"Tempo hari emang kirim pesan, Mas. Zidan ke rumah lagi enggak, Mas?"
Jiya melirik Malik yang anteng dengan kemeja kotak-kotak berlengan pendek warna merah-krem di depan kamar. Anak itu akan diajak oleh Sri ke kampusnya, sedangkan Jiya akan pergi interview kerja ke sekolah swasta untuk posisi petugas laboratorium. Anjani yang memberikan brosur padanya, katanya Malika yang memberitahunya ada loker baru untuk kawannya yang lain.
"Enggak, kirim pesan apa, Ya? Soal Malik lagi? Apa perlu Mas ke sana buat negasin kalau hak asuh Malik jelas ada di kamu?"
"Enggak perlu, Mas, nanti bikin ramai suasana. Ibu sama ayah kabarnya bagaimana?" Jiya meraih tas ranselnya di gantungan, kemudian meraih kunci kamar kos di atas meja kayu kecil.
"Ck, kebiasaan kamu, ngalihin pembicaraan. Dari kemarin itu ibumu ngomel terus. Ibu cerita kalau tetangga sebelah, Bu Yoyo tuh, bisa-bisanya ngasih kabar asem soal kehamilan Nindi. Kata ibu, bu Yoyo ketemu Nindi sama Zidan di pasar. Perutnya makin gedhe katanya, bentar lagi juga mbrojol tuh. Dipikir ibumu ini dokter kandungan. Rese memang."
"Terus nih, kelar ngomel ibumu malah nanya, apa Jiya enggak mau nikah lagi, ya? Kasihan Malik masih kecil, masa inget ayahnya yang bejat itu, gitu! Emang beneran kamu enggak mau nikah lagi, Ya? Ibu katanya punya kandidat baru, anak pak Lurah yang duda juga! Duda sama janda, perpaduan yang sempurna! Hahaha!!"
"Rese juga kamu, Mas!!" sungut Jiya, pintu kamar kosnya sudah dia kunci rapat. "Udah, ah. Ngomong sama Mas bikin sensi, aku matiin sekarang. Wassalamu'alaikum!"
"Lah, Ya! Anak pak Lurah masih ganteng per- "
Tut.
Jiya menyimpan ponselnya kesal. Siapa yang tidak kenal dengan anak pak Lurah yang menduda sejak satu tahun yang lalu? Duren sebutannya, duda keren se-kecamatan. Duda keren yang bagi Jiya menggelikan. Oh, tidak! Astaga! Namanya mas Prajo, keturunan Jawa-Betawi, sama seperti Jiya. Tapi kalau untuk disatukan dengan Prajo, Jiya amit-amit! Prajo yang slay disatukan dengan Jiya, big no!
Bisa-bisa umur pernikahannya hanya satu hari karena tidak betah dengan segala sikap Prajo yang mirip perempuan, latahnya, cerewetnya, bahkan bicara dan tingkahnya. Kandidat apa ibunya itu?! Masa anak perempuannya hendak disandingkan dengan laki-laki macam Prajo! Bisa-bisa dunia terbalik, Jiya mencari nafkah, Prajo mengurus anak di rumah. Membayangkan saja ngeri, apalagi menjalani sungguhan.
*****
Berkecimpung di dunia kerja bertahun-tahun, melamar pekerjaan seharusnya bukan hal paling menakutkan untuk Jiya yang sudah beberapa kali melamar dan ditolak. Belum ada pengumuman ia diterima atau ditolak, tapi kali ini dia seperti anak freshgraduate sedang parno-parnonya. Berjalan menyusuri trotoar jalan di bawah matahari sedang terik-teriknya, Jiya jadi menyipitkan kedua matanya. Pesan dari Sri mengambang di pikirannya, tentang Malik.
Mbak, tadi Malik aku ajak mampir ke TK sebelah taman, sekalian main habis ambil sesuatu di kampus. Malik kayaknya pengen sekolah, deh, Mbak.
Begitulah isi pesan Sri seingat Jiya satu jam yang lalu. Tidak ada orang tua yang melarang atau menginginkan putranya tidak bersekolah, justru Jiya sedang pusing-pusingnya memikirkan pendidikan Malik. Dia tidak ada pikiran untuk tetap tinggal di Kota ini, ingin pindah juga Jiya belum memikirkannya akhir-akhir ini. Semua berjalan seperti tidak ada beban, membuat Malik jadi terbiasa beradaptasi di kos ini.
Ingin pulang ke rumah eyangnya, Jiya tak yakin kalau Zidan lupa letak rumah eyangnya. Bagaimana kalau laki-laki itu datang ke rumah eyang untuk menjemput Malik? Setidaknya Zidan tidak akan berpikir, kalau Jiya ada di Kota pinggiran ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
Fiksi UmumUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...