Cakra

696 41 0
                                    

Bagaimanapun Cakra harus melihat buah hatinya yang kini sudah tumbuh besar, begitu kembali ke tanah air Ria mengajak putranya bicara empat mata. Ia tidak akan menyudutkan Cakra, sebaliknya Ria ingin anaknya mengatakan dengan jujur awal mula hubungannya dengan Jinan.

"Maaf sudah lama tidak mengajak Mama jalan-jalan."

"Mama yang minta maaf karena kurang memperhatikanmu."

Cakra sudah dewasa ia tidak merasa kurang satu apapun dari orang tuanya, baik dari segi kasih sayang sehingga materi semuanya diberikan lebih.

"Mama mau ngobrol denganmu boleh?"

"Boleh Ma." Cakra cukup terbuka dengan mamanya, kecuali tentang seseorang yang sampai saat ini belum bisa diungkapkan.

"Mau sampai kapan melajang, kalau tidak salah kemarin ada yang dikenalkan Sam?"

Cakra mengangguk. "Dan kami memutuskan temenan." ia tidak menceritakan detailnya.

"Kamu punya banyak teman cewek, Mama juga mengenal teman-temanmu. Nggak ada satupun yang mau di seriusin?"

"Nggak."

"Kenapa, sudah ada seseorang?"

Tawa Cakra tanpa dipaksakan Ria memahami putranya. "Jangan tertawa saja, kan Mama sudah bilang mau ngobrol dengan kamu.

"Iya, ini kita kan ngobrol, Ma."

"Beberapa hari yang lalu Mama ketemu dengan mantan kakak iparmu." Ria sengaja tidak melihat Cakra, pura-pura fokus pada minuman di gelasnya.

Ria juga sengaja menjeda beberapa saat kalimatnya, tidak melanjutkan dulu menunggu mungkin ada sebuah pertanyaan atau tanggapan setelah dia menyebut seseorang.

Batasan apa yang ditarik oleh kedua orang itu hingga dia tidak berhak atau apa-apa tentang mereka?

"Dia semakin cantik dan kehidupannya juga baik-baik saja. Mama tidak menyangka akan bertemu dengan bertemu dengannya dalam keadaan seperti itu."

Ria masih belum menatap putranya, biarkan saja dulu Cakra meresap setiap kata-katanya, dan Ria akan terus berbicara sampai Cakra menanggapi ucapannya.

"Dia memiliki putri yang sangat cantik." dan Ria kembali menjeda. Ingin sekali mengangkat wajah dan melihat ekspresi putranya tapi ia menahan diri. "Namanya juga bagus."

Sementara Cakra terpaku sejak ibunya menyebut mantan kakak ipar. Ia yang sangat merindukan wanita itu. Dia tidak pernah bertemu apalagi melihatnya lalu putri kecil yang cantik, ada semburat haru yang menghangatkan dadanya.

"Mama berbicara cukup lama dengannya, Mama juga bertanya apa yang membuatnya mengambil keputusan seperti ini."

Ada detak halus berdenyut dengan sengaja, merespons kalimat yang baru saja didengar.

"Bukan keinginannya atas takdir ini namun Mama salut Jinan tidak menyia-nyiakannya, lalu rasa bersalah yang terlalu diagungkan oleh logikanya yang membuat Jinan masih memegang prinsipnya."

Mama sudah mengetahuinya, batin Cakra. Laki-laki itu tidak takut sama sekali karena tahu Ria bukan tipe orang egois yang melihat semua masalah dari sudut pandangnya.

"Boleh Mama bertanya?"

Cakra hanya bisa menatap mama dengan raut yang masih terkejut.

"Sejak kapan kamu akan diam, apa karena Mama tidak sering bertanya?"

Cakra menggeleng.

"Mama selalu menunggu kamu menceritakan atau mengenalkan seorang wanita pada Mama, tidak peduli siapa wanita itu Mama akan menerimanya."

Cakra pernah membicarakan hal ini dengan Jinan tapi wanita itu tetap bersikukuh tidak ingin keluarganya tahu tentang hubungan yang tidak disengaja bahkan setelah dia menyampaikan perasaannya dengan terang-terangan.

"Sekarang kamu menanggung rindu sendiri, tidak mendapatkan solusi selain menunggu. Benar begitu?"

Cakra terdiam.

"Kamu kurang berani putraku." Ria memegang tangan putranya. "Harusnya saat Jinan dengan berani mempertahankan kandungannya kamu juga harus lebih berani menjadi orang yang bertanggung jawab atas keadaan yang menimpa kalian. Karena kamu laki-laki."

"Maaf."

"Mama tidak kecewa padamu, tapi Mama sedih kamu membiarkannya berjuang seorang diri. Mama pernah berada dititik itu, merasa sendiri menjaga kalian dan itu menyakitkan."

Air mata Cakra jatuh. Ia mendengar seseorang yang sangat dirindukan dari ibunya, mengetahui kabarnya baik-baik saja juga kabar putri kecil mereka. Cakra bangga dengan kebesaran hati wanita yang telah melahirkannya, entah di mana mereka bertemu yang jelas ibunya telah melakukan yang terbaik.

"Sejak kapan, Mama boleh tahu?"

Cakra mengenang pertemuan yang tidak disengaja dengan Jinan hingga keinginannya yang ingin menyembuhkan wanita itu setelah mengetahui apa yang dialami Jinan di masa lalu. Mendengar itu semua Ria merasa terharu, yang dilakukan putranya adalah perbuatan mulia bagaimanapun proses yang dilewati keduanya itu adalah garis takdir yang tidak berhak dihakimi oleh seorang manusia pun.

"Lalu bagaimana sekarang?"

"Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin melihat anak kami." suara Cakra teredam dengan tangisannya. "Apapun keputusannya nanti akan kuhargai, jika dia tidak ingin menikah maka aku akan melajang seumur hidupku."

Ria terisak mendengar kata-kata putranya. Masing-masing orang berbeda dalam menghargai perasaan. Sekarang dia melihat Cakra yang memilih setia pada perasaannya untuk satu wanita.

"Jika itu terjadi, berhentilah menjodohkanku dengan wanita manapun. Selagi di hatiku masih ada namanya, aku tidak bisa menerima orang lain."

Perasaan yang sangat kuat, Cakra telah membuktikannya selama ia kehilangan jejak Jinan. Tidak pernah sekalipun melirik ataupun menaruh rasa pada wanita lain.

"Mama hanya bisa berdoa yang terbaik untukmu selebihnya berusahalah dengan kuat, yakinkan Jinan bahwa kamu bisa menjadi laki-laki terbaik untuknya."

Cakra tidak pernah ragu pada usahanya ia menyerahkan sepenuhnya hasil ikhtiar pada sang kuasa, itu pernah dilakukan ketika dia terus mencari keberadaan Jinan akhirnya pada hari ini dari ibunya Cakra tahu tentang wanita juga anak yang sangat dirindukannya.

"Chanan Jameela, dia sangat mirip dengan kalian."

Ibu dan anak itu menangis dalam diam, menyesap perasaan haru dan sedih bersama.

Sebelum pertemuan sore itu berakhir Cakra meminta mama agar tetap menyembunyikan hal ini dari keluarga besar, ia akan pergi menemui Jinan berbicara dengan wanita itu dan akan memberitahu mama hasil dari pembicaraan mereka nanti.

Semesta menjadi saksi betapa khusyuknya tangisan malam seorang pria untuk seseorang yang telah menawan hatinya, ia punya alasan yang kuat untuk tetap berdiri di samping wanita itu meski si wanita terus menolak. Kini doa dalam sujudnya telah terjawab, besok setelah menyerahkan semua pekerjaan pada asistennya ia akan berangkat ke Swiss.










Diamku Di Atas DustamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang