Cakra 12

1.8K 280 26
                                    

Dulu Cakra tidak begitu memperhatikan bagaimana kepedulian Sam terhadap Nuha, sekarang ketika dirinya telah kembali dari Kanada Cakra tidak bisa acuh pada keberadaan dua orang itu yang sesekali datang ke rumah orang tuanya.

Sesuatu disadari oleh Cakra bahwa dulu kakaknya tidak se-riang ini, hubungan Sam dengan Jinan bisa dikatakan terlalu serius. Meski jarang berinteraksi dengan keduanya Cakra yakin memang ada kesenjangan dari awal dalam hubungan kakaknya dengan wanita yang kini tengah mengandung anaknya.

"Jangan memandang kami terus, cari seorang wanita dan kamu akan bahagia seperti kami."

Ingin sekali Cakra memberitahu bahwa sekarang dirinya juga sangat bahagia, hanya saja seseorang yang dimaksud oleh kakaknya tidak bisa dibawa ke tengah-tengah keluarganya.

"Aku dengar Zuby juga sudah hamil."

Ah .. wanita itu, Cakra mengingatnya. "Mba Nuha yang memberitahu Mas?"

"Tidak, kebetulan kami bertemu di pusat perbelanjaan. Aku dengar mereka akan pindah ke Jakarta."

Ouh. Hanya kata singkat itu yang direspon oleh Cakra, ia tidak tertarik dengan wanita manapun karena sudah ada seseorang yang memikat hatinya.

"Jadi kapan, atau memang sudah ada?"

Cakra terkekeh, dengan begitu dia bisa mengelak dari pertanyaan kakaknya atau membunuh kecurigaan Sam.

"Mas menyibukkanku dengan kegiatan direktur, jadi waktuku sangat mepet."

"Bagaimana dengan cuti kemarin?"

"Gadis cina tidak membuatku tertarik." dan Cakra berhasil membuat kakaknya tertawa.

Suasana begitu hangat antara dua adik kakak tersebut, khususnya Cakra. Kebahagiaannya tidak dibuat-buat hanya saja tidak bisa mengatakan dengan gamblang jika sekarang dirinya juga sangat bahagia.

Untuk keadaan hari ini tidak pernah diimpikan apalagi direncanakan, ini yang disebut proses. Segala sesuatu pencapaian dalam hidup tidak didapatkan cara instan.

Baru satu minggu Cakra mendarat di tanah air rasanya sudah merindukan seseorang di sana, syukur ia mengantongi kontak Jinan. Selama satu minggu ini ia hanya menanyakan kabar via chat, mungkin dia akan mencoba menghubungi Jinan nanti melalui video call.

Sekarang basecamp bukan lagi tempat ternyaman untuk beristirahat Cakra yang dulu senang berkumpul dengan teman-teman kini ini memiliki ruang tersendiri. Ia tahu alasan Nuha dulu, saat baru-baru menikah mulai jarang datang ke basecamp, sudah tahu ke mana waktu yang harus tertumpu.

Cakra bahagia tapi dia merasa sepi. Tidak masalah jika selama berada di Kanada Jinan cuek terhadapnya tidak apa jika dia terus yang mengajak wanita itu bicara, tidak apa juga atas alternatifnya mereka berkunjung ke restoran asalkan pria itu bisa melihatnya. Mengantarnya ke kamar saat malam hari dan menyambutnya dengan ucapan selamat pagi ketika akan sarapan adalah hal yang paling mendengarkan. Tidak ada akad yang menghubungkan mereka tapi keberadaan buah hati yang mendekatkan batinnya pada Jinan.

"Makan dulu untung lagi kumpul."

"Baik, aku ganti dulu."

Cakra tersenyum pada mama dan meninggalkannya sejenak untuk mengganti pakaian.

Jinan mengalami kecelakaan kecil dan sekarang masih dirawat.

Sebuah pesan dari Emilie diterima ketika Cakra memeriksa ponselnya, pesan itu masuk tiga jam yang lalu dan sekarang di sana masih pukul dua pagi. Cakra dilema, apakah sopan menghubungi Emilie pukul segini?

