memperhatikan kain kafan yang tersibak di bagian kepala. Mata Wira membelalak saat mengetahui kepala jenazah itu berlubang dan dari sana keluar anak ular.

Seperti ada yang menggaruk tenggorokan Wira dengan garpu bukan hanya isi lambung yang berupa cairan darah pun dimuntahkan setelah perutnya bergejolak.

"Kamu tahu dia laki-laki, dia juga berkhianat tapi masih dengan cinta yang kuat untuk istrinya. Sedang kamu?"

Wira mulai membayangkan perbuatannya, tidak parah sepertinya, itu maksudnya kan? Melihat ular yang bersarang di lubang kepala dia membayangkan hal yang lebih sadis dari ini.

"Peringatan telah kamu abaikan, bertengkar solusi yang kamu lakukan, yang jelas itu semua demi membenarkan kesalahanmu."

Adalah wajah murung Ria yang pertama kali terlintas di benaknya.

"Lihat lubang baru itu, petinya sedang dikemas."

Lubang untukku? Tubuh Wira menggigil.

"Tiba di sini bukan untuk kembali, semua yang pernah berada di sini bersiap untuk mati."

Dari beberapa pamannya, dulu Wira mendengar seperti apa kehidupan di pengasingan cukup mengerikan pikirnya saat itu dan semua yang terjadi dalam dua hari ini tidak pernah dibayangkan ini bukan lagi ngeri tapi 50% semangatnya telah disedot ia tidak melihat cara bertahan apalagi keluar dari tempat ini.

"Kesempatan sudah diberikan, sayangnya hampir tujuh tahun tak ada kata taubat. Itu bukan waktu yang singkat bagimu dan selingkuhan tidak untuk istrimu. Setiap hari selama tahun-tahun itu dia berjalan di atas bara api."

Ria, nama itu kembali melintas di benak Wira ia semakin takut ketika jiwa terus memanggil nama istrinya.

Sebuah hentakan besar bisa dirasakan Wira, linglung awalnya lantas bertanya pada diri sendiri sekarang apa lagi? Wira tidak percaya ketika kakinya melangkah ke sebuah lubang yang telah dipastikan untuknya, ia tidak bisa berhenti dan terus berjalan ke sana.

Dengan kesadaran penuh Wira melihat ke lubang tersebut kali ini bukan mual tapi kepalanya sakit melihat binatang yang dulu pernah didengar dari guru agama ketika dia masih kecil. 

"Tidak seperti bayanganmu, meski berakhir di sini bukan berarti dengan proses yang mudah."

Wira sudah merasakan prosesnya ia juga tidak tahu berapa lama, harusnya sebelum datang ke tempat ini dia bertanya lebih detail pada pamannya. 

Seperti dituntun Wira turun ke lubang itu tapi mulutnya memohon. "Tolong, aku tidak bisa ke sana aku tidak ingin binatang itu mengerumuni tubuhku."

Tidak ada yang menghentikannya, bahkan dirinya sendiri saja tidak bisa. Bagaimana mungkin dia melakukan sesuatu yang sama sekali tidak diperintahkan oleh otaknya?

"Ria! Ku mohon, bila perlu aku akan bersujud di kakimu. Jangan hukuman seperti ini!" 

Permohonan itu membuat semesta murka, tanpa belas kasih tubuh Wira jatuh ke lubang tersebut ia berbaur mungkin juga harus melawan semua binatang menjijikkan sekaligus menakutkan itu. Wira menepis binatang yang mulai naik ke kakinya, dalam keadaan itu juga ia mendengar suara wanita itu lagi.

"Mungkin tidak perlu peti kemas, bagaimana dengan timbunan tanah?"

"Ria! Tolong aku!" Wira jijik ketika binatang tersebut mulai mengerumuni tangannya sedangkan di dalam wajahnya sudah ada ratusan ulat. 

Bagaimana jika tertelan? Seketika Wira muntah dengan hebat kepalanya teramat pusing saat merasakan ulat-ulat tersebut mulai menggerogoti kerongkongannya.

Diamku Di Atas DustamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang