Harusnya ini menjadi tugas Sam saat masih menjadi suami Jinan, dia yang lebih harus mengerti keadaan wanita itu dan bila perlu mencari cara agar trauma menyakitkan yang menjadikannya sosok seperti ini bisa dipulihkan.
Cakra belum masuk terlalu jauh dalam hidup Jinan tapi dia punya insting bahwa bisa menjadikan wanita itu kembali normal terutama dalam bersikap. Kendati terlihat baik-baik saja namun ada yang salah dengan Jinan dan itu semua berawal dari konflik hingga keegoisan orang tua mantan istri kakaknya.
Ia tidak perlu tahu bagaimana awal hubungan sang kakak dengan wanita itu hingga mereka menikah, sekarang yang perlu dilakukannya adalah menyembuhkan Jinan.
"Seolah-olah dia tanggung jawabmu, sudah kamu pikirkan apa yang akan kamu katakan jika orang tuamu mengetahuinya?"
Hanya Jaivan yang tahu apa yang dilakukan Cakra selama ini, Cakra tidak membiarkan orang lain mengetahuinya.
"Apakah salah membantu seseorang?"
"Tidak, selama hatimu tidak ikut serta. Lagi pula dia bukan seseorang harus dikasihani. Dia punya jabatan, aku tidak keberatan kalau kamu membantu orang yang memang membutuhkan."
"Hubungan dengan keluarganya tidak baik."
"Dan kamu akan menjadi malaikat perantara?"
Cakra sudah menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya pada Jaivan. "Setelah semua yang ku katakan kamu masih tidak mengerti?"
"Sangat mengerti, karena itu aku ragu." yang diketahui Jaivan selama ini rekannya itu tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan gadis manapun, bagaimana jika kepeduliannya kali ini menumbuhkan sesuatu?
"Bermula dari rasa penasaran, kemudian peduli kamu tidak takut jatuh cinta padanya?"
Apa? "Rasanya mustahil."
"Aku juga berpikir seperti itu dan nyatanya tidak mustahil." lalu Jaivan membuat pengandaian yang lebih mudah. "Kamu membantunya, otomatis ada pertemuan antara kalian bukan sekali karena kamu peduli pasti ingin memastikan perkembangannya, lalu pertemuan intens menimbulkan obrolan yang mengarah ke mana saja setelah itu kamu sadar kepedulianmu mulai menciptakan rasa."
Benar saja, Cakra memahami maksud Jaivan. "Oke kalau memang benar, tapi apakah salah menyukai wanita sepertinya, apa karena sikapnya itu kita harus membencinya?"
Jaivan terkejut dengan kalimat Cakra.
"Harusnya kita yang sehat dan normal membantu orang seperti itu bukan malah menjauhi bahkan membencinya."
"Kamu memiliki banyak teman, kalau tidak ingin terlibat terlalu jauh minta tolong kepada mereka."
Cakra ingin melakukan sendiri dan dia tidak perlu alasan untuk itu. "Aku yang akan melakukan."
Jaivan diam, ia sudah mengatakan konsekuensi yang menakutkan andai saja hal itu benar-benar terjadi tapi kembali lagi pada Cakra. Dia yang akan menjalaninya berarti laki-laki itu harus siap dengan apapun resiko yang menanti ke depannya.
******
"Aku ingin menjawab pesan Mas."
Cakra masih ingat bahwa dia menginginkan pesan berupa pertanyaan pada Zuby.
"Tidak perlu menjawab jika itu terlalu berat."
"Ini tidak lebih berat dibandingkan ketika Mas membuat batasan di antara kita, karena aku sudah bahagia dengan menjadi temanmu."
Cakra mendengar dari kakak iparnya bahwa gadis itu sudah menerima lamaran laki-laki yang dipilihkan untuknya.
"Kata orang tuaku lebih baik dipilih ketimbang memilih, begitu juga dengan cinta. Lebih baik dicintai karena orang yang memilih kita akan berusaha membuat kita membalas perasaannya." Zubi bukan mengalah sebelum berjuang, ia sudah menyatakan perasaannya pada laki-laki itu namun pinta Cakra cukup berteman saja.
Sekali lagi ada rasa apa di sebuah sudut ruang hati pria tersebut, menahan tanpa kepastian bukanlah sikap laki-laki bertanggung jawab. Cakra tidak mungkin menyuruh gadis itu menunggunya hingga dia sanggup untuk menjalin sebuah hubungan, ia juga tidak ingin menggantung perasaan wanita karena itu menyakitkan.
"Aku juga sudah istikharah, mungkin lambat laun perasaanku untuk Mas akan memudar."
Cakra tidak bingung apalagi memasang wajah sedih, sikap yang tidak pernah berlebihan dia masih santun seperti biasa ketika menghadapi masalah serius.
"Syukurlah kalau begitu. Kita akan tetap berteman, kan? Setidaknya jangan memutuskan silaturahmi."
"Aku tidak tinggal di sini lagi, calon suamiku bekerja di Jogja."
"Ouh. Baiklah." Cakra menyunggingkan senyumnya seperti biasa dan sekali lagi mengucapkan selamat untuk Zuby.
******
"Aku pikir kamu akan mengejarnya mati-matian. Kenapa, pesonanya kurang kuat atau ada wanita lain?"
Ini bukan sedang tapi obrolan santai antara Cakra dengan kakak iparnya.
"Jodoh memang harus dikejar, tapi langkahku belum mengarah ke sana. Dan Zuby sangat cantik." Cakra memuji gadis itu dengan tulus. "Perkara jodoh memang satu hal yang misterius."
Penggalan kalimat terakhir membuat pria itu mengingat seseorang. Beberapa saat lalu baru saja seseorang suruhannya memasang alat penyadap di apartemen juga mobil Jinan, Cakra mulai mengawasi untuk menjalankan misinya.
"Dulu kamu sering bertanya tentangnya, aku pikir sekuat itu rasamu."
"Cinta tapi tidak harus memiliki, benarkah istilah itu?"
"Yang kulihat bukan cinta yang kamu miliki untuknya tapi sekadar suka. Mungkin karena terlalu lama memendam jadinya hambar."
Entah, Cakra tidak pernah mengkaji tentang perasaannya untuk gadis itu. Dulu, dia memang mengagumi dan sering berbicara tentangnya dengan Nuha tapi seiring berjalannya waktu hawa yang pernah menggebu itu kehilangan semangatnya.
"Yakin bukan karena wanita lain?"
Cakra mengangguk. Bayangan dari ucapan Jaivan mulai bermain di benaknya, bagaimana jika Nuha mengetahui apa yang dilakukan yang sekarang? Atau seperti apa respon Sam juga orang tuanya jika mereka menyadari sesuatu yang telah diupayakan demi kebaikan mantan menantu rumah ini?
"Kalaupun ada, tidak masalah. Kamu berhak memilih siapapun yang menurutmu tepat. Saranku jangan lama-lama, nanti ditinggal nikah lagi."
Cakra tertawa. Beban perasaannya pada Zuby tidak seberat beberapa saat lalu, sesuatu yang akan dilakukannya pada Jinan mengalahkan kegalauannya. Mungkin bukan tanggung jawab seperti yang dikatakan oleh Jaivan karena ini murni sebagai bentuk bantuan. Cakra tidak ingin membuatnya ribet seperti pemikiran rekannya.
******
Karena mulai mengawasi Cakra sudah memilih sebuah apartemen di sana dia akan memantau pergerakan Jinan, dia akan menunggu sesuatu yang membuatnya penasaran.
Pekerjaan yang cukup besar, akan membuat orang salah kaprah jika masuk ke salah satu kamar di apartemen ini. Cakra menyiapkan segala sesuatu yang penting untuk mengetahui segalanya, semua aktivitas mulai direkam Cakra akan memantau setiap hari setelah pulang dari kantor.
"Mereka yang salah, kenapa aku yang disalahkan? Bahkan aku tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini!"
Cakra tertegun, suara pecahan kaca terdengar jelas ia langsung melihat layar.
"Mama sudah mati sudah saatnya mempertanggungjawabkan semua perbuatan mama!"
Lalu wanita itu menangis histeris, Cakra terdiam melihat layar di hadapannya.
"Karena perbuatan Mama aku harus menerima karma ini!"
Apakah sebuah keberuntungan bagi Cakra karena mengetahui keadaan ini?
🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Diamku Di Atas Dustamu
Romancecerita ini hanya ada di KBMapp dan Wattpad pura-pura tidak tahu dan dituntut diam, Ria melakukannya. ini bukan tingkatan terakhir dalam kesabaran, ia juga tidak sedang menahan diri anggap saja tidak terjadi apa-apa hingga sesuatu yang benar-benar me...