Akhirnya Sam tahu nama gadis yang berhasil membuat ibunya tertawa, Nuha Zahira teman Cakra yang sekarang masih membantu Ria menghidangkan makan siang di taman belakang. Spesialnya hari ini ketiga pembantu ikut makan bersama, mungkin Jinan tidak bisa merasakannya tapi percayalah ini disiapkan untuk sang menantu dan anaknya.
"Kurang empuk mohon maklum yang masak aslinya nggak pernah ke dekat." Silmi mengejek temannya.
"Jangan dibuka terus aib-ku, Silmi." Nuha pura-pura marah. "Aku sering ke dapur tapi buat lihatin si mbak masak."
"Tapi ini enak." Ria memuji kedua gadis itu. "Tante paling suka kecapnya, memangnya tadi ini dikasih apaan?"
"Kamu yang bikin, Nuha."
"Oh, kecap doang Tan sama cabe dan bawang kuiris. Terasi sama jeruk nipis dikit."
"Itu mah bukan kecap doang tapi beserta kawan-kawannya Nuha!"
Celetukan Silmi membuat semua yang hadir tertawa.
"Asal campur aja sih." wajah Nuha bersemu, salah sendiri kenapa tidak pernah bantu si mbak masak ya begini jadinya.
Sepertinya Nuha harus mengubah pandangannya terhadap memasak. Dulu, dia menganggap remeh kegiatan satu itu tanpa membantah kata orang tua setinggi apapun sekolah wanita setelah menikah nanti ujungnya tetap dapur tapi Nuha pengennya nanti belajar masak sama suami, ditemani gitu.
Ria lupa memperhatikan sang menantu karena keasyikan ngobrol dengan teman Cakra begitu sadar dia langsung menegur sang menantu.
"Suka sama dagingnya, Jinan?"
"Suka."
Ria tersenyum senang karena Jinan menyukainya.
"Nanti bawa pulang ya, bisa untuk makan malam."
"Tidak perlu," jawab Jinan membalas senyum Ria. "Berlebihan makan daging juga tidak bagus, lagi pula kami makan malam di luar nanti."
Sendok di tangan diremat erat Sam tidak mengangkat wajahnya dari piring ketika mendengar jawaban sang istri.
Mungkin bagi Jinan itu jawaban biasa, tapi jawaban itu malah mengejutkan mertuanya dan menarik perhatian kedua teman Cakra.
"Mama sampai lupa, daging memang tidak boleh dikonsumsi berlebihan." Ria tertawa ramah.
Karena tidak ingin menarik perhatian semua orang Sam baru meninggalkan meja setelah menghabiskan makan siangnya yang cukup lezat di lidah pria itu.
"Mas mau siap-siap pulang?" tanya Jinan ketika suaminya meninggalkan meja.
"Eum."
Nuha dan Silmi saling menatap tapi mereka tidak bicara. Berharap dalam hati semoga kedatangan mereka tidak mengganggu keluarga Cakra.
"Kalian harus menghabiskan daging ini," kata Cakra pada kedua temannya tepat setelah kakak dan kakak iparnya menjauh dari mereka.
"Siap, boleh Tante?" tanya Silmi.
Ria mengangguk masih dengan senyum yang sama seperti beberapa saat lalu.
"Tenang saja kami akan menghabiskannya, kalau boleh kami bawa pulang juga ya Tan, biar gemuk dikit."
Celetukan Nuha kembali berhasil membuat Ria tertawa. "Tapi kamu enggak kurus."
"Memang begini Tan, mau makan sebanyak apapun tetap nggak nggak naik kilo."
"Oh." Ria tertawa lagi beban beberapa menit lalu terhempas sejenak karena teman Cakra.
Ria peduli pada perubahan raut Wira tapi dia tidak ingin memperlihatkan keadaan pada tamu-nya, gadis-gadis baik ini tidak boleh tahu kesenjangan keluarga Cakra, begitu pikir Ria.
Di kamar Jinan membuka satu persatu lemari suaminya sambil bicara. "Kenapa ditinggal begitu banyak, padahal kita sudah pindah."
Baju Sam masih tergantung rapi di lemari dan lumayan banyak.
"Kita memang pindah tapi bukan berarti aku meninggalkan rumah."
"Apa maksud Mas?"
Sam enggan melihat wajah Jinan, mama selalu berpesan agar tidak memberikan tatapan marah pada istrinya.
"Ini rumah orang tuaku, di sini aku dilahirkan aku akan sering pulang ke sini."
"Mas marah padaku?"
"Aku tidak tahu alasanmu menolak pemberian mama, kamu tidak menyukai beliau?"
"Aku mengatakan seperti itu?"
"Kamu tidak akan mengatakannya karena sikapmu sudah memperjelas." Sam bicara dengan hati-hati, menepikan amarah agar tidak menyakiti wanita itu.
"Beliau orang tuaku, aku sangat menghormati mereka."
"Ada apa denganmu Mas?"
"Tanya itu cocok untukmu," jawab Sam. "Kamu lihat bagaimana sikapmu ketika bertemu orang tuamu?"
"Mas mulai membandingkan?"
"Iya." Sam tidak tahu benarkah sikapnya kali ini, ia hanya ingin bersikap tegas. "Aku ingin kamu memperlakukan orang tuaku dengan baik dan menghargainya, mereka syurgaku."
"Aku tidak menyakiti mereka."
"Kamu sedang menuju ke arah sana." Sam tidak bisa membayangkan kalau ke depannya sikap Jinan akan lebih kelewatan. "Kendalikan dirimu." karena dari awal Sam sudah menegaskan dia tidak akan bisa meninggalkan orang tuanya dalam keadaan apapun. "Kamu tidak lupakan apa yang katakan saat kita memutuskan untuk menikah?"
"Setelah menikah kehidupan milik kita, bukan orang tuamu atau orang tuaku."
"Itu benar, kamu melewatkan satu sisi dari pemahaman kalimat tersebut."
"Tidak." Jinan punya alibi yang lebih tepat kenapa dia menggunakan kiasan itu. "Kita sudah berjanji di hadapan Tuhan akan hidup bersama dalam semua keadaan, sekali saja membuka pintu untuk orang lain termasuk orang tua siap-siap saja terluka."
Pemahaman apa yang dianut Jinan? Sam bertanggung jawab untuk meluruskan pemahaman yang melenceng seperti yang dikatakan istrinya.
"Aku memanglah suamimu, ayah dari anak-anakmu yang akan kamu lahirkan kelak tapi jangan lupa aku tetap anak ibuku. Tanpa menyampingkan tanggung jawabku untukmu, aku tidak bisa meninggalkan orang tuamu." satu lagi. "Orang tuaku bukan tipe yang suka ikut campur dengan masalah orang lain, percayalah mama dan papaku tidak akan seburuk itu."
Penjelasan ini sudah sangat lengkap, sekarang bisakah Jinan mengerti?
"Berarti di sini Mas mengatakan sikapku yang buruk?"
"Kamu mengartikan seperti itu?" sebentar lagi emosi yang sejak tadi dipendam akan meledak. "Jika benar tidak ada yang bisa kulakukan."
Sebelum keluar dari kamar Sam mengatakan bahwa dia tidak bisa menemani Jinan ke butik, ia meminta wanita itu menunggunya di rumah.
******
Sam ingin pamit pada orang tuanya untuk keluar sebentar dan memberitahu bahwa istrinya ada di kamar, ia menemukan mama di dapur sepertinya Ria menemani kedua teman Cakra yang sedang cuci piring.
Yang pantas ada di sana adalah Jinan, bukan Nuha atau Silmi apalagi ini pertama kali mereka datang. Tapi Sam tidak bisa memaksa sang istri.
"Itu biarin bibi yang keringkan nanti, Cakra sudah menunggu dari tadi."
Kedua gadis itu mengangguk dan tersenyum tulus pada Ria. Setelah mencium tangan ibunya, Nuha dan Silmi keluar dari dapur.
Silmi tidak begitu memperhatikan keberadaan Sam, tapi ketika Nuha keluar gadis itu berpapasan dengan kakak sahabatnya.
Tidak ada sapa atau kata melainkan senyum yang tampak manis di mata Sam.
Cakra memiliki teman sebaik dan semanis itu pada orang tuanya.
"Sam?" Ria tidak tahu apa yang dilihat oleh putranya dari ambang pintu dapur, tapi cukup lama Sam menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamku Di Atas Dustamu
Romancecerita ini hanya ada di KBMapp dan Wattpad pura-pura tidak tahu dan dituntut diam, Ria melakukannya. ini bukan tingkatan terakhir dalam kesabaran, ia juga tidak sedang menahan diri anggap saja tidak terjadi apa-apa hingga sesuatu yang benar-benar me...