Suara pagar besi sedikit berkarat terdengar sedikit mengusik telinga, namun suara klakson mobil tak kalah mengusiknya. Anjani urung mendorong pagar kos, memandang mobil berwarna putih berhenti di depannya. Dia tidak lagi asing dengan mobil tersebut, apalagi melihat sosok blasteran Kanada keluar dari dalam dengan membawa bingkisan.
"Mas Justin?" Sosok gempalnya keheranan, Anjani memperhatikan bagaimana sosok Justin keluar dari mobil. Ah, Anjani tahu, pasti laki-laki blasteran Kanada-Jawa ini sedang mencari seseorang.
"Anjani, tunggu sebentar. " Justin bergerak tak setenang biasanya, wajahnya sedikit kusut, mungkin kelelahan. "Jiyanya ada? Soalnya saya kirim pesan dari tadi belum dijawab."
Ah, betul tebakan Anjani. Sudah pasti Justin akan datang ke kos untuk mencari Jiya atau Malik, tapi apa tidak ada kabar atau pesan kecil yang diberikan untuk sosok laki-laki di depannya ini?
"Wah, mbak Jiyanya enggak ada di kos, Mas, " balas Anjani. Sejujurnya dia tidak enak hati, bahkan bersimpati, melihat wajah kusut itu harus dibalas dengan jawaban yang membuat kusut hati.
Kedua mata biru Justin bergerak kecil, laki-laki itu menelan ludahnya. "Sedang keluar, ya? Baru saja atau sudah dari tadi?"
"Dari tadi sih, Mas. " Anjani menggaruk lengannya yang dibalut seragam pabrik, kenapa jadi dirinya yang tidak enak hati seperti ini? Sungguh, apa laki-laki ini tidak tahu kepulangan mbak Jiya?
"Kalau begitu saya titip ke kamu saja. Boleh, 'kan? Besok saya ke sini lagi, titip salam buat Jiya dan Malik, ya. " Justin menghela, menyodorkan bingkisan pada Anjani. Tatapannya semakin kusut ketika Anjani mundur, hampir menabrak pagar.
"Saya enggak bisa, Mas, " tolak Anjani, tersenyum canggung dengan mata berkedut. Untuk apa dia menerima bingkisan tersebut, jika mbak Jiya dan Malik saja sudah pulang?
"Why?" Justin mengernyit bingung.
"Masalahnya orangnya enggak ada di sini, mau saya kasih ke siapa lagi? Mending Mas bawa balik aja, ya. " Anjani menggeleng, mendorong pagar kos secara perlahan.
"Enggak ada di kos? Maksudnya? Nanti kalau Jiya pulang bisa kamu kasih ke Jiya, 'kan?" kekeuh Justin, laki-laki itu kemudian beranjak ingin mengambil sesuatu dari dalam mobilnya.
"Mbak Jiya sama Malik udah pulang, Mas. Pulang ke Jakarta, tadi siang berangkat. "
Justin berhenti di depan mobil, berbalik badan menatap Anjani. "Seriously?"
"Dua rius, deh, Mas. Kalau enggak percaya masuk aja ke kos sekarang, enggak ada orang selain aku dan budhe Sutami, " ujar Anjani, membuka lebar gerbang kos. Nampak suasana kos yang sepi, pintu-pintunya tertutup.
Mendadak Justin terdiam, menenteng bingkisan semakin lesu. Berapa lama dia tidak berjumpa dengan Jiya dan Malik? Satu minggu lebih, hampir dua minggu. Ketika ia sudah bersiap kembali, Justin telah kehilangan sosok keduanya. Tanpa ada kata salam atau perpisahan, bahkan Justin tak pernah tahu-menahu lebih dalam tentang mereka. Foto milik Jiya saja belum Justin kembalikan. Ketika waktunya telah tiba untuk bertemu, Justin telah terlambat. Laki-laki itu hampir dua minggu tidak melihat wajah-wajah yang mengisi harmoni dalam hidupnya.
Sudah berapa jauh Malik tumbuh dalam satu minggu ini? Berapa banyak cerita dari suara cadelnya yang ingin Justin dengar? Dan sudah berapa jauh usahanya untuk mendapatkan hati Jiya? Ketika belum usai Justin menyelesaikan gejolak di antara dua kubu hatinya, ia telah kehilangan apa yang ia pertahankan. Mereka pergi tanpa ada kata-kata sampai jumpa, seberapa besar pengaruh Justin di hidup Jiya dan Malik?
"Mereka tidak akan kembali ke sini lagi?"
Anjani menggeleng, ikut mendung bersama Justin. "Kayaknya enggak, Mas. Mas enggak tahu, ya? Mbak Jiya pulang ke Jakarta biar hak asuh Malik tetap ada di tangannya, biar Malik enggak jatuh ke tangan ayahnya—aduh, jadi bocor banget. Maaf, Mas. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Perahu Kertas
General FictionUsai mengetahui perselingkuhan sang suami, Jiya memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya. Menjadi tulang punggung keluarga kecilnya, serta naungan satu-satunya bagi sang buah hati tercinta, Jiya harus berdiri kuat agar tak goyah. Tekanan yang lurus...