"Kurang ajar!! Jadi, kamu cuma dijadiin bahan permainan mereka doang?!?!"
Nada ucapan Anjani terdengar tinggi, wanita bertubuh gemuk itu menggertakkan giginya. Kedua matanya seperti tatapan elang dalam bara. Di atas kasur lantainya, Sri menelungkupkan wajahnya di atas kedua lututnya, bersandar pada dinding kamar.
"Sri. " Jiya menyentuh pundak Sri, wanita itu mendongakkan kepalanya. Ekspresinya bukan Sri yang biasa konyol dan membawa senyum, terdapat ekspresi kecewa, sedih dan marah di sana. Jiya tidak ingin menjadi sosok pahlawan bagi Sri saat ini, wanita ini butuh ketenangan, butuh didengar.
"Mbak, outer-nya lusa aku kembaliin, ya? Belum aku cuci, " ujar Sri, mengusap kedua mata sembabnya. Cengeng sekali, padahal tadi sewaktu di rumah Bobi dia sudah begitu sok tegar, menghabiskan sepiring cilok sendirian.
Jiya duduk di sebelah Sri, menyikut lengan perempuan berambut sebahu itu. "Ambil aja, enggak perlu dikembaliin."
"Beneran, Mbak?!" Sri mendongakkan tubuhnya, tiba-tiba menjadi murung dan cemberut. "Mbak enggak suka bekas saya, ya? Jujur aja deh, Mbak. Emang dari dulu orang-orang enggak pernah suka sama saya, Mbak."
Jeda beberapa detik, Jiya menarik Sri yang ingin melengos. "Apa, sih? Anggap aja itu pemberian kecil buat kamu, soalnya kamu lucu. Malik bilang begitu. Kak Sri itu baik."
Malu-malu senyum Sri terbit, ia menumpukan dagunya di atas lutut. "Malik doang yang sayang sama aku ya, Mbak? Mbak, nanti kalau Malik besar, nikahin aja sama aku Mbak."
Jiya tergelak di tempatnya, sontak memukul pelan lengan Sri. Yang benar saja, butuh 22 tahun untuk Sri bisa menikahi Malik. Dan di usia itu, Sri sudah berkepala empat.
"Ngaco, kamu!"
Senyum Sri terbit kembali, ia menatap Anjani yang diam di tempatnya–teman yang sering ia luras uangnya. "Makasih, An. Tapi sorry, ya. High heels pemberian kamu aku lempar ke muka Adit, soalnya rese liat muka mirip pantat ayamnya."
"Enggak apa, Sri. Lain kali aku mau ngasih sendal begituan buat kamu, mikir seratus kali lagi. Lagian cuma dilempar pakai sepatu doang, harusnya pakai batu. Kalau ketemu lagi nanti, bogem aja langsung " Anjani menghela nafas, menatap paper bag berisi gamis hitam beserta kerudungnya.
"Ini kamu dikasih atau bakal dikembaliin? Beneran deh, Sri. Waktu kamu tadi dateng ke kos pakai baju gamis gitu, aku kira ukhti dari Pondok mana. Pakai nangis lagi di antar ibu-ibu. Ternyata Srintil yang tomboi bisa jadi ukhti solekhah juga. Pakai gamis aja, Sri. Malika punya banyak di rumahnya, minta satu atau dua gitu. Beh, dijamin mas Badar bakal kepincut!" serunya.
Sri jadi mencibir. "Dari Ponpes Salahuddin! Itu tadi mamanya si Bobi. Keluarganya alim banget, aku mana pernah pakai gamis kayak gitu. Bobi kalau sama si Malika, jadi keluarga Kyai yang ada. Mereka kalau nikah, isinya cuma khutbah doang hari-harinya. Aku mana betah. Mungkin besok atau lusa aku kembaliin gamisnya."
"Itu tadi mamanya Bobi kayaknya perhatian deh, sama kamu. Beliau orang baik, ya?" celetuk Jiya, menyentuh rambut Sri yang berantakan, lalu ia sisir dengan jari-jarinya.
"Baik sih, Mbak. Cuma kalau di samping mamanya Bobi, berasa jadi pendosa banget. Auranya menusuk-nusuk."
Anjani hendak membaringkan tubuhnya, namun urung karena pintu kamar kos terbuka. Malika datang dengan Malik, sekantong plastik dengan brand name khas digenggam. Sosok Jiya membuat Malik segera menghambur ke arahnya seraya membawa satu snack, kemudian duduk di pangkuan ibunya. Akhir-akhir ini Malik jadi konsumtif.
"Nih, biar enggak cengeng amat. Kasihan sama air mata. " Malika menyodorkan sebotol minuman dingin pada Sri, kemudian duduk di samping Anjani.
"Ngueseli, tapi thanks."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
قصص عامةUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...