Yang dipikirkan Emilie tapi jarinya menyentuh kontak Jinan, Cakra mengkhawatirkan wanita itu. Di sana, Jinan tidak memiliki teman dekat hanya Emilie satu-satunya yang diketahui Cakra dikenal Jinan.

"Halo."

"Kamu kecelakaan?" Cakra tidak sabar ingin mengetahui keadaan Jinan

"Cuma keserempet."

Cuma katanya?

"Sebentar lagi juga bisa pulang," kata Jinan lagi dari seberang.

Jinan mengatakan cuma diserempet dan Emilie menyebutnya kecelakaan kecil, kenapa pikiran Cakra meradang?

"Ada yang patah?"

"Cuma terkilir. Semingguan juga sembuh."

Pantaskah semua yang menyangkut kecelakaan disertai kata cuma?

Cakra duduk di sisi ranjang. "Alihkan ke video." ia tidak mungkin mendengar dan percaya begitu saja. Tidak lama panggilan video tersambung, Cakra melihat wajah Jinan.

Cantik, pujinya dalam hati.

"Yang terkilir kaki atau tangan?"

"Kaki."

"Coba lihat."

Jinan membalikkan kamera dan memperlihatkan kakinya.

"Itu sampai diperban, yakin cuma terkilir?"

"Eum."

"Dokter bilang apa?"

"Tidak bilang apa-apa, jangan cemas. Ini tidak begitu sakit."

Bukan dokter yang tidak bilang apa-apa tapi Jinan yang tidak mau berterus terang karena tidak ingin membuat orang lain khawatir. Ia juga tidak menghubungi Emilie, kebetulan saja dokter kandungannya datang ke rumah sakit tersebut.

"Aku akan ke sana."

"Cakra!" ini yang tidak diinginkan oleh Jinan, mereka bukan teman apalagi sepasang kekasih yang harus saling memperhatikan.

"Kamu menyuruhku tidak khawatir, maaf aku tidak bisa."

"Kandunganku baik-baik saja."

"Bukan hanya tentangnya, kamu lah yang jadi prioritas." Cakra berkata jujur. "Berapa kali lagi aku harus mengakui perasaanku?"

Jinan terdiam.

"Balikkan kameranya, kamu ingin aku melihat kakimu terus?" Cakra ingin melihat wajah Jinan, begitu layarnya dipenuhi wajah wanita itu dia berdeham.

Karena sudah ada rasa semua tampak berbeda, jika kemarin masih sebatas kagum maka sekarang hati yang mengambil peran.

Bukan Jinan tapi Cakra yang tidak bisa menghentikan tatapannya pada wanita itu, indah dan sangat mempesona.

"Sebelum kejadian rencananya mau ke mana?" Cakra mulai bertanya lagi.

"Resto yang ada menu bebek."

"Lagi mau makan bebek?" Cakra merasa bersalah. Saat ada dirinya di sana Jinan tidak pernah meminta apa-apa.

"Nasi goreng bebek." Jinan melengkapi.

Memangnya ada yang jual menu itu di sana? "Tunggu aku datang, aku yang bikin."

Jinan menggeleng, ia tidak tahu betapa tersiksanya Cakra karena tidak bisa memenuhi keinginan wanita itu.

"Aku sudah makan tadi." karena saking mau makanan itu ia meminta bantuan seseorang. "Suami Emilie yang membelikannya."

"Aku yang harus membelikannya untukmu, bukan laki-laki lain meskipun itu temanmu."

Jihan tidak merasa bersalah tidak juga menyalahkan Cakra. Mengenai perasaan laki-laki itu sudah diperingatkan berkali-kali, jadi dia tidak mengenal rasa sakit seperti apa yang dialami Cakra.

"Aku yang seharusnya berada di sana, selalu di sampingmu dan ada di saat kamu butuh."

Mata Cakra memerah, ia berusaha sekuat tenaga agar tidak menangis di depan wanita itu.

Dengan suara bergetar laki-laki itu berkata lagi. "Aku tidak memintamu menghargai perasaanku, tapi demi dia bisakah kesampingkan dulu egomu?"

Di luar mama berdiri, ia sudah membuka pintu dan mendengar sebagian obrolan putranya dengan seorang wanita tapi mama tidak tahu siapa wanita tersebut.

"Lagi teleponan sama siapa?"






Diamku Di Atas DustamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang