01. Nahkoda Kapal yang Pergi

6.6K 258 8
                                    

Semburat oren di langit mengiringi kepulangan para pegawai pabrik. Orang-orang bak sekelompok semut keluar dari sarangnya dengan memijak tanah bagai pasukan berkuda pembuat kepulan debu. Sore itu langit menampakkan semburat merahnya tanpa malu. Merasa senang dengan perhatian matahari yang semu. Sampai jumpa untuk sang matahari yang akan kembali menyinarinya besok, dan selamat datang pada sang bulan yang selalu datang dan ada kala langit lelah.

Mini bus milik industri datang membawa beberapa pegawai pulang dengan arah yang sama. Di dalamnya tak sebising mini bus sekolah, yang ada penghuninya memejamkan mata untuk istirahat sejenak. Tak terkecuali Jiya, perempuan berusia 27 tahun yang menyandarkan kepalanya ke kursi mini bus. Rasa penatnya terasa menumpuk di kepala dan kedua pundaknya. Yang Jiya butuhkan setelah ini adalah wajah suami dan putra kecilnya. Malik dan Zidan, dua laki-laki pemanis dalam hidupnya.

"Setelah ini lo langsung beres-beres rumah, Ya?"

Pertanyaan dari rekan kerja Jiya, wanita itu terpaksa membuka kedua matanya. "Iya, kenapa, Za? Tumben nanya begitu."

Zalia, rekan kerja Jiya selama enam tahun Jiya bekerja di pabrik, sekaligus rekan kerja satu ruangannya, yakni di laboratorium industri.

"Apa lo enggak capek, Ya? Enggak mau coba pakai jasa ART aja?" Zalia memeluk tasnya, kemudian mencari kenyamanan pada punggung kursi. "Soalnya suami lo kerja juga, 'kan? Kalau suami gue enggak kerja, tapi untungnya dia mau beres-beres rumah sama ngurus anak. Not bad, lah. "

Sebutan populernya, dunia terbalik. Begitulah potret rumah tangga Zalia di matanya. Lalu, bagaimana dengan rumah tangganya sendiri? Entahlah, Jiya juga tidak tahu. Suaminya sudah berhenti bekerja enam bulan yang lalu, Jiya hidup dengan gajinya yang cukup untuk keluarga kecilnya. Melihat putranya tidak kekurangan saja sudah membuat Jiya bersyukur. Apalagi yang Jiya inginkan? Kalau ada, mungkin hanya sebatas kaos-kaos lucu untuk putra manisnya.

Beberapa bulan menjadi tulang punggung keluarga dalam artian penuh. Sejak awal pernikahannya dengan Zidan, Jiya tidak ingin terlalu menengadahkan tangannya kepada sang suami yang notabennya berpendidikan lebih tinggi darinya. Gengsi, tentu tidak. Selama enam tahun menikah, Jiya masih kaku dengan keluarga suaminya yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Apalagi sekadar wanita seperti dirinya dengan status pendidikan D4 Kimia Analisis, seperti noda di pinggiran piring yang mudah dihempas begitu saja.

"Enggak, deh, Za. Enggak nyaman mau nyewa ART." Jiya membalas, melirik sekikas Zalia.

"Kenapa? Takut, ya? Takut suaminya kena embat ART yang kayak di sinetron-sinetron itu? Awalnya gue juga takut. Kadang kita ninggalin keluarga buat kerja juga takut dimainin. Untungnya sih suami gue orangnya polos, kadang lola juga. Dia sayang anak, mau aja jadi badutnya anak gue. Manis banget, deh, " tukas Zalia, melambungkan tawa gelinya.

"Yee! Itu mah karena lo kebanyakan nonton sinetron! Gue enggak mau sewa ART bukan karena takut diembat, tapi emang gue pengen ngerjain semuanya. Selagi bisa, kapan lagi coba?" Jiya menyenggol bahu Zalia.

Diam-diam Zalia bergumam pelan sembari melengos ke arah lain. "Tapi, tugas laki-laki emang jadi tulang punggung keluarga, 'kan?"

Tidak ada lagi pembicaraan di antara Jiya dan Zalia, keduanya sama-sama diam dan larut dengan pikiran masing-masing. Jiya pikir, apa seharusnya dia menyewa ART saja? Toh, tidak 24 jam juga, 'kan? Mungkin dia bisa menyewa ART untuk setiap jam lima pagi hingga jam delapan pagi, juga jam empat sore hingga jam enam sore, untuk sekadar membuatkan makanan putra dan suaminya, sehingga mereka tidak perlu lagi makan di malam hari saat ia pulang bekerja.

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang