22. Jatuh Cinta Tidak Membutuhkan Alasan Logis

1.2K 70 1
                                    

"Mom?"

Sosok tinggi Justin datang, laki-laki itu menenteng sekantong plastik dari warung depan Gapura Perumahan. Tatapannya berubah terkejut, menatap kehadiran Sang Ibu di dalam kamarnya. Satu lagi, tidak ada yang lebih mengejutkan ketimbang melihat lembaran di tangan Ibunya.

Keterdiaman menyerbu, Justin tak ubahnya kubangan air. Sekali batu kecil dilempar ke dalamnya, hilang ketenangannya. Sekali saja keluar kata-kata dari mulut Sang Ibu, Justin tidak lagi tenang seperti biasanya.

Tubuh Ibunya bergerak kecil, pandangannya mengarah pada Sang Anak. Pandangan yang tidak bisa dijelaskan dalam sajak, Laura meletup-letup. Bibirnya yang merah muda secara alami terbuka kecil.

"Foto siapa ini?" Volume suaranya nyaris tak terdengar.

Sebelum menjawab pertanyaan ibunya, Justin menggendong Arabella keluar kamar dan menyerahkannya pada Sang Mama. Setelah itu ia kembali dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat, celah pintu yang tak sampai satu inci seperti ribuan kamera yang bisa merekam segalanya. Kedua pasang mata biru tersebut bertemu. Meski begitu, untaian hati keduanya tidak pernah sampai.

"Mom– "

"Mami enggak butuh penjelasan bertele-tele kamu, Justin. Kenapa kamu simpan foto seperti ini? Ini foto keluarga teman kamu?" Laura menunjukkan foto yang ia temukan, ekspresinya lebih dari bingung beralaskan harapan semu.

Justin meletakkan sekantong plastik di atas laci, menatap ibunya sangsi namun lembut. "Mom, ini foto perempuan yang Justin cintai."

Terkejut Laura mendengarnya, wanita itu menurunkan tangan kanannya. "Kamu mencintai wanita yang sudah bersuami dan memiliki anak, Justin?"

"Dia sudah bercerai dengan suaminya, Mom, " balas Justin, ia merendahkan pandangannya.

Rongga di dalam hati Laura membesar, ia menghirup udara di sekitarnya layaknya dari selang kecil. Tidak pernah terpikirkan sama sekali, jika wanita yang dicintai putranya adalah seorang wanita yang pernah menikah dan mempunyai anak. Laura kecewa, dia kecewa dengan perasaan putranya. Putra yang ia besarkan dan ia didik untuk seseorang yang sama terbaiknya, kini melenceng dari keinginannya.

"Justin, " Laura memejamkan matanya sejenak. "She is a widow? "

Netra mata Justin tak seteduh biasanya, laki-laki itu menampakkan perasaan bersalah. "Yes, Mom. Namanya Jiya."

Dulu sewaktu kecil Laura ingin Justin menjadi yang terbaik, mewarisi kehebatan ayahnya yang seorang tentara angkatan darat. Laura ingin putranya mendapatkan kebahagiaan dari orang yang terbaik. Laura mendidik Justin untuk menjadi yang terbaik, bukan untuk menjadi obat dari masa lalu orang lain. Bukan untuk menjadi penyembuh bagi orang lain, bukan juga untuk menghibur orang lain dari kesedihannya. Laura ingin putranya yang bahagia, Laura ingin putranya mendapatkan yang terbaik untuk bisa menjadi tempat pulang.

"Ini alasan kamu enggak mau mengikuti keinginan Mami untuk memiliki hubungan dengan Bunga sekedar teman? Iya, 'kan?" Laura memegang kedua pundak putranya, menatap ametis biru tersebut lekat. "Kenapa harus wanita itu, Justin? Mami enggak masalah kamu menyukai wanita lain, tapi kenapa harus dengan wanita yang sudah pernah menikah?"

Laura menekan pundak anaknya pelan, menyentuhkan emosi di sana. "Apa Bunga kurang hebat? Apa Bunga kurang sempurna? Apa yang kurang dari Bunga di mata kamu? Apa, Justin? Bunga itu cantik, Bunga itu karirnya bagus, Bunga itu– "

"Cinta, Mom. Cinta," potong Justin. Laki-laki itu mengurai kedua tangan ibunya, kemudian memegangnya lembut dengan tatapan hangat.

"Justin tidak bisa jatuh cinta dengan Bunga, Mom. Justin hanya mencintai wanita itu, hanya dia– "

Perahu KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang